Menemukan Keindahan dalam Ketidaksempurnaan bersama Karisya Rucitra
Berkolaborasi dengan Bobo Tokyo, kami berbincang dengan pendiri Soeki Living, Karisya, untuk membahas tentang seni keramik dan meningkatnya apresiasi terhadap craftsmanship.
Words by Ghina Sabrina
In partnership with Bobo Tokyo
Foto: Faradilla Rizky Amalia
Menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan adalah pengalaman berharga, apalagi ketika dikelilingi oleh beragam ekspektasi yang membuat kita sulit untuk menerima hal-hal yang ada di sekitar.
Di tengah arus tren yang silih berganti, terlalu banyak orang memilih untuk dekat dengan semua yang penuh pesona. Padahal, kebahagiaan bisa didapatkan ketika kita memiliki cara pandang baru yang membantu kita menerima keunikan dari hal-hal yang “tidak sempurna”.
Proses dan perjalanan juga merupakan elemen penting yang bisa ditemukan dalam seni keramik. Apa yang “bagus” tidak hanya dilihat dari hasil akhir, namun juga “the act of creation”. Berkolaborasi dengan Bobo Tokyo, kami berbincang dengan Karisya Rucitra, pendiri dari Soeki Living, untuk membahas tentang meningkatnya apresiasi terhadap craftsmanship, hingga menemukan “the beauty in imperfections”.
Boleh ceritakan bagaimana awal mula ketertarikan Karisya terhadap ceramic/pottery?
Awalnya itu gue mengambil graphic design sebagai jurusan kuliah. Di saat yang sama, ketika sudah menyelesaikan SKS, gue merasa ada kesempatan untuk mempelajari sesuatu yang berbeda lewat kesempatan student exchange. Gue pun akhirnya menjalankan student exchange ke Korea Selatan dan mengambil fokus di ceramic dan glassblowing. Di sana, gue akhirnya tertarik dengan seni keramik karena ternyata tanah itu bisa ditransformasi jadi banyak hal. Sepulangnya gue dari sana, gue akhirnya menemukan guru yang bisa mengajarkan gue mengolah keramik, Pak Haryo dari Keramik Puspa, dan itulah awal mula terjadinya Soeki Living. Hasil karya keramik yang gue buat sewaktu belajar pun langsung gue jual, daripada menjadi barang tidak terpakai.
Kenapa akhirnya gue tertarik untuk mempelajari ceramic dan glassblowing, karena awalnya gue mencari sesuatu yang beda dan jarang ada di sini. Walaupun seni keramik sudah ada di sini, cuma pada waktu itu gue mungkin kurang terpapar soal itu. Sementara glassblowing, mana ada di sini? Ditambah lagi, kebetulan gue juga memiliki interest cukup besar ke desain interior dan arsitektur. Selain itu, gue sebenarnya sempat merasakan penatnya bekerja di depan laptop dan layar secara terus-menerus. Gue pun pernah magang sebagai graphic designer dan merasakan bosan, maka dari itu gue memilih untuk melakukan suatu hal yang beda dan ternyata langsung jatuh cinta.
Pottery adalah salah satu seni rupa yang dilihat sebagai “mindful craft”. Bagaimana Karisya melihat sisi terapeutik yang didapatkan melalui pottery?
Banyak orang sering bilang, “Mau ikutan kelas pottery, ah, biar lebih tenang”, tapi pas belum bisa, pasti nggak terapeutik sama sekali karena prosesnya nggak gampang. Tapi, sisi terapeutik yang gue temukan dari proses bikin keramik adalah bagaimana gue bisa legowo, bisa lebih berserah diri.
Proses pembuatan keramik itu sangat panjang, ketika kita berkarya, pasti juga akan hadir ekspektasi soal hasil akhirnya. Setelah menjalani ini selama bertahun-tahhun, pelajaran yang bisa gue ambil adalah bagaimana gue harus bisa berserah. Sisi terapeutik yang terobati adalah bagaimana proses bikin keramik ini membuat gue menjadi lebih legowo dan nggak controlling. Ketika kita punya ekspektasi dan hasilnya nggak sesuai, kadang kita kecewa, tapi kadang juga ternyata hasilnya lebih baik daripada harapan kita sebelumnya. Dari sini, gue malah bisa menemukan hal baru ketika berserah dengan hasil akhirnya.
View this post on Instagram
Di tengah kehidupan yang semakin online, kita malah semakin tertarik dengan hal-hal tactile yang berbeda dari biasanya. Oleh karena itu, craftsmanship kini memiliki daya tarik tersendiri. Bagaimana Karisya melihat kembalinya apresiasi publik terhadap objek fisik?
Sedikit bercerita, justru gue mendapatkan banyak hal dari customer. Seringkali, setelah mereka terima pesanan Soeki, mereka bilang, “Kak, ini moodbooster banget, aku jadi semangat kerja.” Awalnya, gue pikir, masa sih?
Lalu sempat juga gue dapat klien, dia itu punya kedai kopi di Yogyakarta bernama Tadasih. Waktu itu, dia minta gue untuk membuat gelas kopi dengan bentuk-bentuk tertentu. Pada saat itu, gue kira mungkin orangnya punya preferensi spesifik secara desain, tapi ternyata dia menjelaskan kalau bentuk-bentuk ini bisa memengaruhi rasa kopinya. Misalnya, kalau di bagian badannya ramping, itu bisa meng-highlight rasa dari kopinya. Berarti, memang benar adanya kalau sesuatu yang gue buat itu bisa memengaruhi apa yang mereka rasakan ketika dipakai. Dari sini, gue menyadari bahwa penting untuk membuat sesuau yang nggak cuma dilihat saja, tapi juga bisa dirasakan.
Biasanya, kita cuma ingin membuat sesuatu yang cantik, yang bagus, tapi ternyata setelah mendapatkan hal-hal itu, gue jadi menyadari kalau tidak kalah penting untuk sesuatu bisa dirasa, dipegang. Hal-hal ini yang ternyata bisa membuat pengalaman mereka ketika menggunakan produk gue lebih multi sensori. Dari sini, gue jadi merasa senang banget karena apa yang gue buat itu bisa lebih diapresiasi.
Dengan apresiasi publik yang semakin meningkat, juga hadir lebih banyak pengrajin keramik seperti Karisya yang memulai bisnis serupa. Bagaimana Karisya menanggapi ini?
Gue justru senang banget. Sejak pandemi, semua orang itu semakin terpapar sama dunia ini [kerajinan keramik]. Karena, pas gue baru mulai di tahun 2017, orang-orang masih belum mengerti apa bagusnya dari keramik ini, kenapa harganya mahal, apa bedanya sama yang di Plered, dan lain sebagainya. Dulu gue masih merasa struggling soal bagaimana caranya sharing ke orang-orang kalau ada hal baru yang menarik banget. Bahwa produk keramik yang handmade itu menarik banget dan harus diangkat.
Ketika pandemi, banyak orang mulai buka kelas pottery, bahkan ada juga yang mulai bikin keramik dan bikin brand, sehingga tugas gue untuk sharing dan memperkenalkan pottery ke orang-orang jadi semakin sedikit. Kesadaran yang datang ke publik mengenai keramik, tentang prosesnya yang susah dan seru itu membuat value dunia keramik ini semakin naik. Jadi, itu bagus banget buat gue dan sangat menguntungkan. Dengan semakin banyak orang yang bikin dan semakin banyak orang yang kenal, gue jadi semakin bisa survive di dunia yang gue suka.
Seni dari pottery tidak hanya terlihat dari produk yang dihasilkan, namun juga dari proses dan the act of creating. Apa yang ingin disampaikan Karisya lewat sederet kreasi one of a kind yang hadir di Soeki Living?
Sebenarnya, nggak ada hal spesifik yang ingin disampaikan. Ini sesimpel apa yang gue buat itu dibuat dengan tangan gue sendiri, dan bukan dengan mesin maupun cetakan. Kenapa nanti hasilnya one of a kind, karena itu buatan tangan gue sendiri dan tanahnya pun berasal dari Indonesia. Jadi, yang mau disampaikan itu sebenarnya sesimpel produk Soeki Living itu produk buatan tangan. Dan one of a kind itu bukan sesuatu yang secara spesifik ingin disampaikan, tapi memang karena begitu adanya. Setiap produk yang gue buat itu pasti punya cerita sendiri. Contohnya gini, ketika masuk ke proses pewarnaan, mau dicelup ke ember yang sama, atau mau memakai tanah yang sama, segala sesuatu yang dibuat dan melewati proses yang sama itu hasilnya tetap nggak akan bisa sama.
View this post on Instagram
Mengangkat filosofi Japanese-inspired wabi-sabi di dalam desainnya, etos utama Soeki Living adalah “the beauty in imperfections”. Kenapa akhirnya merasa filosofi tersebut cocok dengan Karisya dan boleh ceritakan lebih lanjut mengenai hal itu?
Gue sempat ngobrol soal mingei, tentang bagaimana konsep itu membedakan orang-orang yang mengapresiasi karya fine arts dengan objek “biasa” yang kita temukan sehari-hari. Lewat mingei, gue jadi sadar kalau kita nggak usah jauh-jauh, lihat saja apa yang ada di sekitar kita. Genting rumah saja ada seninya, kenapa dia bisa overlap dan nggak jatuh itu pasti ada seninya. Sama saja dengan barang-barang rumah yang dipakai sehari-hari itu pasti ada seni di balik proses pembuatannya.
Ketika baru mulai, gue punya ekspektasi ingin membuat produk sempurna, yang artinya sama semua, bagus tanpa cacat, dan lain-lain. Namanya juga baru belajar. Namun, ketika mendapatkan hasilnya, justru rasanya seperti menemukan hal baru.
Untuk menjelaskan, ada satu contoh barang yang menurut gue itu merepresentasikan wabi sabi. Di gelas ini, terdapat cap jempol gue. Kalau misalnya di toko, pasti gelas ini nggak akan lolos quality control. Tapi ketika sudah jadi, gelas ini jadi ada value sendiri buat gue – memperlihatkan kalau gelas ini memang benar-benar buatan tangan, bahkan ada bekas jempol yang pembuatnya. Ketika orang lain bilang gelas ini nggak bagus, nggak sempurna, untuk gue justru jadi ada ceritanya. Ada bukti kalau ini handmade.
Selain itu, dulu di dalam gelas ini ada retakan bewarna putih. Seiring berjalannya waktu, karena gue pakai untuk minum kopi dan teh, retakan-retakan putih ini jadi ada warnanya – sehingga jadi seperti ada motif di dalamnya. Orang-orang pasti bilang gelas gue yang ini crazing, gagal karena akan ada makanan dan minuman yang terselip di antara retakannya. Walaupun begitu, ketika gue biarkan dan dipakai, justru malah jadi bagus. Ini mungkin contoh nyata “Where time becomes art“. Semenjak itu, gue jadi melihat hal-hal yang nggak sesuai ekspektasi jadi punya nilai lebih – bahkan jadi sesuatu yang lebih baik, karena kejadian-kejadian ini malah belum tentu bisa diulang lagi. Tapi memang yang gue jelasin itu wabi-sabi versi Karisya, dan bisa aja penjelasan itu nggak bisa diterima orang lain.
Perihal proses pembuatan keramik selama ini, gue mendapatkan reference dari mana-mana banget. Gue pernah mencoba banyak banget style, bahkan yang bukan style gue pun, sampai sekarang mau gue coba. Karena pottery ini soal teknik, jadi gue pasti akan terus mencoba dan belajar. Dari awal, sebenarnya nggak ada niatan untuk mencontoh satu seniman specifically. Namun setelah mencoba banyak hal, gue baru ketemu gaya gue itu sebenarnya seperti apa dan ternyata memang gue lebih suka membuat keramik bergaya Jepang.
Walaupun kebanyakan produk Soeki Living berbentuk homeware, ada juga beberapa produk yang berupa statement pieces. Apa yang membedakan pemikiran di balik pembuatan homeware dan statement pieces bagi Soeki Living?
Secara pemikiran, gue lebih mengikuti apa yang sedang mau gue buat di hari itu. Itu juga yang membuat pekerjaan gue terasa enteng, karena gue mengerjakan apa yang gue mau. Ketika kita punya beban atau ekspektasi sebelum membuat sesuatu, itu yang membuat pekerjaan menjadi tambah berat. Maka dari itu, ketika gue go with the flow dan legowo, keseharian gue menjadi lebih nyaman happy.
Kalau soal statement pieces, gue baru mulai berjualan tahun ini. Saat gue membuatnya, gue benar-benar nggak memikirkan bagaimana nanti pasar akan meresponnya. Terkadang, kalau gue merasa bosan saat membuat gelas, gue akhirnya memilih untuk membuat bentuk yang lain.
Melihat Soeki Living, kita bisa langsung merasakan nuansa zen dari estetika visual yang disampaikan dalam media sosialnya. Boleh ceritakan bagaimana Karisya mewujudkan estetika Soeki Living secara online?
Itu bukan sesuatu yang direncanakan. Apa yang ada di dalam Instagram Soeki Living itu memperlihatkan yang sejujurnya. Ketika misalnya ada konten gue sedang bekerja, foto produk, atau kadang suka gue selipkan foto arsitektur atau interior atau apapun yang menginspirasi, itu memang purely karena ingin sharing. Ini lho yang gue suka, ini lho produk yang gue jual, ini lho apa yang gue lakukan sehari-hari. Ada playlist juga bukan semata-mata bikin, playlist yang ada di Soeki itu memang apa yang gue dengarkan ketika sedang bekerja. Online presence Soeki Living memang memperlihatkan apa adanya. Itulah Soeki Living, dan itulah apa yang gue suka.
Setiap ceramicist pasti mempunyai gaya yang berbeda-beda. Apa yang membuat produk Karisya itu Soeki Living?
Simpel, yang membuat produk Soeki Living itu gue. Lo nggak bisa menemukan produk Soeki Living di tempat lain karena yang membuat itu gue sendiri.
How would you describe your style?
Comfortable, simple dan timeless.
Gue suka berpakaian nyaman karena kegiatan yang sering gue lakukan itu membuat keramik, jadi memang harus banget nyaman. Secara style pun gue lebih suka yang simpel dan timeless agar baju yang gue pakai 10 tahun lalu masih bisa dipakai sampai sekarang. Sementara soal warna, gue suka memakai warna-warna netral seperti putih, beige, dan hitam.
Apa must-have item di wardrobe Karisya?
Celana. Kalau sedang berkegiatan, khususnya membuat keramik, celana itu paling penting karena sangat memudahkan gue. Gue mengoleksi banyak banget celana, dengan mermacam-macam cutting dan warna.
What are your plans for the near future? Any hopes and/or manifestations?
Harapan gue untuk ke depannya itu sesimpel semoga industri keramik dan handmade itu semakin besar dan diapresiasi supaya gue bisa terus berkeramik sampai akhir hayat.
Pokoknya, gue berharap bisa melakukan apa yang gue suka, berkarya, menerima proyek yang gue rasa cocok dan nyaman melakukannya, sampai nanti.