Mencari Sejarah Kesenjangan Sosial, Arkeolog David Wengrow Menyanggah Teori Gaya Hidup Manusia di Era Pemburu-Peramu
Wengrow menyampaikan bahwa melalui buku ‘The Dawn of Everything: A New History of Humanity’, beliau berharap masyarakat akan lebih mengerti akan pergerakan sosial dan kesenjangan sosial yang masih terjadi hingga saat ini.
Teks: Titania Celestine
Photo: Masahiro Miyagi via Unsplash
David Wengrow, penulis buku ‘The Dawn of Everything: A New History of Humanity’ sebagai bentuk kolaborasi dengan antropolog Alm. David Graeber, berbagi akan penemuannya dalam mendalami hubungan kelas sosial dan kesenjangan sosial yang ditemukan pada perkotaan besar. Dalam podcast ‘The Dig’, Wengrow menjelaskan penelitiannya yang didasari oleh temuan arkeologi, antropologi, dan sosiobiologi.
Wengrow menyampaikan bahwa melalui buku ‘The Dawn of Everything: A New History of Humanity’, beliau berharap masyarakat akan lebih mengerti akan pergerakan sosial dan kesenjangan sosial yang masih terjadi hingga saat ini. Dalam buku tersebut, Wengrow menyatakan bahwa dalam sejarah dan ensiklopedia mengenai sejarah kehidupan manusia dipenuhi oleh informasi yang tidak akurat dan out of date, sebuah interpretasi akan kehidupan manusia sebelum penemuan sistem pertanian yang tidak memiliki basis data dan bukti yang cukup substansial.
“Graeber dan saya menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dengan cara penyampaian dan pengkisahan sejarah kehidupan manusia, terutama pada isu kesenjangan sosial,” ujar Wengrow.
Beliau kemudian memulai sebuah diskusi akan kemungkinan penyebab kesenjangan sosial itu sendiri, “Apakah hal tersebut terjadi karena munculnya sistem pertanian? Atau terjadi ketika manusia mulai membangun kota-kota besar dan bertempat disana?”
Wengrow menyatakan bahwa titik pertama dalam sejarah dimana kesenjangan sosial dibahas dalam ruang publik yakni pada sebuah perlombaan esai di tahun 1754, Perancis, yang mengajukan pertanyaan: “What is the origin of inequality in mankind, and is it a natural state?” dari situ, beliau beranggapan bahwa sebelum titik tersebut, terdapat sebuah komunitas manusia yang berjalan tanpa adanya kesenjangan sosial.
“Graeber menemukan sebuah tesis yang tertulis dalam bahasa Latin– berarti bertanggal sejak Middle Ages– ditemukannya penggunaan kata ‘equality’ namun tidak dalam penggunaan konteks sebagaimana kami menggunakannya di hari dan zaman kini. Kata tersebut tidak menjelaskan hubungan atau kesenjangan antara kelompok manusia,” ungkap Wengrow.
Beliau kemudian menambahkan dalam buku ‘Letters From a Peruvian Woman’ karya Anne Robert Jacques Turgot, ditemukan instansi pertama dimana kelompok manusia modern dan manusia pribumi didefinisikan dalam hierarki produktivitas materi, memperkuat anggapan Wengrow bahwa kesenjangan sosial bermula dari munculnya sistem pertanian.
“Menarik sekali, dalam sosiobiologi, seringkali ada prasangka bahwa komunitas manusia yang berukuran kecil selalu egalitarian, dan komunitas yang besar selalu kompleks dan berhierarki, ketika sebenarnya asumsi bahwa kaum manusia prasejarah pemburu-peramu itu egalitarian hanya didasari oleh satu atau dua penemuan, kemudian dianggap sebagai representasi keadaan hidup mereka. Sangat aneh.” tutur Wengrow.
Wengrow juga menceritakan akan penemuan sebuah lokasi arkeologi di area Ukraina dan Moldova, yang merupakan sebuah kota yang berpopulasi hingga ribuan orang. Namun, lokasi arkeolog tersebut tidak memiliki istana, atau civic centres, dan tidak ditemukannya bukti kesenjangan harta dan kelas sosial.
“Namun penemuan ini tidak tercatat pada ‘Cambridge Encyclopedia’ di bagian ancient cities. Gordon Childe menyatakan bahwa perkotaan setelah revolusi urban akan selalu bersifat hierarkis, namun ditemukan bukti yang menyanggah hal tersebut,”
Beliau menyimpulkan bahwa ada tiga basis kebebasan yang dibutuhkan kelompok masyarakat untuk menolak kesenjangan sosial dan hierarki. Pertama, yaitu kebebasan untuk berpindah (tempat tinggal, negara), kedua, yakni kebebasan untuk menolak kewenangan otoriter tanpa adanya konsekuensi pengucilan, dan yang terakhir, kebebasan untuk konfigurasi ulang kehidupan masyarakat menjadi bentuk lain, kemudian menjadikannya kenyataan.
“Konfigurasi ulang kehidupan masyarakat merupakan salah satu agenda yang ditemukan konsisten pada sejarah hidup manusia. We haven’t lost equality, rather the freedom to imagine and reinvent the ways we live, and take part in that collectively.” tutup Wengrow.