Toton Januar Bercerita Tentang Spektrum Gender dalam Fashion Hingga Pentingnya Kejujuran Berkarya
Kami mendapat kesempatan untuk berbincang dengan Toton Januar mengenai gender dalam dunia fashion, kejujuran dalam berkarya, hingga posisi Indonesia dalam dunia mode internasional.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Salsabila Ramadhani
Sebagai salah satu fashion designer ternama asal Indonesia, Toton Januar merupakan seorang individu yang telah lama mencari jati dirinya dengan mencicipi berbagai macam bidang. Mulai dari teknik hingga broadcasting, proses menemukan jati dirinya tersebut diawali dengan harapan lingkungan yang dengan kuat mengasosiasikan gender dengan pekerjaan. Meskipun begitu, ia ternyata telah menyadari potensi yang ada pada dirinya dalam bidang seni dengan pandangan estetika yang tinggi dalam merancang busana wanita sebagai kekuatan utama — sebuah ranah yang umumnya diasosiasikan dengan femininitas. Sejak saat itu, sang designer akhirnya memutuskan untuk mengikuti nalurinya, menekuni bidang fashion, dan membuat label busana wanita dengan nama TOTON pada tahun 2012. Keputusannya tersebut kini telah berbuah manis — terbukti dengan berbagai macam prestasi yang ia raih dan eksistensinya dalam dunia mode internasional. Derajat estetika yang tinggi, ciri khas yang unik, hingga berbagai inovasi yang ia tawarkan, Toton Januar berusaha untuk memadukan budaya Indonesia dengan gaya kontemporer yang tidak terbatas pada kutub gender tertentu pada setiap karyanya.
Sempat belajar di ranah yang sangat jauh dari fashion, yakni teknik. Apa yang membuat Anda memutuskan untuk berputar haluan ke dunia fashion?
Menurut saya, mungkin ini sebuah panggilan. Saya sempat kuliah di jurusan teknik itu karena dorongan dari keluarga. Waktu dari kecil, alhamdulillah prestasi di sekolah lumayan bagus, dan saya juga merupakan anak satu-satunya sehingga ibu dan keluarga mengarahkan saya pada beberapa opsi pekerjaan yang standar seperti dokter, insinyur dan lain sebagainya. Tapi, memang dari kecil saya sudah menyukai seni dan menggambar. Jadi, sepertinya dari dalam panggilan saya memang lebih condong ke seni tapi pada akhirnya terjatuh pada fashion.
Anda merupakan salah satu desainer dengan rancangan eklektik yang menjunjung tinggi modernitas dan memadukannya dengan berbagai gaya etnik pada setiap koleksi. Apa yang mendasari karakter ini?
Menurut saya, apabila berkecimpung di dunia design, akan ada panggilan dari dalam diri sendiri, jadi, I’m trying to be honest with myself. Apabila saya membuat karya yang lebih personal, kepuasan yang didapat juga akan lebih mendalam.
Apapun yang saya kerjakan, apapun yang saya produksi, dan apapun yang saya keluarkan semuanya betul-betul yang saya suka. Selain itu, semuanya harus berdasarkan ide yang saya percaya. Apabila saya membuat sebuah design, saya ingin sejujur-jujurnya menyukai design tersebut dan percaya bahwa design tersebut bisa memberikan nuansa baru untuk orang yang melihat, jadi tidak hanya sekadar membuat untuk jualan atau membuat karena banyak peminatnya. I mean, of course it’s a business, dan hal-hal tersebut harus tetap dipikirkan, tapi first and foremost, saya men-design karena ingin bisa memberi nuansa baru bagi orang yang melihatnya. Hal tersebut merupakan cerminan dari apa yang saya sukai.
Mulai dari motif lurik dari Jawa pada koleksi Fall/Winter 2013 hingga budaya dari Dayak, Anda kerap mengusung tema etnis yang berbeda-beda pada tiap musimnya. Bagaimana proses penentuan motif-motif atau aksen budaya yang diimplementasikan pada tiap koleksi?
Hal tersebut lebih ke naluri. Saya merupakan seorang individu yang bekerja berdasarkan naluri, dan apapun yang ada di sekitar saya bisa menjadi inspirasi. Saya terkadang kurang berpikir strategis seperti melihat pasar dan tren, dan hal tersebut menuai kritik dari partner kerja saya. Hal yang sering terjadi adalah misalnya saat ingin membuat koleksi, saya sedang menyusuri jalan raya dan melihat seorang nenek yang mengenakan busana yang “tabrak lari”. Hal itu membuat saya penasaran dan terinspirasi, dan begitu terus prosesnya. Saya tidak pernah dengan sengaja menentukan tema tertentu untuk koleksi, karena memang nyatanya lebih condong ke proses yang organik dan selalu mengikuti kata hati.
Emosi dan memori pribadi ikut muncul dalam koleksi Anda, contohnya adalah pada koleksi Fall/Winter 2014 yang dibuat saat kehilangan sosok ibu. Seberapa personal dalam menggarap karya?
Lumayan personal, karena berdasarkan pengalaman pribadi, apabila saya membuat karya yang lebih personal, kepuasan yang didapat juga akan lebih mendalam. Selain itu, pesan atau ide yang ingin saya sampaikan dapat lebih tersalurkan dan diterjemahkan dengan tepat. Dengan hal tersebut, sejauh ini yang melihat karya dengan konteks tersebut juga dapat tersentuh karena, kembali lagi, saya akan terus berusaha jujur pada karya-karya tersebut. Hal ini mencakup jujur dengan apa yang saya rasakan, pikirkan, serta pesan yang ingin saya sampaikan.
Label TOTON yang Anda rintis sejak tahun 2012 merupakan sebuah label yang berfokus pada busana untuk wanita. Kenapa memilih wanita sebagai sasaran utama?
Mungkin karena saya hidup di kelilingi wanita (tertawa). Saya merupakan anak tunggal yang dibesarkan oleh single mother. Selain itu, ibu saya memiliki keluarga yang memang banyak perempuan. Hal tersebut pula yang membuat saya bisa lebih melihat estetika dari sudut mata perempuan. Maksudnya, saya juga menghargai laki-laki dan kebutuhan mereka akan busana, tidak jarang pula teman-teman saya bertanya tentang kapan saya akan mengeluarkan koleksi busana pria, tetapi untuk sekarang, saya memilih untuk fokus pada busana wanita terlebih dahulu.
Saya melihat maskulin dan feminin bukanlah kutub yang sangat berbeda. It’s very fluid.
Apa pandangan Anda tentang feminitas dan maskulinitas, dan bagaimana hal tersebut terpancar pada koleksi Anda dan mempengaruhi karir dalam industri fashion?
Menurut saya, feminitas dan maskulinitas hanya sebatas gender. Sekarang mungkin sedang menjadi isu yang hangat, di mana banyak orang-orang yang mencetuskan gender baru, serta nuansa diantara gender yang ada. Dengan latar belakang saya yang selalu dikelilingi perempuan dan tidak ada sosok laki-laki, dalam artian ayah karena beliau meninggal saat saya masih bayi, membuat saya melihat maskulin dan feminin bukanlah kutub yang sangat berbeda. It’s very fluid. Sah-sah saja apabila seorang yang berjenis kelamin perempuan untuk berpenampilan maskulin, ataupun androgyny. Semua mengarah kepada kebebasan berekspresi, dan yang paling penting adalah bagaimana seorang individu nyaman dalam mengidentifikasi diri mereka sendiri. Dalam dunia design, saya juga kerap menggabungkan unsur-unsur maskulin. Hal tersebut terjadi dikarenakan saya memang menyukai menswear dan senang apabila melihat wanita mengenakan baju yang terinspirasi hal serupa. Fashion merupakan ranah yang luas untuk dieksplor.
Apa hal yang signifikan mempengaruhi pandangan Anda terkait dengan gender dalam ranah fashion setelah tinggal di New York?
Pada saat saya tinggal di New York, pembicaraan soal gender belum sehangat sekarang. Saat itu merupakan tahun 2005 dan di Indonesia pun baru mulai dicetuskan kebebasan-kebebasan, termasuk di dalamnya kebebasan berekspresi. Di New York sendiri, mereka baru saja mengalami tragedi 9/11 jadi memang ada tension di kota tersebut. Hal yang berbeda dengan New York adalah, disana mereka pastinya lebih bebas. Mereka lebih bebas mengekspresikan diri mereka, termasuk didalamnya keberagaman dalam spektrum gender, tanpa harus takut dengan polisi-polisi budaya. Hal tersebut pula yang membuat saya lebih membuka mata akan perbedaan dan keberagaman dan menghargai perbedaan gender, budaya, kepercayaan, politik, dan lain sebagainya. If you can accept people from different point of view, saya pikir itu bisa menjadi dasar pemikiran yang luas dan dapat dikatakan open minded.
Beberapa karya Anda tampil dengan potongan androgyny. Apa yang ingin ditekankan dari cutting tersebut?
Baju itu adalah ekspresi untuk bisa mengidentifikasi diri kita dan menunjukkan apa yang kita rasakan di dalam diri kita, dan terkadang itu superficial. Intinya, it’s just fashion, don’t take it seriously. You have to be open and playful. Semua yang saya tawarkan mudah-mudahan bisa menjadi mainan yang dapat digunakan sehari-hari, agar lebih menarik.
Koleksi Anda mendapat respon dan animo yang positif di pasaran dunia karena kental akan budaya Indonesia yang unik. Sedangkan di Indonesia, busana yang mengusung gaya etnis telah memiliki segmen tersendiri dan sangat umum di masyarakat. Melihat hal tersebut, bagaimana perbandingan reaksi dari pasar Indonesia dibandingkan dengan pasar luar negeri?
Itu sebenarnya awal kenapa saya membuat label TOTON, yaitu dengan dasar pemikiran seperti itu. Pada saat saya sekolah di New York, saya sadar bahwa yang dapat menjadi inspirasi itu tidak harus melihat ke luar negeri. Lihatlah diri dan budaya sendiri. Sebelumnya, tentunya saya kagum saat melihat designer luar seperti yang dari Jepang dan Paris. Tapi, saat melihat budaya sendiri, sejujurnya sebagai anak muda waktu itu saya merasa bahwa hal tersebut terlalu etnik, dan malah menjauhkan diri dari hal tersebut.
Fashion merupakan ranah yang luas untuk dieksplor.
Sewaktu di New York, antusiasme dari teman-teman saya disana besar sekali terhadap budaya kita. Mereka tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang etnik atau kampungan, sebaliknya mereka sangat kagum dan mengapresiasinya. Hal tersebut yang mendasari saya untuk membuat label TOTON dengan mengusung budaya Indonesia yang dikemas secara kontemporer, yang pada saat itu belum ada segmennya. Selain itu, belum ada sesama brand atau designer yang mengusung hal serupa – mereka lebih fokus kepada satu aliran saja, baik itu etnik maupun kontemporer.
Selain itu, alasan kenapa saya coba untuk lempar ke luar negeri terlebih dahulu adalah karena saya merasa animonya lebih besar di luar negeri. Setelah beberapa tahun, akhirnya kami membuat toko di Indonesia, yakni di ARA Jakarta, dan untungnya pola pikir masyarakat sudah shifting dan bisa lebih memahami dan mengapresiasi kalau budaya yang dikemas secara kontemporer itu memiliki value tidak kalah dengan yang lain.
Bagaimana kondisi dan perkembangan fashion di Indonesia saat ini?
Pesat sekali dibanding dulu saat saya berusia 18 tahun, di mana saya memandang dunia fashion dan designer sebagai sesuatu yang amat eksklusif dan segmented. Saya memandang bahwa orang yang memiliki akses ke designer hanyalah orang-orang yang memiliki banyak uang dan mampu membeli baju yang made-to-order, dan hal tersebut berbeda dari sekarang. Kini, sudah banyak designer muda, harganya juga cukup terjangkau, dikemas secara ready-to-wear, dan hal tersebut merupakan perkembangan yang sangat bagus, walaupun seleksi alam pastinya selalu ada.
Koleksi TOTON memiliki ciri khas tersendiri dan tidak jarang masyarakat mengkategorikannya sebagai sesuatu yang eksentrik sebagai bentuk ekspresi diri. Mengacu pada hal tersebut, apa yang menjadi dasar Anda dalam berekspresi dan membuat karya?
Menurut saya, ide sebagai bentuk reaksi dari sekitar adalah yang menjadi dasar pemikirannya. Terkadang, apa yang mencetuskan ide itu bukanlah fashion itu sendiri. Semuanya pada akhirnya saya cerna dan saya keluarkan lagi dalam bentuk koleksi fashion.
Sebagai salah satu desainer Indonesia yang telah mendunia. Menurut Anda, bagaimana pandangan dunia terhadap dunia mode Indonesia?
Saya bersyukur apabila dibilang mendunia, karena sejujurnya it’s a long battle. Saya punya cita-cita bahwa suatu saat fashion Indonesia punya tempat tersendiri, contohnya seperti fashion designers dari Jepang. Mulai dari Rei Kawakubo, hingga designer-designer muda seperti Sacai – saya ingin Indonesia seperti itu. Mereka tidak hanya satu yang terkenal, melainkan banyak, karena it’s such a creative force. Sekarang yang sedang terkenal adalah Chinese designers, di mana banyak dari mereka menetap di London karena kebanyakan bersekolah di Central Saint Martins dan mereka pun berkeliaran di Paris dan memiliki show dan showroom. Mereka memiliki strategi tertentu untuk dapat menembus pasar. Selain karena mereka kreatif dan gigih, mereka juga datang dari negara yang merupakan salah satu pasar terbesar di dunia yang dapat mendukung industri mereka. Maka dari itu, saat mereka kembali untuk Shanghai Fashion Week, para pembeli dari negara mereka sendiri banyak sekali. Saya berharap Indonesia suatu saat bisa seperti itu.
Saya punya cita-cita bahwa suatu saat fashion Indonesia punya tempat tersendiri.
Kalau sekarang, Indonesia dinilai sebagai negara yang punya kreativitas tinggi. Tapi dari segi contemporary design dan segi bisnis sebagai fashion business, hal tersebut masih belum sampai ke level yang setara dengan negara-negara lain. Perjuangannya masih panjang. Saya berharap bahwa bukan hanya saya atau teman-teman yang saya kenal saja yang berusaha untuk dapat membawa fashion Indonesia ke arah yang lebih baik, melainkan bersama designer lainnya secara kolektif. Di mana Anda menetap sebagai seorang designer sangatlah berpengaruh, karena mereka butuh kepercayaannya. There’s still a lot of things that needs to be proven.
Apa rencana ke depan?
Sejujurnya, dengan brand kami, there are ups and downs. It’s been a ride, dan perjalanan saya masih panjang. Saya tidak dapat mencetuskan rencana yang signifikan, tetapi saya ingin brand ini bisa tetap stabil dan dapat menembus pasar-pasar yang belum ditembus sekarang seperti di Eropa. Selain itu, semoga bisa menjadi inspirasi dan membawa Indonesian creative force ke dunia dan ke arah yang lebih baik.