Modest Fashion dan Ekspresi di Era Media Sosial bersama Tasya Kissty
Berkolaborasi dengan Bobo Tokyo, kami berbincang dengan Tasya Kissty untuk mendengar perjalanannya sebagai seorang kreator di media sosial serta tanggapannya tentang pergeseran tren modest wear di Indonesia.
Words by Ghina Sabrina
In partnership with Bobo Tokyo
Semakin hari, semakin banyak modest wear brand baru yang bermunculan. Secara garis besar, modest wear itu adalah gaya berbusana yang mengedepankan unsur kesopanan karena desain pakaiannya yang sengaja dibuat untuk menutupi sebagian besar tubuh. Namun, di Indonesia sendiri, modest wear identik dengan pakaian yang diperuntukan untuk para perempuan berhijab.
Dalam industri ini, pun banyak sosok-sosok kreator yang dikenal sebagai trendsetter dalam berpakaian maupun beraktivitas. Salah satunya adalah Tasya Kissty. Besar di media sosial, ia dikenal karena gaya berpakaiannya yang berani mix and match warna maupun siluet, serta karya ilustrasinya yang cocok dengan personality-nya.
Berkolaborasi dengan Bobo Tokyo, kami berbincang dengan Tasya untuk mendengar perjalanannya sebagai seorang kreator di media sosial, kegemarannya dalam membuat karya ilustrasi, serta tanggapannya tentang pergeseran tren modest wear di Indonesia.
Tasya bisa dibilang sebagai sosok yang besar di media sosial, bagaimana Anda melihat platform tersebut sebagai perpanjangan dari personality kamu sendiri?
Sebenarnya, untuk social media itu gue nggak melihatnya sebagai pekerjaan dimana gue dipaksa harus menjadi ‘ini’ atau ‘itu’. Seperti manusia pada umunya, gue juga kadang moody, kadang semangat; makanya gue lihat itu sebagai platform untuk sharing art yang biasa gue bikin.
Awalnya pun gue gak sengaja terkenal, makanya gue pikir “apa ya yang bisa gue tunjukin ke orang-orang?” biar ketika orang melihat gue itu nggak useless. Jadi, gue memperbanyak bikin gambar dan makeup yang eksperimental, kadang-kadang juga posting outfit of the day, dan menurut gue ini beberapa cara untuk mengekspresikan diri.
Sebelum seperti sekarang, gue benar-benar foto iseng aja di Instagram, bahkan sampai seperti cewek-cewek yang kerjaannya foto-foto terus. Lalu tiba-tiba, kok, banyak orang yang tiba-tiba follow? Mulai dari sana, gue ke-trigger untuk menunjukkan kalau ada sisi lebih yang bisa gue tawarkan melalui platform ini dengan karya-karya yang gue buat. Dan ternyata, proses ini yang membuat gue lebih mengenal diri gue sendiri.
Tasya juga kerap melakukan kolaborasi dengan brands, bagaimana cara untuk tetap menghadirkan identitas Anda dalam produk-produk tersebut?
Beberapa brand yang approach gue untungnya mengerti kalau gue request ke mereka untuk menambahkan ilustrasi atau warna-warna lain di output-nya.
Misalnya, gue dapat brief untuk foto close up. Gue itu biasanya nggak mau untuk mengikuti brief dan bikin asset sama seperti KOL lainnya, makanya gue selalu mencari cara untuk beda dari mereka. Salah satu caranya itu pakai editing skill di Photoshop terus nambah-nambahin gambar dan typography lewat Procreate. Intinya, gimana caranya dirombak biar gak kayak iklan.
Seringkali, ketika klien minta A, gue kasih A.1, dimana gue kasih sedikit tambahan dalam treatment asset-nya. Terus, ketika klien itu approach gue lagi, mereka langsung minta A.1. Dari sini, gue jadi tahu kalau mereka bisa aware sama approach atau treatment yang bisa gue berikan ketika kita sebagai kreator pun bisa kasih perspektif lain soal personality kita sendiri. Jadi mereka pun sebagai klien bisa memberikan kita ruang eksplorasi dalam mengerjakan brief-nya.
Seringkali, ada perubahan yang dialami para kreator seiring dengan berkembanganya following, bagaimana Anda menanggapi ini?
Gue setuju kalau kreator berkembang dari mikro ke makro itu pasti akan jauh lebih komersil. Makanya, seperti yang tadi gue bilang, gue selalu mencari cara untuk tidak kelihatan terlalu ‘jualan’ waktu mendapatkan brief dari klien-klien.
Sesimpel ada brief dimana gue diminta untuk menaruh stiker link atau mengajak followers untuk ‘swipe up’, gue biasanya nggak mau ngikutin. Gue biasanya mencari cara untuk bikin konten yang lebih engaging dengan menambahkan cerita agar followers gue pun mengikuti storytelling yang disampaikan. Intinya biar lebih soft selling aja, sih.
Storytelling itu lebih penting di media sosial. Biasanya, kreator yang makro itu audiensnya lumayan segmented, sehingga mereka pun mengerti kalau kita sedang bikin konten jualan. Tapi, yang gue pelajari juga adalah ketika gue membuat konten jualan, engagement rate (ER) dari post itu biasanya jauh lebih kecil. Makanya, gue merasa bertanggung jawab untuk membuat konten tersebut lebih relatable dan engaging dengan storytelling yang baik.
Apa ada insight yang bisa Tasya share ketika berekspresi di platform seperti Instagram?
Lumayan hoki-hokian sih menurut gue selama ini. Ada konten yang dibuat dengan niat dan tulis, tapi malah ER-nya rendah; ada juga konten yang dibuat dengan asal, tapi malah ER-nya tinggi. Algoritmanya Instagram itu sekarang benar-benar unpredictable, karena walaupun followers gue lumayan besar, tapi gak tahu kenapa rasanya itu mereka memaksa kita untuk lebih aktif dari biasanya.
Akhirnya, gue sempat merasa pressured dalam pekerjaan, menjadi ER-oriented padahal harusnya lebih enjoy the process. Karena, kalau gue lebih menikmati prosesnya, ketika hasilnya tidak sesuai harapan, gue nggak akan terlalu stres.
Tasya juga dikenal berkat karya ilustrasi, bisa ceritakan awal mula ketertarikan Anda di bidang tersebut?
Awalnya gue tertarik ke hal-hal kreatif itu semenjak SD waktu mulai sering membaca beberapa komik milik kakak. Pada suatu hari, gue kepikiran untuk coba recreate salah satu gambar anime dari komik itu, terus pas lihat hasilnya, ternyata gue mulai merasa ada bakat menggambar. Mulai dari sana, gue jadi suka ikut lomba. Sesampainya di SMA, bakat gue cukup terpedam, bahkan cuma muncul pas pelajaran seni di sekolah.
Waktu kuliah, awalnya itu gue ingin masuk jurusan Psikologi, tapi ga masuk. Memang bukan jalannya. Akhirnya, ketemu sama tante gue yang arsitek, lalu ia bilang, “Kenapa nggak coba masuk DKV aja?”. Gue pertama tahu jurusan Desan Komunikasi Visual (DKV) itu dari dia, sebelumnya itu cuma tahu Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD). Kata tante, BINUS punya program DKV yang bagus, jadi akhirnya gue mendaftarkan diri untuk ikut jurusan tersebut dan keterima. Lucunya, waktu itu gue bahkan nggak ada pikiran untuk bekerja atau punya kesibukan di ranah industri kreatif.
Saat masuk BINUS, teman-teman gue ini sangat berbakat karena mereka jadi trigger buat gue mengasah kreativitas juga. Mereka selalu bilang, “Ayo dong, lo bikin ini juga” dan itu salah satu contoh bagaimana lingkungan sekitar di kuliah itu bisa sangat memengaruhi kita juga.
Soal illustration style, sebetulnya gue pun sekarang masih belajar. Belum menemukan yang saklek dan masih di tahap eksplorasi juga. Tapi, ketika mulai semester 5 kuliah, baru terbentuk tipe ilustrasi yang lebih gue dari jenis stroke hingga pemilihan warna. Akhirnya, ada teman yang bilang, “Kalau lihat ilustrasi warna biru dan pink itu lo banget.” Dari sana gue menyadari kalau ternyata gue punya palet warna.
Lalu, Tasya juga konsisten dalam pemilihan warna dalam karyanya. Boleh ceritakan proses pemilihan karakter warna tersebut?
Gue itu kalau gambar suka pemilihan warna yang dominan gelap tapi at the same time ada yang nyala, jadi gue harus memilih warna-warna yang terang juga. Biasanya, warna base itu hitam, navy, terus warna wajibnya itu ungu, magenta, biru, dan kuning – biar ilustrasi gue stand out. Gue juga selalu suka warna hasil perpaduan pink dan biru.
Gue itu selalu menaruh complementary colors juga yang secara nggak langsung nyambung sama diri gue sendiri. Gue pengen karya gue nggak selalu berisi hal-hal cute, tapi juga ada kontrasnya juga.
Tasya juga dikenal karena fashion style yang berbeda dari content creator lainnya, penuh warna dan lebih berani untuk mix and match. Bisa ceritakan bagaimana akhirnya bisa menemukan style Tasya sekarang?
Tahun 2017 itu bisa dibilang sebagai masa dimana gue sangat mencari jati diri. Di masa itu, gue bisa memakai segala macam warna dalam satu outfit, yang mungkin bikin orang sakit mata (tertawa). Teman-teman gue juga pada saat itu fashion style-nya sangat berani, makanya gue juga tergerak untuk sefrekuensi sama mereka.
Di tahun 2018, gue udah mulai tone down secara style. Kalau di tahun sebelumnya pemilihan baju gue itu ‘ekstrovert’ banget, di tahun 2018 gue mulai mencoba untuk lebih memperlihatkan diri gue sebenarnya yang lebih introvert. Akhirnya, pemilihan baju gue itu lebih calm secara pemilihan warna walaupun masih memakai beberapa pieces yang mencolok. Semakin lama, gue menyadari kalau memang lebih nyaman ketika menggunakan warna-warna yang tone down dan muted, staple pieces. Bahkan, kerudung gue pun nggak ada yang warna-warni dan lebih memilih untuk memakai neutral colors.
View this post on Instagram
Selain aktif dalam membuat karya ilustrasi, Tasya juga gemar memperlihatkan makeup eksperimental. Apakah ini wadah bermain lainnya?
Gue juga merasa makeup sebagai wadah untuk mengasah skill. Kalau gue lihat, di Indonesia itu beauty content creator-nya sangat bagus-bagus – cuma menurut gue terlalu template. Padahal, masih banyak eksplorasi yang bisa dilakukan. Gue malah berharap industri kecantikan Indonesia yang experimental makeup ini bisa jauh lebih berani. Makanya, gue mencoba untuk membuat makeup ini sebagai wadah untuk bisa mengeskplorasi lebih jauh, sampai mana kita bisa berkreasi lewat warna atau bentuk-bentuk yang digambar di wajah.
How would you describe your style?
Sebenarnya mirip sama style ilustrasi gue, banyak perpaduan warna hitam, gelap dan warna. Secara konsep, seperti ingin standout tapi nggak mau terlalu obvious.
Untuk dalaman itu selalu pakai warna hitam atau netral, lalu dilapis dengan kemeja yang lebih berwarna. Pokoknya, dalam satu outfit, misalnya ada total 3 items, salah satunya harus berwarna dan sisanya itu bewarna hitam atau neutral.
Apa must-have item dalam wardrobe Anda?
Must have item gue itu oversized atau loose shirt. Gue itu suka pakai dalaman yang neutral atau warna hitam, makanya luaran berwarna itu sangat penting. Untuk celana, wide-leg jeans itu harus, terus celana hitam juga essential.
Sebenarnya, dari setiap baju yang gue punya pun ada beberapa items yang lebih striking. Dari celana yang warnanya lebih berani, terus graphic t-shirts juga ada. Yang penting adalah bagaimana kita memakainya biar balance dan tetap muncul personality kita sendiri.
Apa tips and tricks untuk styling modest wear ala Tasya Kissty?
Pada dasarnya itu terserah orang-orang mau memakai baju seperti apa, dari yang ketat hingga loose. Cuma, kalau gue pribadi, gue memang suka memakai outfit yang ada di tengah, tidak terlalu ketat dan tidak terlalu loose. Jadi, tipe fit baju yang nyaman dan memang mendukung gue untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Yang penting itu balik lagi ke bagaimana kita bisa mem-balance fashion items yang kita pakai. Body type gue itu hourglass, jadi pinggangnya itu lebih kecil dari pinggul. Untuk body type seperti ini, bisa coba memakai high-waisted pants dengan wide-leg agar kelihatan lebih tinggi. Selain itu, memakai atasan yang cropped juga masih acceptable asal nggak terlalu di atas pinggang. Terakhir, outfit kita itu bisa jadi lebih elevated dan trendy kalau dilengkapi dengan oversized shirt.
Soal bentuk hijab, lagi-lagi itu balik ke diri masing-masing. Untuk gue sendiri yang sering memakai gaya turban, ada banyak yang suka memberikan komentar negatif karena lehernya bisa terlihat. Tapi, it’s my own decision. Kalau memang mau lebih eksploratif, boleh saja, asal tahu konsekuensinya. Instant pashmina juga salah satu jenis hijab yang paling gue suka, karena sangat memudahkan gue yang suka mencoba banyak jenis gaya dengan simpel.
Sekarang, brand modest wear sudah mulai ramai di pasar, namun pilihan gaya bajunya belum terlalu banyak. Apa Tasya lebih sering belanja di brand modest wear atau brand lain yang lebih general?
Gue lebih sering berbelanja di brand yang general, karena untuk koleksi barang-barang yang tersedia di brand modest wear itu jarang yang bisa membuat gue jadi eksploratif. Belum lagi, mereka terhitung jarang mengeluarkan koleksi baru kalau dibandingkan dengan brand lainnya. Jadi, sebenarnya gue sendiri pun nggak memerhatikan label ‘modest’ ketika melihat sebuah brand – tapi lebih prefer ke label womenswear aja.
Justru, sebenarnya banyak banget baju dari brand womenswear yang memungkinkan untuk kita eksplor gaya-gaya yang cocok sama identitas kita sebagai perempuan berhijab. Sesimpel mix and match jeans dengan oversized shirt itu menurut gue udah bisa dilakukan dan memang sesuai dengan standar yang seharusnya diikuti.
Setiap orang memiliki perspektif yang berbeda soal modest wear, mulai dari identitasnya yang melekat dengan agama atau sekadar berpakaian sopan. Bagaimana dengan Tasya?
Gue sebetulnya nggak terlalu memperhatikan hal-hal seperti itu, dalam artian gue melihat pakaian itu sebatas nyaman atau nggak untuk gue pakai. Kalau nyaman, ya akan gue pakai.
Tren modest wear saat ini identik dengan warna pastel dan kesan chic – yang mana sangat bertolak belakang dengan style Tasya. Apa tanggapan Tasya tentang tren modest wear sekarang?
Dulu, gue sempat ada beberapa pekerjaan untuk photoshoot hijab yang market-nya itu menjawab tren chic. Waktu melihat output-nya, gue gak melihat gaya pakaian tersebut sebagai gue. Gak gue banget. Jadi, gue emang nggak terjun ke tren itu bukan karena nggak suka, tapi lebih karena nggak merasa belong di sana.
Bagiamana Tasya melihat pergerakan tren modest wear dari awal memakai hijab sampai sekarang?
Sebenarnya, dari dulu itu palet warna nude, pinkish, mauve itu timeless di dunia modest wear. Tapi, untungnya sekarang lebih berkembang. Apalagi sekarang ada tren ‘cewe kue, cewe mamba’. Tren chic ini nggak apa-apa sih, as long mereka tahu itu jati diri mereka, jadi gak template. Ketika kita menyukai dan mengikuti sebuah tren, yang paling penting itu kita tahu apakah itu cocok dengan diri kita sendiri apa nggak. Banyak banget yang gue lihat di luar sana misalnya ada satu circle pertemanan yang gayanya chic semua, toko bajunya pun sama, dan mereka jadinya lumayan template kelihatannya. Walaupun sebenarnya nggak apa-apa, tapi yang membuat kita bertanya-tanya adalah sisi personality dari mereka itu bisa dilihat dari mana.
Modest wear ini lama-lama sudah mulai muncul warna-warna yang lebih berani. Salah satu batu loncatan yang kelihatan adalah kemunculan warna lilac yang kemudian diikuti dengan warna sage green. Dari sana, mulai banyak brand modest wear yang merilis cardigan dengan warna-warna selain warna netral. Jadi lambat laun lebih bervariasi dari segi pilihan produk dan seru.
Bagaimana Tasya melihat ciri khas modest wear?
Suatu brand bisa terlihat atau disebut modest wear dari siluet pakaiannya, pemilihan warna, serta cara mereka represent baju mereka di keseharian seperti apa. Material juga penting.
Apa harapan Tasya ke depannya tentang arah pergerakan tren modest wear di Indonesia?
Harapan gue ke depannya itu semoga nggak template, maksudnya bagaimana caranya ketika membuat pakaian yang nggak terlalu mencolok, tapi menjadi sesuatu yang beda dari yang lain. Misalnya, beberapa brand womenswear itu banyak mengadopsi gaya quiet statement, jadi mereka nggak harus menambah fitur-fitur yang extravagant tapi bisa terlihat classy, keren dan timeless. Kemudian, salah satu yang paling penting juga inovasi material dengan kualitas bagus namun cocok untuk dipakai di negara kita yang notabene tropis.
Dalam “The Beauty of Everyday”, kita akan membedah hal-hal sederhana melalui berbagai sudut pandang filosofi Jepang. Nantikan artikel selanjutnya dengan mengikuti media sosial kami dan Bobo Tokyo!