Ben Sihombing Berbicara Tentang Progresi dan Apresiasi Terhadap Musik Indonesia Lama
Kami berbincang dengan Ben Sihombing mengenai karakter musiknya, proses mendaur ulang musik Indonesia lama, dan juga proyek musik mendatang.
Foto: Moses Sihombing
Terlahir di keluarga musisi, Ben Sihombing pun memilih untuk mengikuti jalan yang sama sebagai karirnya. Setelah merilis single dengan kakaknya, Petra Sihombing, yang berjudul “Mine”, ia pun meneruskan kepiawaiannya dalam bermusik dengan terus berkarya lewat lagu dan kolaborasi dengan musisi-musisi lain. Pada tanggal 12 Mei lalu, Ben termasuk dalam line-up pengisi acara Swara Gembira Karya Platinum, Malam Gembira “Asmaradahana” di antara talenta lokal lainnya yang bertugas untuk mempopulerkan kembali lagu-lagu Indonesia dari tahun 1940 hingga 2000-an. Sebagai musisi muda dengan karakternya sendiri, tentu menarik melihat caranya mengemas sebuah irama lama ke pendengar yang tidak akrab dengan musiknya. Maka dari itu, kami berbincang dengan Ben Sihombing mengenai karakter musiknya, proses mendaur ulang musik Indonesia lama, dan juga proyek musik mendatang.
Dalam bermusik, bagaimana Ben mengolah referensi musik dan tetap menunjukkan karakter Anda?
Ada hari-hari saya random cari referensi musik baru secara acak, ada waktu lainnya juga yang memang saya lagi ingin cari inspirasi menulis lagu baru. Di saat saya lagi mencari inspirasi, saya sudah terpikir beberapa nama musisi yang ingin saya dengar untuk mendapatkan mood yang ingin saya tunjukkan di lagu itu. Pada saat fase mencari inspirasi itu saya akan mengulang-ulang musik yang sudah dipilih.
Salah satu single Ben, “Sama Sama Menunggu” mengambil referensi dari musik tahun 80-an namun dengan aransemen yang lebih kontemporer. Apa latar belakang di balik pengolahan lagu dengan referensi tersebut?
Saya sempat merilis lagu di tahun 2016, “Set Me Free”, setelah itu saya ketemu beberapa musisi-musisi keren dan banyak belajar bareng mereka. Salah satunya, Mono Neurotic. Saya dan kakak (Petra Sihombing) kerja bersama dan jadi co-writer di album “Dimensi Alternatif”. Di waktu-waktu itu, Mono banyak memberi referensi musik tahun 80-an dan ternyata mengena sekali. Akhirnya saya memutuskan untuk mengirim demo lagu “Sama Sama Menunggu” ke Petra dan Mono untuk mereka produksi.
Ben berkontribusi dalam acara Malam Gembira “Asmaradahana”, Karya Platinum dari Swara Gembira. Bagaimana Anda menyikapi konsep acara yang mengangkat tema Indonesia di tengah tren musik hip hop, trap, dan elektronik yang berlangsung di Indonesia?
Sesuatu yang berbeda, yang lain selalu menjadi menarik buat saya. Apalagi acara ini bertujuan untuk mengajak generasi baru buat balik lagi ke musik dan budaya-budaya Indonesia lainnya yang kebanyakan disia-siakan begitu aja khususnya oleh generasi seperti saya.
Untuk Malam Gembira kemarin, Ben ditantang mereinterpretasikan lagu Indonesia lama. Sebagai musisi, bagaimana cara Anda memperkenalkan musik tersebut kepada pendengar muda yang mungkin tidak tahu sama sekali dengan versi originalnya?
Yang pasti, saya coba buat cari tahu apa sih cerita-cerita di balik lagu ini, instrumen apa saja yang dipakai, aransemen aslinya datang dari konsep apa. Setelah itu, saya hanya bisa meresapi dan membawakan lagu-lagu itu dengan gaya bernyanyi saya sendiri saja. Bagian awalnya yang lebih saya perhatikan.
Apa rencana ke depan dan bagaimana usaha Ben untuk terus berprogres sebagai musisi?
Album pertama pastinya. Tapi waktunya bukan sekarang. Banyak sekali album dengan materi yang sangat bagus, tapi terlewat begitu saja di era streaming musik digital ini. Saya ingin mengeluarkan beberapa single dulu sekarang. Ada beberapa lagu yang akan saya rilis setelah Lebaran nanti. Belajar dari waktu itu, jarak single pertama ke single kedua terlalu jauh. Saya perlu lebih konsisten dengan rilisan musik saya sendiri. Itu dulu aja yang ingin saya fokuskan untuk sekarang.