Uniknya Gereja Oikumene, Arsitektur sebagai Persimpangan Kultur dan Penjagaan Lingkungan
Dirancang oleh TSDS Interior Architects sebagai CSR industri perhutanan, Gereja Oikumene di Sajau, Kalimantan Utara menggunakan sumber kayu lokal serta struktur rumah adat sebagai inspirasi.
Teks: Annisa Nadia Harsa
Foto: Dezeen
Arsitektur kerap menjadi titik persimpangan antara seni atau desain, penjagaan lingkungan, serta bentuk representasi budaya. Salah satu contohnya adalah Gereja Oikumene yang dibangun di Sajau, Kalimantan Utara, oleh perusahaan arsitektur TSDS Interior Architects yang berlokasi di Tangerang, Banten. Dibangun sebagai tempat peribadatan pekerja industri perhutanan, gereja ini juga merupakan bentuk CSR atau corporate social responsibility dari PT. KMS.
Gereja Oikumene ini hanya dibangun menggunakan satu jenis materi, yaitu kayu dari perusahaan tersebut yang tak dapat dijual akibat tidak lolos tahapan quality control. Kayu-kayu bersumber lokal seperti Bangkirai, Kapur, dan Meranti yang digunakan dalam struktur gereja ini pun merupakan solusi untuk mengurangi limbah kayu dengan menggunakannya kembali. Pemilihan untuk hanya menggunakan kayu pun merupakan sebuah upaya untuk merepresentasikan kultur lokal, yaitu dengan desain yang menyerupai struktur rumah adat Betang. Meski berlokasi di daerah yang beriklim cukup panas, struktur tersebut pun juga mengeksplorasi penggunaan sistem cross-ventilation dengan adanya raised roof.
Tak hanya sebagai bentuk representasi kultur dan upaya untuk melestarikan lingkungan, Gereja Oikumene ini juga merupakan wujud dari eksplorasi desain arsitektur Indonesia. Dengan menggunakan sumber lokal dan kultur sekitar sebagai inspirasi, TSDS Interior Architects juga bereksplorasi dalam cara-cara menciptakan desain yang dinamis dengan hanya satu jenis material. Dengan facade yang geometris dan struktur yang berani, Gereja Oikumene merupakan salah satu perwujudan dari arsitektur yang berkelanjutan.