
Alexander Matius (JAFF): “Setelahnya mau ngapain? Menurut gue yang lebih penting adalah memikirkan sustainability untuk festival film di Indonesia.”
Dalam persuaan kali ini, kami mengajak Program Director JAFF, Alexander Matius (atau kerap dipanggil Mamat), untuk bicara tentang politik di balik censorship dan klasifikasi usia dalam film-film Asia Tenggara, pilar keberlanjutan sebuah festival, sampai The Human Centipede (2009).
Words by Whiteboard Journal
Words & Photos: Rajan Nausa
Setelah pandemi, kecintaan yang mendalam terhadap film tidak lagi menjadi hobi niche. Sinefilia nampaknya telah menemukan kehidupan barunya. Hal ini terpancar dari puluhan juta pengunjung yang rutin menghadiri salah satu festival film terbesar di Indonesia—juga sering disebut sebagai lebaran sinefil—Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) dan festival pendampingnya, JAFF Market.
Dalam persuaan kali ini, kami mengajak Program Director JAFF, Alexander Matius (atau kerap dipanggil Mamat), untuk berbicara tentang politik di balik censorship dan klasifikasi usia dalam film-film Asia Tenggara, sustainability sebuah festival film, sampai The Human Centipede (2009).
Dari sekian banyak profesi yang Mas Mamat miliki, salah satunya adalah Program Director JAFF. Bisa jelaskan apa sebenarnya tanggung jawab dari profesi itu?
Setiap kegiatan, pemutaran, itu kan selalu punya goals, visi, dan misinya. Apa yang di-expect gitu. Program Director menerjemahkan visi itu ke dalam kemasan programnya.
Jadi kayak mengejawantahkan bentuk yang terlihatnya kayak gimana—misalnya ada program apa, di program kemudian turunannya filmnya apa aja, kalau kasusnya film festival.
Terus side programnya apa aja untuk melengkapi—yang masih dalam satu koridor yang sama. Gampangnya, tanggung jawabnya [Program Director] lebih ke isiannya.
Soal turunan film, Mas Mamat pastinya sudah nonton ribuan film dari berbagai negara dan berbagai genre. Sebagai kurator, apa tantangan terbesar dalam menjaga objektivitas dan keterbukaan dalam menilai sebuah film?
Menonton atau menikmati karya seni kan pastinya subjektif. Kita punya persepsi dan perspektif yang beda-beda—tergantung pengetahuan dan pengalaman hidup.
Nah, satu hal yang pasti ketika menjalani profesi yang sifat turunannya adalah ke publik, itu [preferensi] tidak boleh diutamakan atau menjadi keputusan akhir satu-satunya. Jadi, harus mencoba untuk melihat perspektif dari penonton lain yang berbeda sama kita.
Cara menjaganya mungkin: Satu, menerima diri untuk nonton berbagai jenis film. Kadang tuh kita nggak suka sesuatu, tapi ada wilayah yang kemudian: “Ini kayaknya bisa diambil untuk penonton yang ini, deh,” meskipun kita nggak suka sebenarnya secara pribadi.
Itu yang harus jadi fondasi utama kalau mau jadi kurator atau programmer—itu jangkarnya. Caranya itu sih, sebanyak mungkin menyerap dari apa pun, dalam bentuk apa pun, baca apa pun, kemudian bergaul dengan siapa pun—karena bergaul itu semi-semi berlatih juga, misalnya gue nanya ke siapa, “Eh, lo suka film apa sih?” [Dari situ] gue udah mulai mencoba untuk merangkai kerangka, “Kayaknya untuk dia film yang cocok tuh kayak gini, deh.” Meskipun gue nggak sampein langsung. Nanti ngobrol ke orang yang berbeda lagi, filmnya pasti berbeda lagi.
Butuh berapa lama untuk akhirnya bisa mengesampingkan personal taste dengan apa yang penonton mau?
Sejujurnya nggak pernah ngitung. Itu prosesnya berjalan aja sih dari sering ngobrol itu.
Ada kutipan dari Janji Joni (2005) yang bilang, “Coba lihat sekeliling lo, 7 dari 10 pasti mengaku pecinta film.” Kalau film itu dibuat hari ini, mungkin Joko Anwar akan bilang, 9 dari 10, atau bahkan 10 dari 10 orang merasa dirinya pecinta film—terutama di era streaming, media sosial, dan festival film yang semakin mudah diakses. Bagaimana Mas Mamat dan JAFF melihat pergeseran ini? Apakah ada pressure tersendiri dengan meningkatnya demand warga terhadap film berkualitas?
Justru seneng sih. Karena sebenarnya transisi [itu] yang paling terlihat pas pandemi ya. Ketika 2019 yang datang kan masih muka-muka yang familiar gitu, lalu 2020 kan stop semua festival, kami online. 2021 mulai lagi dengan pembatasan, tapi banyak sekali wajah baru. Wajah-wajah baru yang, “Oh ternyata dia sinefil ini, sinefil cabang ini.” Terus, dengan berbagai jenis penonton yang berbeda-beda banget.
Mungkin karena waktu 2021 juga kayaknya banyak film yang “bukan film festival” banget, tapi masuk ke festival. [Dari situ] jadi ada pergeseran juga di mana penonton-penonton yang mungkin nggak pernah ke festival—tapi [emang suka] nonton film [datang ke festival film]. Makanya dulu ada segregasi kan.
[Dulu, masyarakat pikir] film festival tuh harus yang slow-paced, harus yang tidak tiga babak misalnya secara naratif, ya yang kayak gitu-gitu bentuknya.
Sekarang tuh [kami pikir] sebenernya [film-film] populer nggak apa-apa [masuk ke dalam festival]. Tapi kan tentu saja pasti ada perbincangan dalam programnya—bukan cuma filmnya, mungkin bahkan dari lanskap industrinya juga yang harus dilihat. Suka nggak suka, semakin besar festivalnya maka semakin beragam juga penontonnya.
Kalau dulu, mungkin patokan [untuk menilai film] adalah lewat surat kabar atau kritik yang terbaik dan segala macam, sekarang semua orang punya kanalnya masing-masing—Jadi kualitas itu ditentukan oleh bagaimana kemudian orang lain menyetujui pendapatnya dan isiannya bisa dipertanggungjawabkan. Layer dari isinya juga bukan sekadar suka nggak suka, tapi ada argumennya.
Menyenangkan, sih. Justru akan semakin bagus buat festival. Ekosistemnya juga akan lebih baik kalau misalnya penontonnya semakin aktif untuk menyuarakan pendapatnya dengan kemampuan analitiknya yang juga semakin baik.
Berarti emang nggak ada segregasi ya— baik itu yang dicap “poser” atau “Oh, dia mah cuma riding the wave aja hanya untuk Letterboxd.” Semua justru dirayakan ya?
Lo bebas melakukan apa pun di media sosial lo, dan ketika lo masuk ke wilayah yang publik, biarkan publik merespons juga—Tapi bukan wilayahnya festival untuk misalnya, “Poser lo!” Nggak bisa kayak gitu. Jadi itu nanti sesama penonton aja yang kemudian saling berkomunikasi.
Film Asia pun sekarang makin banyak diakui di dunia. Tapi di sisi lain, banyak pembuat film di Asia yang masih harus berhadapan dengan sensor politik, tekanan moral, dan batasan sosial. Bagaimana JAFF melihat benturan antara kebebasan artistik dan realitas ini?
Kami tuh dalam posisi yang selalu menomorsatukan kebebasan artistik. Misalnya ketika ada satu film yang kemudian punya problem [censorship], kami berjuang sampai titik darah penghabisan untuk sampai film itu akhirnya bisa diputar dan tidak dipotong.
Walau pada kenyataannya, terutama Asia Tenggara ya, masih banget menggunakan sensor karena perjalanan panjang politiknya juga. Ada ketakutan-ketakutan soal stabilitas politik, ketimbang menomorsatukan soal perlindungan anak di bawah umur terhadap konten audiovisual.
Di Indonesia sendiri kan yang yang membawa sensor adalah Belanda. Tujuannya adalah supaya tidak ada gelombang nasionalisme. Itu kemudian dirawat agar misalnya pemerintahan tidak konflik dan segala macam. Sampai di sekarang, menurut gue, sensor itu—dan seiring perkembangannya zaman—sangat tidak relevan dengan kondisi hari ini.
Pertama, sensor itu tidak punya patokan yang jelas. Ketika misalnya lo jadi lembaga sensor film, gue jadi lembaga sensor film, lo bilang “Iya”, gue bisa bilang “Nggak”, dengan pemahamannya masing-masing. Tapi, ini kan karya seni yang nggak bisa pakai nilai subjektif untuk menentukan gitu.
Dan terbukti, misalnya sekarang, meskipun sensornya cuma berada di wilayah bioskop dan televisi—kalau di platform YouTube atau di OTT, itu tidak ada lembaga yang kemudian menyaring itu—tapi terbukti masyarakat kita baik-baik aja. Nggak ada yang tiba-tiba nonton film adegan narkoba, semua orang pake narkoba. Itu kan ketakutannya, ketakutan-ketakutan soal konten sebenarnya.
Yang sering disayangkan, kalau diskusi soal sensor, klasifikasi yang diterapkan di negara lain tuh udah sangat detail—Misalnya di [film] 21+, sejauh mana sih ketelanjangan lo yang boleh diperlihatkan? Di [film] 17+ misalnya puting boleh, tapi diperjelas lagi, puting seperti apa yang boleh. Sebenarnya tergantung pijakan lo mau di mana—bahwa pijakannya adalah perlindungan anak di bawah umur, kan jelas gitu kontennya [harus bagaimana]. Bukan lagi soal politik sosial gitu.
Jadi kami berupaya untuk itu, kayak misalnya kami menayangkan—dua tahun yang lalu, film yang menang Cannes’ Semaine de la Critique, Tiger Stripes (2023). Padahal film itu nggak boleh tayang di Malaysia, karena [dianggap] blasphemy. Sensor juga nggak cuma dari pemerintah, tapi juga dari organisasi massa. Itu terjadi juga di film Mentega Terbang (2021), yang juga ngomongin soal agama.
Dalam kasus JAFF, pasti pernah bersinggungan dengan hal-hal seperti itu—terutama dengan konten LGBTQ+. Kami berusaha untuk tetap memberikan argumen ke—paling nggak ke Lembaga Sensor Film, kalau film ini penting untuk diputar secara utuh, bahwa adegan ini tuh penting dan nggak bisa dihilangkan, karena kalau dihilangkan, itu akan mengubah keseluruhan cerita dan mengubah soal bagaimana penonton meresepsi itu.
Pada akhirnya, kami bisa memahami soal kekhawatiran Lembaga Sensor Film—tapi, kami bisa juga menjawab bahwa penonton JAFF itu sudah bisa memilih, menerima film apa pun, dan kami sebagai penyelenggara punya tata kelola yang baik terhadap klasifikasi usianya.
Jadi dari jawaban tersebut, kalau emang harus banget dipotong atau disensor, mending nggak usah ditanyain, ya?
At least, menurut gue. Kan kita juga udah announce ya filmnya ke publik. Mereka udah tau juga film ini bagian dari JAFF. Toh, ada klasifikasi usianya.
Kalau klasifikasi kan [akan lebih] jelas aturannya, “Lo di sini 13+, lo di sini 17+”, yaudah lo terima aja. Tapi, tata kelola bioskop juga harus lebih strict, misalnya soal regulasi menonton–itu rumit, karena selama ini, bioskop [Indonesia] pattern-nya adalah, menurut gue, kehilangan satu penonton adalah kerugian.
Klasifikasi pun masih rada-rada rancu. Star Wars: The Force Awakens (2015) bisa masuk semua umur—Ketika Kylo Ren membunuh Han Solo, nggak mungkin kan ada anak membunuh bapaknya, ditusuk gitu? Tapi masuk semua umur.

Photo via Rajan Nausa/Whiteboard Journal
Balik ke JAFF, tahun ini, dalam semangat Transfiguration, apa hal yang Mas Mamat dan JAFF harapkan akan menjadi warisan atau perubahan jangka panjang kedepannya?
Pasti berbeda dari 2006 ke 2025 gitu ya. Bertumbuh dari pemutaran yang seadanya, sampai di titik bahwa sekarang udah regenerasi panitia dan semakin banyak film dan semakin banyak orang tau JAFF, di Asia bahkan Eropa.
Setelahnya mau ngapain? Menurut gue yang lebih penting adalah—festival film di Indonesia kan selalu selalu berurusan dengan yang namanya sustainability.
Ada beberapa festival yang sangat militan gitu ya, kayak misalnya Minikino yang memutar film-film pendek, atau Festival Film Dokumenter, mereka [umurnya] lebih lama. Tapi untuk festival yang memutar various films, umurnya selalu nggak panjang gitu.
Sustainability ini yang jadi perlu gitu. Jadi berharapnya, itu jadi pilar—baik dari negara, baik dari penontonnya, baik dari swasta, dan filmmaker—untuk kemudian kita bisa capai bersama. Menciptakan festival yang mungkin umurnya bisa lebih lewat dari Venice Film Festival. Karena kalau nggak, kita harus mulai lagi dari nol. Itu satu.
Yang kedua, mungkin bisa jadi festival film Asia Tenggara yang semakin ter-spotlight, sehingga bisa reach out ke temen-temen di luar Asia Tenggara. Banyak film kita yang belakangan ini juga secara konsisten ada di festival-festival dunia. Malaysia, Indonesia, Thailand, Filipina, bahkan Vietnam yang industrinya lagi naik banget. Jadi berjejaring aja sih. Juga mungkin gain trust dari distributor-distributor luar—karena belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, memang harga tiket kita tuh ternyata murah banget, [sampai kadang] nggak bisa di-achieve sama screening fee filmnya. Misalnya di luar negeri, harga satu tiket 2,2 dollar, buat JAFF dengan seat 293 aja udah nggak bisa mengakomodir satu kali penayangan film sebenarnya, gitu.
Masih nyambung sama sustainability, sekarang JAFF udah kayak ARTJOG, bahkan kayak konser—semua orang war ticket untuk pergi ke sana. Bagaimana Mas Mamat sebagai penyelenggara melihat ini dan gimana kemudian potensi besar industri ini bisa di-maintain ke depan?
Hmm, yang pertama—gue nggak tau kultur di bawah tahun 2000, mungkin ada war ticket tapi sifatnya offline, gue nggak tau—Tapi sekarang, riuhnya, ya lagi-lagi karena sosial media. Demand-nya juga makin besar, tentu saja [kami harus] mempertahankan dan meningkatkan kualitas dari program masing-masing festival [JAFF dan JAFF Market], tapi kami juga butuh support pemerintah.
Kedua, ketika kita ngobrolin satu kota—katakanlah Jogja. Kreativitas untuk membuat festivalnya itu besar banget—ada ARTJOG, musik ada Cherrypop, film ada JAFF dan Festival Film Dokumenter—namun, kota ini masih tidak didesain untuk sebuah festival.
Paling nggak JAFF deh, kita bandingkan dengan Busan International Film Festival. Mereka punya cinema center sendiri, bisa multi venue lah. Jadi lo mau nonton A, B, C, lo bisa Jalan kaki, reachable.
Di Jogja jauh-jauh tuh. Jadi, sampai saat ini, gue juga belum kepikiran untuk bisa nge-expand penonton JAFF. “Nggak mau nambah?” misalnya pertanyaannya, nggak ada ruangnya yang berdekatan [untuk expand].
Program JAFF Market kembali hadir dalam edisi kedua tahun ini. Apa sebenarnya peran JAFF Market dalam (ikut serta) membangun ekosistem film ini?
Kalau sirkulasinya, sebenarnya sesederhana kita tahu bahwa kebanyakan industri player adanya di wilayah Jabodetabek. Meskipun mereka satu wilayah, tapi mereka nggak pernah terhubung. Kalau ke JAFF, mereka terisolir dalam satu kota, mau nggak mau jadi ngobrol. Kerutinitasan itu yang kemudian kami formulasikan untuk networking antarindustri. Tapi, lebih jauhnya, adalah untuk menjadi ruang perbincangan soal industri, soal bisnis, soal eksibisi. Memang ruangannya kayaknya nggak cukup kalau cuma di festival, makanya kami bikin JAFF Market. Sesederhana itu.
View this post on Instagram
Nah, itu kalau dari festival ke market-nya. Tapi dari market-nya juga bisa ke festival, misalnya ketika [dari market bilang] “Oh, ini ada film yang menarik!” Nanti showcasing-nya bisa di festival. Simbiosisnya akan kayak gitu, dan bisa juga kebalik.
Dia [JAFF Maket] kan cuma 3 hari, hanya sampai sore. Festival 8 hari dan sampai malam. Jadi misalnya mereka [pendatang JAFF Market] udah selesai dengan urusannya, mereka bisa ke festival untuk liat, “Oh, ini nih, this is emerging talent.” Yang mungkin suatu hari nanti mereka ajak kerja sama. Sesederhana itu sih sebenarnya. Jadi memang akan saling membutuhkan aja satu sama lain.

Photo via JAFF Market
Quick round questions! Film pertama yang bikin Mas Mamat jatuh cinta sama sinema?
Mungkin bukan pengalaman nonton pertama, tapi pengalaman yang gue inget banget, gue nonton Toy Story (1995) di bioskop. Mungkin aneh ya masih kecil ngeliat mainan [kayak gitu], bareng nyokap dan kakak gue. Itu pengalaman yang seru sih, di Metropole. Magis aja.
Film pertama yang bikin Mas Mamat sadar bahwa tidak semua orang harus membuat film?
Yang kebayang langsung tuh film kayak Battlefield Earth-nya John Travolta (2000) kalau sekarang. Tapi tuh bukan soal dia nggak bisa bikin film, tapi kenapa nih film dibuat begini atau kenapa bikin film kayak begini. Atau kayak film-filmnya Uwe Boll.
Susah soalnya ngebayangin orang nggak bisa bikin film. Ada yang emang nggak bakat dan mampu bikin film tapi ada yang emang lagi nggak ada juntrungannya aja ni orang atau lagi apes aja.
Film yang kalau ditonton 1000 kali nggak akan bosan?
Tampopo (1985). Nggak usah dijelasin. Wow.
Film yang ditonton 1 kali aja kayaknya cukup deh…
Hmm… Susah ya kalau dijawab cepet. Tapi, Human Centipede (2009) kali ya, sekali aja cukup.
Terakhir, pelajaran atau saran apa yang bisa diberikan kepada para anak muda yang ingin memulai karier di industri film?
Yang pasti, harus rajin nonton film, dan berani untuk nonton film yang berbeda. Kedua networking, paling gampang adalah dengan rajin ikut berkegiatan, kayak volunteer.
Yang penting tuh, membuktikan diri dulu, bisa dari bikin film pendek yang di-submit ke festival, atau nulis.
Semua itu bisa jadi pintu pertama untuk kamu berkenalan, sebelum ke step selanjutnya atau yang lebih profesional.



