Online Dating Membawa Era Baru yang Memberi Makna tentang Cinta yang Lebih Rasional dan Kadang Pragmatis
Dewasa ini, pemikiran-pemikiran soal hubungan dan percintaan mengalami perkembangan irasional dan rasional yang saling berbenturan, hingga pada akhirnya hanya melihatkan pada sikap individualistik.
Teks: Faesal Mubarok
Foto: Unsplash
“In the post-domestic world, where the old ties no longer bind, all that matters is you: you can be what you want to be; you choose your life, your environment, even your appearance and your emotions. Nothing ‘happens to’ you. There are no ‘can’ts,’ only ‘won’ts.’”
Kutipan tersebut adalah pengamatan yang dibuat oleh penulis dan aktivis Barbara Ehrenreich dalam bukunya tahun 1978, For Her Own Good: Two Centuries of the Experts Advice to Women, di mana dia mengeksplorasi kebangkitan psikologi era 1960-an dengan mengadopsi pendekatan cinta yang lebih ‘egois’. Seperti yang diamati Ehrenreich, konsensus umum dalam hubungan cinta tampaknya adalah bahwa kebutuhan secara personal memiliki “legitimasi yang melekat”, sementara orang lain dapat diganti.
Ehrenreich menulis buku tersebut lebih dari 40 tahun yang lalu, tetapi pengamatannya tentang pendekatan cinta yang kurang welas asih ini tetap relevan. Kebangkitan media sosial dan ‘feminisme influencer’ telah mempercepat dan memperparah penyebaran sentimen semacam itu.
The Guardian baru-baru ini melaporkan semakin banyak orang yang menyajikan kecocokan aplikasi kencan mereka dengan kuesioner, menuntut untuk segera mengetahui apa kebutuhan cinta mereka dan apakah orang lain sedang dalam lingkupnya (dengan cepat memblokir siapa pun yang mendapat jawaban tidak cocok atau salah). Saat ini, kondisi yang lebih pas bahwa hubungan yang terikat atas nama cinta berada pada titik di mana rasa kewajiban kepada orang lain dipandang sebagai hal yang buruk.
Perkembangan dunia saat ini juga berperan mempengaruhi cara berpikir bahwa “teknologi digital selalu dihadirkan sebagai solusi permasalahan, solusi yang seharusnya lebih efisien karena bersifat konkret. Karena sesuatu digerakkan oleh algoritma, maka hal itu menjadi lebih rasional,” jelas Dr. Carolina Bandinelli, Asosiasi Profesor Media dan Industri Kreatif University of Warwick.
Gagasan-gagasan baru bermunculan—mendorong bahwa kekacauan dan rasa sakit oleh cinta akan dapat segera diatasi, dan bahwa berkencan adalah sesuatu yang seseorang (dalam satu pihak) dapat ‘menguasai’. Satu-satunya hal yang menghentikan Anda untuk mempertahankan hubungan yang bahagia dan stabil, adalah Anda: Anda hanya perlu menjadi lebih baik dalam mengenali tanda bahaya, atau pergi ke terapi untuk rasa cemas Anda. Sederhana! “Kami berpegang pada utopia efisiensi ini, gagasan bahwa cinta dapat dan harus dibuat menjadi sesuatu yang ‘berfungsi’, dan kami pikir ini dapat dicapai melalui manajemen diri,” kata Dr. Bandinelli.
Dia menambahkan bahwa saat ini manusia sedang berada pada fase “post-romantic era”, di mana kita mencoba untuk mengkodifikasi ulang cinta dalam kerangka etika baru. Etika baru ini berasal dari pengakuan akan rasa lelah romansa dalam masyarakat patriarkal, dan mencoba menumbangkan dinamika kekuasaan sepihak. Namun, pada saat yang sama tampaknya bercita-cita untuk membatalkan semua dinamika kekuatan, tentang risiko terluka, kehilangan, waktu, uang, dan pada akhirnya, diri sendiri.
“We want love to confirm who we are, instead of subverting us. We want sex to empower us, instead of teaching us how to release power in a safe situation”