Barakatak Bercerita Tentang Promosi Musik Melalui Pembajakan Hingga Stigma Kelas Bawah untuk Funkot
Bekerja sama dengan Indonesia Netaudio Festival 3.0, kami menemui Barakatak untuk membahas budaya internet di Indonesia terhadap penyebaran musik.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Mega Nur
Foto: Tomi Wibisono
Terbentuk di tahun 1990, Barakatak merupakan sebuah grup musik yang menjadi salah satu pelopor genre funkot yang datang dari sebutan Funky Kota yang menggabungkan house music dengan unsur dangdut. Dikenal dengan lagu “Maju Maju Maju” serta “Musiknya Asyik” yang memiliki beat dan video musik ikonik, wajar jika hingga hari ini, lagu mereka jadi anthem di ajang karaoke. Dengan menggunakan beberapa bahasa seperti Sunda, Jawa dan Indonesia, Barakatak pun dapat merambah pasar daerah dan nasional lewat lagunya yang mengandung pesan situasi sosial-politik pada zamannya hingga percintaan. Selain itu, Barakatak mulai dikenal lagi akibat munculnya aksi-aksi pembajakan mulai dari format VCD hingga masuknya karya mereka di YouTube yang secara tidak langsung mempromosikan karya mereka secara gratis. Atas dasar tersebut, mereka diundang untuk tampil di acara Indonesia Netaudio Festival 3.0 setelah 20 tahun absen di pertunjukan musik dengan mengusung acara reuni bertajuk “Barakatak Bergoyang Again”. Kami mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengan keempat personil Barakatak tentang pengaruh club culture pada musik mereka, keuntungan dari pembajakan hingga perkembangan musik funkot untuk ke depannya.
Bagaimana bisa muncul dengan nama Barakatak?
Barakatak itu lahir tahun 90. Kalau dalam Bahasa Indonesia, “bara” berarti menyala, “katak” itu kodok. Jadinya kodok yang menyala. Tapi enggak sih. Nama itu diberi oleh Doel Sumbang. Karena dulu kami bergabung dengan Doel Sumbang, membuat lagu-lagu Sunda. Dahulu yang terkenal “Somse”, pernah dengar, kan? Kalau “barakatak” itu istilahnya tertawa terbahak-bahak. “Hahahaha”, itu barakatak. Tapi kalau “hihihihi” itu kunti, ketawanya nyirihil. Jadi, mengapa “Barakatak”, karena lagu-lagu Sunda waktu itu lagu-lagu yang lucu-lucuan. Lagu sosial yang dikemas lelucon. Jadi karakter lagunya bodor, sehingga namanya “Barakatak”. Tapi bukan berarti “Barakatak” ini komedian.
Di awal kemunculan, kalian banyak bekerja bersama Doel Sumbang. Bagaimana pengaruh beliau di musik kalian?
Pengaruhnya besar sekali. Beliau yang membentuk karakter kami yang awalnya merasa, “Ah pemuda biasa, pemuda karang taruna.” Direkrut sama beliau, dijadikan artis, penyanyi. Ia mendidik juga untuk membuat lirik lagu.
Memang niat awalnya lagu itu dibuat untuk mendukung orang yang sedang tripping pada saat itu.
Funkot lahir dari kawasan Kota di Jakarta, lalu bagaimana kemudian kalian mengadaptasi genre ini?
Setelah 5 tahun berkarya dengan warna Sunda, tahun 96 kami berangkat ke Jakarta. Awalnya bingung ke tingkat nasional mau membuat warna apa. Membuat band, kami tidak cocok karena kami bukan pemain musik. Kalau membuat reggae, sudah ada Batavia Reggae. Akhirnya, ada musik baru yang saat itu masih asing di telinga kami, namanya house music. Dalam imajinasi kami, house music itu musik rumahan. Kami memutuskan untuk berjalan bersama Rony Loan, karena beliau menguasai di bidang musik. Kami diajak main di Diskotik Zodiak. Waktu itu kami mendengar musik tersebut, tetapi belum ada liriknya.
Dari situ, kami mencoba obat-obatan juga karena dahulu masih bebas, belum ada Undang-Undangnya. Akhirnya kami mencoba membuat musik tersebut dengan disertai lirik. Lahirlah lagu “Musiknya Asyik”. Pada saat itu judul dan lirik aslinya adalah “Sudah On Belum”. Karena ketika orang sudah memakai obat itu, pertanyaannya adalah, “Sudah on belum?”. Namun saat kami sudah menyelesaikan lagu di studio sekaligus video musiknya, ternyata lirik tersebut tidak diperbolehkan. Maka dari itu kami mengganti syairnya menjadi “Musyiknya Asyik”. Memang niat awalnya lagu itu dibuat untuk mendukung orang yang sedang tripping pada saat itu.
Pada beberapa album awal, Barakatak kerap menggunakan Bahasa Sunda, namun di dua album terakhir lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia. Apakah bahasa pernah jadi kendala kalian dalam menyampaikan pesan lewat musik?
Sebenarnya tidak ada kendala. Kami hanya menyesuaikan lingkungan distribusi karya saja. Kalau berbahasa Sunda, kami mengambil ke daerahnya karena awalnya kami memang menyanyikan lagu-lagu Sunda. Kalau ke nasional, kami lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia.
Kebanyakan lagu-lagu Barakatak menyoal tentang gairah muda dalam percintaan, situasi sosial-politik tahun 90-an. Sebenarnya, seberapa signifikan kah keadaan kala itu terhadap proses kreatif kalian?
Karena kami memang mencari tema sesuai zamannya. Seperti halnya “Bandung Bergoyang”, di mana saat itu Bandung sedang heboh oleh peredaran VCD porno seperti versi Itenas dan iklan sabun mandi. “Bergoyang” di situ artinya heboh atau terkenal. Kalau dahulu Bandung terkenal dengan kesenian Jaipong, di tahun 2002 justru terkenal karena VCD porno. Atau berangkat dari pengalaman pribadi seperti lagu “Buka-Bukaan”, memang kami semua para lelaki selalu berangan-angan terhadap perempuan. Kalau bertemu ya inginnya buka-bukaan saja, tapi takut sama bapaknya.
Bicara distribusi, salah satu medium peredaran musik kalian terbantu oleh pembajakan. Bagaimana menurut kalian dengan isu pembajakan di wilayah musik?
Pembajak tidak akan membajak kalau materinya tidak bagus.
Kalau untuk produser, pembajakan jelas merugikan karena pasar terganggu. Tapi kalau untuk artisnya sendiri, itu adalah bentuk promosi tidak langsung. Karena masyarakat akan mudah membelinya, jauh lebih murah daripada versi original. Tapi, pembajak tidak akan membajak kalau materinya tidak bagus. Bahkan sampai sekarang, artis-artis yang sudah beken di Bandung sengaja membayar para pembajak untuk membajak karya mereka. Tau yang membuat lagu “Keong Racun”? Saat artisnya membuat album baru, dia memberi pembajak 2 juta untuk menyebarkan lagunya lewat VCD bajakan. Katanya itu dilakukan untuk promosi tidak langsung. Dan yang jelas, memang promosi gratis itu di YouTube. Kalau Barakatak sendiri, membuat album belum sampai rilis saja sudah ada bajakannya di YouTube. (tertawa)
Dalam AMI Award tahun 2014, Barakatak dinominasikan dalam kategori “Dangdut Kontemporer”. Apakah kalian sejak awal berkarya pernah berambisi untuk diakui lewat ajang penghargaan?
Tidak. Kami hanya jalan saja, yang penting berkarya. Ambisi tetap saja ada, ini sekarang ambisinya tidak berhenti untuk memiliki pedang tombol 7. (tertawa)
Funkot memiliki imej sebagai musik yang dekat dengan hal berbau seksual dan dinikmati kelas bawah. Melihat stigma ini, apakah sejak awal berkarya, Barakatak telah mempertimbangkan hal ini?
Barakatak kalau membuat lagu melankolis tidak cocok dengan karakter kami.
Kami arahnya memang ke situ. Karena Barakatak kalau membuat lagu melankolis tidak cocok dengan karakter kami. Kami cari jenis musik dengan beat tinggi. Akhirnya kami mencari alternatif, dan funkot itu kami pilih sebagai ciri khas Barakatak. Kami tidak mempermasalahkan stigma itu.
Di beberapa artikel menyebutkan bahwa DJ Jet Baron, dari Jepang, tertarik dengan musik funkot dari Indonesia dan mempopulerkannya di Jepang tahun 2009. Bagaimana kalian melihat musik yang kalian mulai bisa populer di luar negeri?
Pasti ada pengaruhnya karena ada peningkatan untuk house music Indonesia. Apalagi karena funkot bisa masuk negara-negara Eropa. Ternyata, musik dari Indonesia diterima juga di luar negeri.
Lalu, bagaimana menurut kalian mengenai perkembangan musik funkot saat ini?
Ada perkembangan dari segi teknologi. Dulu funkot dibuat dengan peralatan yang seadanya, di mana kami menggunakan banyak alat yang manual. Kan, kalau sekarang sudah lebih mengarah ke digital, dan itu akan lebih luas dan lebih enak dalam proses penggarapannya. Lagipula, musik dangdut sekarang sudah memakai alat musik digital, sehingga warnanya pun telah berubah.
Musik dangdut sekarang sudah memakai alat musik digital, sehingga warnanya pun telah berubah.
Dangdut mulai mendapatkan tempat di ranah mainstream musik Indonesia. Dibuktikan dengan melejitnya Via Vallen menghiasi layar kaca bahkan menjadi pengisi soundtrack Asian Games tahun ini. Apakah kalian melihat potensi yang sama pula terhadap musik funkot? Ketika funkot hari ini dekat pula dengan dangdut – koplo.
Itu bisa, karena kecanggihan teknologi itu sendiri. Pemusiknya pun ingin meningkatkan kreativitas dan pengaruhnya juga. Musik-musik dangdut sekarang kan tidak murni dangdut, memakai alat-alat digital yang jenisnya seperti house music. Termasuk Barakatak, kami dari tahun 94 sudah awalnya begitu, semuanya mengikuti.
Barakatak di kemudian hari turut menggunakan internet untuk menyebarkan materi. Sebagai salah satu penampil di gelaran Indonesia Netaudio Festival kali ini yang membahas budaya internet, bagaimana kalian menanggapi tema yang mereka angkat?
Tema ini menarik, sebab era dahulu dengan saat ini lain. Kami pun sebagai artis sedang memikirkan bagaimana tentang pemasaran karya. Tidak ada jalan lain selain digital. Kalau dulu kan cukup dengan promosi melalui televisi, kemudian menyebarkan rilisan fisik berupa VCD atau kaset. Sekarang sudah bukan zamannya lagi seperti itu. VCD sudah tidak akan laku lagi. Akhirnya, memang era digital ini sedang dipikirkan. Kami juga merasa senang karena acara ini bagi kami turut pula mengeksiskan kembali musik-musik funkot.
Apakah ada rencana merilis lagu-lagu baru ke depannya?
Melihat antusiasme seperti di acara ini, kami jadi tertantang kembali untuk berkarya. Sekalipun pintu kuburan sudah menjelang mata, tapi kami tetap ingin berkarya. Rencananya tahun 2019 rilis karena salah satu lagu kami juga akan mendukung salah satu capres. Kami juga pastinya masih funkot juga. Karena yang jelas, musik funkot bangkitlah! (tertawa)