#Noclimatejusticewithoutsocialjustice, Desakan Menyejahterakan Buruh Perempuan di Perkebunan Sawit dari Pelecehan dan Upah yang Tidak Layak
Gerakan yang diinisiasi dalam rangka Hari HAM memperjuangkan hak-hak pekerja perempuan di salah satu industri besar di Indonesia.
Teks: Daniet Dhaulagiri
Foto: AP / Binsar Bakkara
Tanah Sumatra atau Kalimantan dan sawit merupakan hal yang memiliki daya tarik tinggi bagi para pengusaha, hal itu juga memang diikuti dengan cerita-cerita sukses untuk Indonesia melalui penjualan minyak sawitnya. Namun prestasi tersebut tidak linier dengan apa yang diterima para buruh yang bekerja di perkebunan milik perusahaan-perusahaan sawit tersebut, khususnya bagi pekerja perempuan.
Sebuah gerakan muncul di media sosial dengan tagar #noclimatejusticewithoutsocialjustice dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia yang jatuh pada tanggal 10 Desember. Gerakan ini mendesak agar Presiden Jokowi dan sejumlah jajaran dalam pemerintahan seperti; Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perindustrian untuk mengawasi dan memperketat pengawasan mereka terhadap praktik kerja perusahaan-perusahaan sawit di Indonesia.
Sebuah artikel investigasi dipublikasikan oleh Associated Press (AP), membeberkan bagaimana praktik kerja yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan sawit di Indonesia dan Malaysia masih banyak yang melakukan pelanggaran etika kerja terhadap para buruhnya. Selain berbagai macam pelecehan yang kerap dialami oleh para pekerja perempuannya, investigasi ini juga menemukan adanya perbudakan, pekerja anak, dan bahkan perdagangan manusia.
Dalam investigasinya, seorang anak perempuan berumur 16 tahun menceritakan peristiwa keji yang pernah menimpanya pada AP. Tangan bosnya membungkam erat mulutnya hingga anak perempuan itu sama sekali tidak bisa berteriak, namun kecil kemungkinannya pula orang akan mendengar sekali pun anak itu bisa berteriak, karena terjadi di tengah perkebunan sawit yang luas. Belum lagi setelah melakukan tindakan hina tersebut, bosnya menodongkan kapak dan menempelkannya pada leher anak tersebut seraya mengancam; “Jangan bilang siapa-siapa.”
Terjadi di perkebunan sawit yang lainnya, “Our lives are so hard,” ucap seorang perempuan bernama Ola yang telah bekerja sebagai buruh di perkebunan sawit selama sepuluh tahun, dan kini dia mengeluhkan kondisi kesehatannya. “After spraying, my nose bleeds occasionally. I think it’s connected to the pesticide.”
Sedikit sekali ketersediaan alat keamanan untuk para pekerja di perkebunan sawit, selain itu pihak perusahaan tidak memberi jaminan medis bagi buruhnya, orang-orang seperti Ola diberi upah yang minim dan tidak layak, hingga akhirnya meski kondisi kesehatannya seburuk itu, dia tetap tidak mampu untuk memeriksakan dirinya ke dokter.
Zidane selaku Spesialis Buruh Perkebunan Sawit Watch menjelaskan bahwa tidak ada tindakan perbaikan dari pemerintah maupun perusahaan meski hal-hal serupa sudah terjadi lumayan cukup lama. “Di Sumatera Selatan misalnya, ada perkebunan sawit yang mempekerjakan lebih dari 1.200 Buruh Harian Lepas (mayoritas perempuan). Perkebunan besar tersebut mempekerjakan buruh melalui sub-kontraktor. Hari kerja buruh di perusahaan tersebut sangat minim, rata-rata hanya 8 hari setiap bulan dengan upah sebesar Rp 117.000/hari. Situasi yang sama juga ditemukan di sejumlah perkebunan sawit besar di Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Bengkulu dan Kalimantan Tengah.” Dia menjelaskan hasil investigasi Sawit Watch.
Selain itu Direktur Eksekutif Sawit Watch yakni Inda Fatinaware, dengan tegas menambahkan, “Meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW (Convention of All Forms of Discrimination Against Women) melalui Undang-undang No.7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, namun, hingga saat ini buruh perempuan perkebunan masih saja mengalami diskriminasi. Hak-hak yang mesti diberikan sama sekali tidak diterima.”
Maka dari itu tagar gerakan #noclimatejusticewithoutsocialjustice mengajak kita semua untuk mulai memberi perhatian mengenai isu seperti ini, selain itu kita juga bisa memberi kontribusi secara langsung dengan berdonasi dan mengikuti aksi dari lembaga atau yayasan yang serius membela HAM dan lingkungan hidup, lebih cermat memilih produk yang akan dikonsumsi, dan tidak berhenti mengedukasi diri mengenai isu-isu serupa dan membagikannya dengan orang lain, karena sebuah perubahan terkadang dimulai dengan cara memberi pemahaman untuk orang-orang terdekat di dalam rumah sendiri terlebih dahulu.
“There can’t be any large-scale revolution until there’s a personal revolution, on an individual level. It’s got to happen inside first.” – Jim Morrison.