Yang Tak Hadir di ICAD 9
ICAD mengangkat ‘Kisah’ sebagai tajuk utama dan menghadirkan 39 seniman untuk mengemas cerita, sejarah dan imajinasi sebagai fokus berkarya.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Ibrahim Soetomo
Ajang kesembilan Indonesian Contemporary Art and Design (ICAD) mengangkat ‘Kisah’ sebagai tajuk utama dan menghadirkan 39 seniman untuk mengemas cerita, sejarah dan imajinasi sebagai fokus berkarya. Tidak semua karya memberi kisah berkesan, namun karya interaktif dan arsip jadi sorotan.
Apa faktor yang membuat sebuah kisah berkesan? Carmine Gallo, penulis “The Storyteller Secret” (2017), menekankan pentingnya kepiawaian seorang pencerita dalam mengemas kisah dengan emosi, konteks dan relevansinya dengan zaman; Tiga faktor ini membuatnya menjadi cerita yang berharga. Di fiksi, banyak elemen yang berperan dalam penuturan cerita, dari alur, permainan dramatis dan emosi, hingga penokohan. Sedangkan di ranah seni rupa ada tantangan lain, yaitu bahasa visual. Seorang seniman memiliki tantangan untuk mengartikulasikan kisahnya melalui medium visual. Ketika sebuah karya atau pameran dapat berbicara, ia memberikan pengalaman membekas bagi penyimaknya. Pengalaman ini, sayangnya, sulit untuk ditemukan di ICAD 9.
Perhelatan seni rupa dan desain kontemporer ini digelar untuk kali ke sembilan. Sebelumnya, di gelaran ke delapan, ICAD mempersoalkan esensi dari fine arts dan desain dengan tajuk “Murni?”. Kali ini, kurator Hafiz Rancajale (kurator ICAD 7: Seven Scenes) dan Harry Purwanto mengangkat tajuk “Kisah” dan menggandeng 39 seniman lintas disiplin untuk mengkonstruksi cerita, momen, sejarah dan imajinasi menjadi ‘realita baru’ yang relevan dengan situasi saat ini, bahkan dapat menjadi imaji akan masa depan. Pameran ini juga hendak mengangkat kisah berupa arsip dan periode tertentu dari karir seniman terpilih yang dianggap penting untuk diangkat.
Sudah menjadi tradisi ICAD, karya para seniman ditebar di berbagai sudut grandkemang. Ketika memasuki hotel dari lobi, pengunjung terlebih dahulu disambut oleh karya penulis dan kritikus film Hikmat Darmawan berupa mural penggalan cergam (cerita gambar) berjudul “Tembok” karangan komikus Jan Mintaraga yang populer pada 1960 dan 1970-an di Indonesia. Hikmat juga menampilkan tumpukan koleksi cergam genre Roman di dua dekade tersebut untuk menunjukkan sebuah lanskap kehidupan dan impian masyarakat urban Jakarta di awal mapannya kepemimpinan Presiden Suharto. Melalui arsip-arsip, Hikmat mengajak kita mencicipi fenomena-fenomena kaum muda Jakarta 40-50 tahun silam yang hadir secara visual.
Ketika sebuah karya atau pameran dapat berbicara, ia memberikan pengalaman membekas bagi penyimaknya.
Di sudut lain, desainer grafis Io Woo mengilustrasikan interpretasinya tentang siklus kehidupan melalui permainan grafis hitam putih. “Pulang” merupakan serangkaian art print yang memainkan bentuk lingkaran menjadi berbagai pola sebagai representasi siklus lahir dan mati. Io juga menyertakan dua buah buku tebal berwarna hitam dan putih yang berisikan permainan pola lingkaran yang berbeda-beda di setiap halamannya. Karya ini merupakan contoh kuat dari upaya seniman dalam meleburkan karya konseptual dengan desain grafis yang mengutamakan komunikasi.
Berbeda dari yang lain, karya “Universe” milik desainer produk Rio Setia Monata merupakan salah satu dari sedikit karya di pameran ini yang bersifat interaktif. Padahal, interaksi dapat menjadi kata kunci agar pengunjung bisa menyelami setiap kisah yang disuguhkan. Di karya instalasi dan mixed media ini, Rio terlebih dahulu mengajak pengunjung memasuki sebuah kubah heksagonal putih yang di dalamnya dihiasi rumah-rumah kecil terbuat dari kayu, dan ditemani oleh musik ambient yang memantik perasaan nostalgia. Setelah pengunjung meresapi cukup momen, Rio kemudian mengajak pengunjung untuk menuliskan cerita apapun, baik kisah masa lalu, kejadian terbaru, hingga gambaran masa depan di secarik kartu pos. Melalui karya ini, Rio menyuguhkan pengalaman berbeda. Jika partisipan lain menjadikan pengunjung sebagai pendengar kisahnya, Rio justru menjadikan mereka sebagai penceritanya.
Dari keseluruhan karya, sedikit darinya yang dapat benar-benar bercerita. ICAD kali ini tidak menjadi ruang komunikasi dan refleksi mengenai gagasan yang diangkat oleh kebanyakan seniman, pun ia tidak menghadirkan kisah-kisah yang dapat kita relasikan. Hal ini, pertama-tama, dikarenakan kuratorial pameran yang tidak spesifik. Longgarnya definisi “kisah” di pameran ini menyebabkan interpretasi seniman yang terlalu luas dan menjadikan pameran terkesan tanpa arah. Sebagian besar partisipan juga menghadirkan karya jadi tanpa menunjukkan proses kreatif di balik penciptaannya. Proses kreatif ini, menurut saya, dapat lebih berbicara ketimbang caption rumit tanpa-edit yang menemaninya. Seniman seperti Annisa Rizkiana yang menampilkan zine beserta catatan-catatan hariannya, atau Arin Sunaryo yang mengikutsertakan proses dibalik penciptaan seri debu vulkaniknya, berhasil menuntun pengunjung menyimak kisah dari awal hingga akhir.
Ketimbang karya yang ditujukan sebagai kanal ekspresi sang seniman, karya riset dan arsip jauh lebih menjadi sorotan. Selain Hikmat Darmawan dengan arsip cergamnya, Andang Kelana, dengan “20 Years of Nothing,” mengisahkan perjalanan unit punk Gamelanoink dari awal kemunculannya (1998) hingga kini melalui linimasa arsip yang ditata sangat rapi. Di area smoking lounge, grup White Shoes and the Couples Company menampilkan instalasi meruang berisikan kumpulan arsip foto, poster, hingga koleksi t-shirt. Seniman lain yang juga merekonstruksi arsip adalah The Jadugar dan Agus Nur Amal (PM Toh). Arsip-arsip di pameran ini menjadi kisah yang lebih berbunyi dan dapat dinikmati ketimbang karya ekspresif yang membutuhkan upaya lebih untuk menafsirnya.
ICAD 9: Kisah cukup berhasil menantang partisipan dalam menyiasati ruang-ruang grandkemang, terutama bagi partisipan dengan karya produk atau instalasi, namun pameran ini tidak menantang partisipan dari segi gagasan, terutama pengemasan kisahnya. Dengan kuratorial yang terlalu longgar, serta minimnya karya yang memberi celah interaksi, ICAD 9 meninggalkan pengunjung pulang tanpa kisah yang berkesan.