Perjuangan Hak untuk Komunitas Trans dan Non-biner adalah Perjuangan Melawan Patriarki
Angela Saini, jurnalis dan penulis buku berbasis sains tentang patriarki, membahas perjuangan komunitas trans dan non-biner melawan budaya patriarkis.
Teks: Reiko Iesha
Foto: Angela Saini
Dalam dunia yang dipenuhi aksi menyakitkan dan membahayakan bagi perempuan, seperti kematian Jina Mahsa Amini di tangan polisi moral Iran, dijatuhkannya landmark judgment Roe v Wade di Amerika yang mengambil hak perempuan untuk menjalani aborsi aman, dan reaksi dari pergerakan #MeToo yang tidak diharapkan, perjuangan perempuan yang keras untuk mencapai kesetaraan belum cukup berpengaruh. Gerakan yang seharusnya membawa dampak baik bagi perempuan terbukti untuk memburuk situasi, dengan ancaman budaya patriarkis yang terus bertahan, menyakiti bukan hanya perempuan saja, tetapi semua pihak yang tidak mengikuti norma masyarakat, termasuk komunitas transgender dan non-biner.
Angela Saini, penulis buku dan jurnalis sains asal London telah menulis tentang patriarki dalam buku ketiganya, The Patriarchs: The Origins of Inequality. Saini mengulik bagaimana budaya patriarki pertama kali muncul di dunia karena merasa bahwa riset cikal bakal patriarki masih secara relatif jarang dilakukan. Dengan riset Saini mengenai sejarah geografi dan budaya dalam bukunya, Saini melihat bahwa tidak ada kejadian besar atau signifikan yang tiba-tiba saja membuat budaya patriarkis berkembang pesat. Budaya ini mulai terbangun sedikit demi sedikit karena cara hidup manusia yang sedari dulu sudah biner.
Menurut Saini, norma sosial yang sangat didasari oleh jenis kelamin dan gender berawal dari kolonialisme Eropa dan misionaris-misionaris Kristen yang mengatur cara seseorang harus hidup. Dalam masa Mesopotamia kuno misalnya, mereka mendorong perempuan untuk terus mempunyai anak, mendorong laki-laki untuk terus memperjuangkan keberlangsungan kerajaan dengan berperang. Dalam masyarakat modern, budaya patriarki tampaknya mulai berlaku ketika seorang laki-laki menjadi kepala keluarga dan menjadi pihak yang lebih dominan. Namun, budaya ini sebenarnya muncul dari norma negara yang masih terbawa oleh dampak kolonialisme. Negara ingin masyarakatnya memperjuangkan keberlangsungan negara, maka peran-peran yang sebelumnya terlihat di masa kuno masih ada sampai sekarang dengan bentuk yang berubah mengikuti zaman.
Saini menyadari bahwa budaya yang sangat gendered dan cenderung membela laki-laki ini terus bertahan meskipun perempuan telah bertahun-tahun mencoba melawan karena menuruti aturan-aturan patriarkis menyediakan perlindungan bagi perempuan. Ketika sedang terjadi aksi buruk hasil budaya patriarkis, banyak perempuan merasa bahwa tidak aman bagi mereka untuk melawan. Alih-alih memperjuangkan feminisme dan solidaritas antar perempuan, mereka harus memikirkan keamanan keluarga mereka dan mereka sendiri. Walau sulit untuk diakui, negosiasi yang dibuat antara oppressors dan oppressed di dalam sistem opresif ini adalah alasan mengapa para oppressed bisa bertahan hidup.
Sistem gendered yang menindas semacam ini tidak memandang bulu. Saini percaya bahwa setiap pihak yang tidak menyesuaikan diri pada norma akan terkena dampak buruk, termasuk komunitas transgender dan non-biner di dalam dunia yang sangat biner ini. Mara bahaya bagi komunitas-komunitas ini terus muncul, bukan hanya secara sosial saja tetapi juga secara hukum, seperti yang terlihat di Amerika Serikat. Menurut Saini, harus disadari bahwa jenis-jenis pribadi yang berbeda akan terus ada dan mereka tidak akan secara tiba-tiba pergi dan menghilang. Semua anggota dalam masyarakat seharusnya mendapatkan kesempatan untuk hidup secara nyaman dan aman, dan ini adalah tujuan utama yang harus diperjuangkan.