Telusur Gang Gelap Kesusastraan di Buku “2666” Karya Roberto Bolaño
Sebuah ulasan untuk buku karya Roberto Bolaño, yang dipersembahkan langsung oleh salah seorang anggota WBJ Bookclub.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Adam Sudewo
“Reading is like thinking, like praying, like talking to a friend, like expressing your ideas, like listening to other people’s ideas, like listening to music, like looking at the view, like taking a walk on the beach.”
Setiap kali membaca Bolaño, saya berusaha mencatat hal-hal penting dan di sisi lain, hal itu perlu saya akui. Misalnya, di depan buku-buku Bolaño, saya cuma jadi jenis pembaca tutup botol fanta yang nggak berharga. Paling banter dijadikan alat buat ngamen atau kerokan kelapa. Kepala saya cuma rongsokan butut. Satu kilo, lima ratus perak. Titik.
Ya, bener. Di tengah jalanan ensiklopedia tentang literature, phobia, perang, politik, sejarah, seks, pelacuran, narkoba, dll, sekali lagi saya cuma tutup botol fanta yang berserakan dan kadang malu buat menampakkan diri sendiri. Saking rongsok dan bututnya.
Balik ke 2666. Ini adalah novel terakhir Bolaño. Dibagi jadi 5 chapter yang bisa dibaca (dan niatnya diterbitkan) secara terpisah. Saya baca dalam edisi Inggris sekitar 980 halaman. Sebenarnya, saya pribadi lebih suka “The Savage Detectives” yang lebih eksperimental dan kuat walaupun tetap ada jurang pemisah terkait apa yang estetik dan transformatif. Tapi soal kompleksitas dan cerita horor dan bentuk estetis, lebih oke 2666.
Bagian pertama, The Part About the Critics (saya ingat Garcia Mandero dan teman-teman visceral realists, dan buat saya, hal-hal macam ini yang menarik dari Bolaño). Bercerita tentang empat kritikus, terutama German literature yang nguber penulis misterius Jerman di era World War I. Beserta kisah cinta aneh yang menyelimuti mereka. Dan pada akhirnya membawa mereka dalam lanskap purba tentang pembunuhan dan pemerkosaan dan gelimpangan ratusan mayat perempuan di Santa Teresa. Sebuah kota imajiner di Mexico.
Pada bagian ini, Bolaño mendeskripsikan salah satu tokohnya sebagai korban penghianatan komunitas sastra (Mengingat sedikit sekali karya sastra yang berbicara tentang lumpur becek dunia kesusastraan). Dan itulah alasan ia bergabung untuk menguber Benno von Archimboldi, si penulis misterius.
The Part About Amalfitano, tentang profesor sastra yang perlahan jadi sinting. Mungkin karena dia punya anak perempuan dan kondisi di Santa Teresa seratus persen bejat. Ketakutannya akan penculikan dan pembunuhan anaknya, masuk akal. Di tempat seperti ini, bahkan teman si anak perempuan sendiri nggak bisa dipercaya. Apalagi polisi. Selanjutnya ada The Part About Fate, bercerita tentang jurnalis yang meliput pertarungan tinju dan sedikit-banyak memiliki benang penghubung pada pembunuhan dan pemerkosaan perempuan di Santa Teresa.
Dan yang paling panjang ada The Part About the Crimes. Semacam ensiklopedia kejahatan yang terus mengucur. Dari kejahatan paling konyol semisal kencing di altar gereja dan memenggal patung, memerkosa dan mengoyak puting susu perempuan dan mencekik lehernya sampai putus, sampai memperkosa perempuan dengan 7 ways (termasuk membuat goresan lubang di pusar perempuan dan memasukkan penisnya di lubang tersebut).
Di bagian ini, saya akhirnya menyadari betapa terlahir sebagai seorang laki-laki merupakan sebuah privilese. Sebab perempuan yang tinggal di tempat seperti ini, di mana tingkah laki-laki lebih menyerupai anjing di musim kawin daripada manusia, merupakan sebuah kutukan jika tidak mau dibilang kesialan seumur hidup. Tapi, di bagian ini juga sangat mungkin untuk menggergaji dan mendempul pengertian lama kita akan seksualitas.
Bagian terakhir, The Part About Archimboldi, si penulis misterius. Ini merupakan bagian penting. Selain tentang bagaimana keriuhan dunia literature (tentang membaca dan menulis), karya bagus, medioker, dan jelek, world war, juga sebagai ombak menghempas yang memperjelas cerita keseluruhan.
Di part ini, Bolaño berbicara soal relasi Jerman-Russia di ranah kebudayaan, terutama literature, dengan latar World War. Dan ini sangat luar biasa. Kemudian ada satu pertanyaan yang membentang di kepala saya: Apakah persoalan Nazi literature dan Communist literature benar-benar terjadi dan memiliki pengaruh pada kesusastraan kita, misalnya?
“Literature is a vast forest and the masterpieces are the lakes, the towering or strange trees, the lovely, eloquent flowers, the hidden caves, but a forest is also made up of ordinary trees, patches of grass, puddles, clinging vines, mushrooms, and little wild-flowers.”
Apa yang menarik dari Bolaño, terutama di 2666 adalah tentang bagaimana ia memperlakukan tokoh-tokohnya (sebagai penyair-penulis) dengan sangat manusiawi, keyakinan ide-ide kesusastraan avant-garde sebagai penjebol-pembangun realitas, dengan lanskap cerita horor atau crime fiction, juga pengetahuan Bolaño tentang kesusastraan dunia yang membuat pembaca ingin membaca lebih jauh, masuk ke dalam tubuh-tubuh seniman terkutuk tokoh-tokoh Bolaño, menyusuri gang-gang gelap kesusastraan dengan senter redup, dan melihat beberapa penyair-penulis bunuh diri.
Dan kemudian novel ini ditutup dengan potret indah bagaimana Archimboldi, penulis misterius yang kian tua, sekitar 80 tahun, menjilat es krim lembut yang meleleh di mulutnya.