Invest in Meaning, Not Clothes with SukkhaCitta
Berdiskusi mengenai keberlanjutan lingkungan dan pemberdayaan perempuan, kami berbicara dengan Denica Flesch untuk mengupas cerita di balik SukkhaCitta.
Words by Whiteboard Journal
Teks oleh Marsha Huwaidaa
Foto oleh SukkhaCitta
Sebagai orang yang peduli dan ingin tahu, Denica Riadini-Flesch dan SukkhaCitta hadir untuk memberdayakan perempuan pengrajin di daerah pelosok Indonesia untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. SukkhaCitta telah didirikan pada tahun 2016 oleh Denica Riadini-Flesch sebagai perusahaan sosial dengan misi pemberdayaan perempuan yang fokus utamanya adalah pada mata pencaharian dari pertanian, kehutanan regeneratif, dan kerajinan. Salah satu inovasi SukkhaCitta adalah praktik farm-to-closet yang diciptakan untuk mensejahterakan para pengrajin perempuan sebagai penciptaan ekosistem baru.
Melalui industri yang terdampak dari perubahan lingkungan, 80% kelompok yang terlantar akibat krisis iklim adalah perempuan. SukkhaCitta hadir dengan visi berkelanjutan dan pembuatan sandang yang berarti untuk menjaga kelestarian budaya dan lingkungan. Perubahan yang telah diberikan oleh SukkhaCitta mengantarkan keberhasilannya untuk mencatat skor 95.3 dalam sertifikasi B Corp, dan telah memenuhi standar kinerja, akuntabilitas, dan verifikasi transparansi pada faktor kesejahteraan pekerja, keberlanjutan, hingga praktik rantai pasokan dan pemakaian bahan.
Apa motivasi terbesar pada awal pembuatan Sukkhacitta?
My background is actually from economic development dan gak ada background fashion sama sekali. Tapi, saya melihat potensi dalam hal tersebut karena banyak orang yang belum menyikapi masalah yang sebenarnya, yaitu akses ke edukasi dan akses ke market. Lalu, [saya] mulai berani untuk mencari solusi atas masalah ini, karena ibu-ibu pengrajin tidak bisa hidup tanpa kerajinan mereka.
SukkhaCitta hadir sebagai sebuah jembatan antara orang-orang yang peduli, ingin tahu, dan memiliki akses dengan ibu-ibu pengrajin yang masih menjaga kearifan lokal di desanya. Peran kami juga hadir agar bisa membantu ibu-ibu di daerah untuk bisa melanjutkan kerajinan asli Indonesia.
Bagaimana Denica dan SukkhaCitta membantu untuk mendorong kesejahteraan dan pemberdayaan para perempuan pengrajin lokal untuk mencapai hidup yang lebih sejahtera?
Saya terjun langsung untuk membangun kepercayaan dengan ibu-ibu pengrajin, karena social capital itu nomor satu. SukkhaCitta hadir untuk mendengar masalah para pengrajin dan membantu, karena bargaining power dan suara kembali lagi ke mereka. Dari sana, kami belajar nilai yang lebih memanusiakan. Makanya, produk SukkhaCitta gak pernah ada season, karena produk yang sudah gak musim jadi harus dibuang dan didiskon. SukkhaCitta merilis produknya itu berdasarkan progres belajar ibu-ibu di Rumah SukkhaCitta, jadi produk akan launching kalau mereka belajar motif baru, warna baru, dan teknik baru. Keputusan launching mengikuti progres ibu-ibu di Rumah Sukkhacitta, instead of asking them periodically.
Melalui situs SukhaCitta, terdapat data di mana 80% kelompok yang sudah terlantar akibat krisis iklim adalah perempuan. Bagaimana upaya SukkhaCitta untuk membangun inklusi ekonomi perempuan dengan pembangunan yang berkelanjutan?
80% dari beneficiary SukkhaCitta adalah perempuan. Dampak secara langsung dari perubahan iklim dapat dirasakan oleh perempuan, makanya terciptalah ekosistem “farm-to-closet” yang dibuat untuk mensejahterakan ibu-ibu. Fokusnya bukan untuk memproduksi baju saja, tapi ekosistem baru. Tidak hanya tentang bagaimana baju itu dibuat, tapi ibu-ibu yang membuatnya akan mendapatkan living wage.
SukkhaCitta baru saja mendapatkan penghargaan Nest Seal; Ethically Handcrafted, apa itu konsep “Ethically Handcrafted” bagi Sukkhacitta?
Untuk bisa mendapatkan sertifikasi, mereka sudah merancang 100 lebih standar untuk melindungi pengrajin yang ada di luar pabrik. Handcrafted doesn’t mean it’s ethical. Though it’s made by hand, it doesn’t mean that it was made ethically. But, ethical means that there is an equal voice in something. Ibu-ibu pengrajin yang ada akan diberikan edukasi untuk menilai harga sebuah kain. Karena di industri pengrajin, hasilnya dibayar piece rate. Jadi, seringkali pendapatan pengrajin ditentukan oleh harga yang dibeli para tengkulak. Walaupun kain sudah sudah dibuat berbulan-bulan, tetapi kalau tengkulaknya cuma mau bayar 100 ribu, ya, mau bagaimana lagi?
Berbeda kalau di Rumah SukkhaCitta, karena ibu-ibunya dibekali dengan time-motion study, maka ibu-ibu pengrajin harus tahu waktu yang dipakai dalam pembuatan kain itu berapa lama. Sehingga, mereka bisa mengerti kalau kain itu bisa dibayar seharga sejuta bukan 100 ribu. That’s how we could earn BCorp dan Nest Seal, karena bisa merubah industri yang awalnya mereka hanya price taker, kemudian menjadi seorang perempuan yang tahu hak mereka itu apa, nilai barang mereka itu berapa. Jadi itu memastikan kalau nilai yang konsumen bayar akan memberikan living wage all the way to the farm. We provide opportunities where it is needed most.
Handcrafted doesn’t mean it’s ethical. Though it’s made by hand, it doesn’t mean that it was made ethically. But, ethical means that there is an equal voice in something.
Bagaimana SukkhaCitta menerapkan time-motion study yang efektif terhadap ibu-ibu pengrajin? Apalagi pasti dalam proses di dalamnya terjadi kekhawatiran antara para pengrajin?
SukkhaCitta tidak hanya memberikan akses edukasi saja. Jadi selain mendapatkan training, kami juga memberikan akses ke market yang berkelanjutan. Nah, dari sana mereka merasakan dampaknya. Hingga saat ini ada 1.500 petani dan pengrajin yang kami bina. Jadi kami gak training aja terus kami tinggal. If no one wants to pay that price, ya percuma, berarti intervensinya gak berkelanjutan. Kalau SukkhaCitta, kami berikan social enterprise di desa, education, and training, dan kami connect langsung ke pasar berkelanjutan yang memang memberikan harga yang sesuai.
Nah, tapi musuh utama dari ini adalah konsumerisme. Karena sekarang ini, dengan konsumerisme, para konsumen maunya yang murah, jadi pastinya senang bisa dapat promo dengan harga murah. Tapi karena kita terputus atas dari mana asal barang dan bahan tersebut, kita gak berpikir kalau di balik harga murah, ada orang lain yang harus membayar itu semua. Karena hal itu akan dibayar oleh ibu-ibu pengrajin dan lingkungan. Contohnya, dari segi pewarnaan. Pasti kita setiap harinya kepikiran mau pakai baju warna apa. Tapi kita jarang untuk berhenti sejenak dan berpikir kira-kira itu pewarnanya pakai apa, terus limbah warnanya ke mana. Tanpa disadari, banyak baju kita memakai pewarna kimia, jadi memakai fossil fuel. Kemudian, banyak juga yang limbahnya secara langsung dibuang ke sungai. Siapa lagi yang hidupnya bergantung ke sungai kalau bukan para ibu pengrajin? Jadi, mereka yang membayar harga sebenarnya dari harga produksi.
Sayangnya, di balik pentingnya sustainability, sudah banyak brand yang justru melakukan greenwashing. Sebagai konsumen, bagaimana cara kita bisa lebih kritis terhadap produk yang benar-benar sustainable?
Sustainability adalah suatu hal yang kita harus tetap pelajari dan terus bersikap progresif tentangnya.
Sustainability adalah isu yang sangat kompleks, banyak hal yang perlu diperhatikan. Karena sustainability adalah suatu hal yang kita harus tetap pelajari dan terus bersikap progresif tentangnya. Itu bukan checklist “yes or no”, dan hanya digunakan untuk marketing. Nah, yang perlu diberikan ke konsumen adalah critical mindset bahwa sesuatu itu jauh lebih kompleks dari apa yang kita tahu agar selalu ingin punya pengetahuan yang lebih. Jadi, konsumen harus banyak bertanya untuk tahu sumbernya, dibuat di mana, hingga berapa penghasilan para pekerjanya. Ini semua agar kita bisa make decisions that’s aligned with your value as a human being. What is it that you want to pour?
View this post on Instagram
SukkhaCitta punya tagline “The Most Meaningful Clothes”, kira-kira pesan apa yang ingin disampaikan dari tagline tersebut?
We’re not here as another fashion brand, we’re not here to sell you more clothes. We’re here to tell you a story of how and why a clothing was made, to empower you with all the information, to help you choose mindfully and is aligned with your values. Agar kita berpikir sebelum membeli suatu barang, dan untuk kita invest in meaning, not stuff. Itu kenapa, jadinya “The Most Meaningful Clothes” because we want to reconnect and remind you bahwa janganlah dengan mudahnya tergoda kampanye konsumerisme. Belilah sesuatu yang meaningful.
Untuk saya, true sustainability adalah apabila hubungan kita terhadap sesuatu itu berubah. Kalau sesuatu itu meaningful, maka akan kita rawat, kalau rusak kita perbaiki, dan akan dipakai secara terus menerus. Inilah kebiasaan dari nenek moyang kita, di mana mereka membeli baju untuk diteruskan ke generasi selanjutnya.
Apakah tagline tersebut juga sesuai dengan desain produk-produk SukkhaCitta yang sangat versatile?
Yes, the keyword here is timeless. Jadi filosofi dari desain kami adalah “a new heritage”. We want to create something so timeless that you can pass it, so it becomes your heritage. We’re not trend-driven, kami gak pernah launching by season, karena buat kami “the most meaningful clothes” bukan hanya sebuah tagline, tapi itu adalah our compass. Itu adalah values yang kami terapkan di setiap keputusan yang kami ambil dalam berbisnis. Jadi, setiap tahunnya, dari pada bertanya, “seberapa besar kami mau berkembang?” seperti bisnis pada umumnya, kami bertanya, “how can we be more meaningful to our artisans and our customers this year?”.
View this post on Instagram
Bagaimana cara SukkhaCitta agar bisa merubah perspektif serta mengedukasi masyarakat tentang praktik konsumtif yang lebih mindful?
I guess through articles like yours. In the age of internet, there are no geographical boundaries to knowledge. If it’s important to us, we will find a way to know about it. Yang perlu digaungkan adalah self-awareness, di mana sekarang banyak yang terbiasa untuk sesuatu yang instan dan mudah. Gak banyak keinginan untuk bertanya dan mencari tahu lebih dalam. Gak banyak yang mencari tahu, “Who am I? What matters to me? What legacy do I want to build? What do I want to contribute towards, because for me it’s the real kind of happiness”. That’s why I called it SukkhaCitta. I have to go through the journey of discovering myself, figuring out what really makes me happy. If someone cares so much, they are willing to learn.
Apakah jalan kita masih panjang untuk memperkenalkan produk sustainable kepada konsumen di Indonesia?
Bukan hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Kita itu ditipu oleh industri fast fashion untuk membeli lebih banyak produk dengan menurunkan biaya produksi. We never want to guilt trip someone, it’s your choice, at the end of the day it is all back to your decision. Apakah mau invest in sustainably-made clothes atau tidak – itu kembali ke diri masing-masing.
Apa pesan yang SukkhaCitta ingin sampaikan dalam produknya?
Memang di balik harga sebenarnya sebuah baju itu jauh lebih tinggi dari harga yang kita bayarkan di price tag. Untuk apa yang dilakukan, kita berusaha untuk connect customer dengan real story. We want to share the truthful story of what really goes on.
Harapan kami adalah agar konsumen bisa betul-betul berpikir ketika membeli sesuatu agar bisa melihat suatu barang lebih dari sekadar harga dan tampilannya, melainkan melihat bagaimana cara produk tersebut dibuat dan inisiatif apa yang dapat kita dukung lewat pembeliannya. Sehingga, penghasilan dari jerih payah kita dapat disalurkan untuk sesuatu yang benar-benar kita yakini, bukan hanya untuk mendanai keuntungan para korporasi besar. Jadi yang dilihat adalah uangnya kemana?
Bagaimana Denica melihat SukkhaCitta dalam lima tahun kedepan agar tetap konsisten dalam perjuangan pemberdayaan perempuan dan industri berkelanjutan?
We will continue doing what we do.