Renungan tentang Ruang Kosong dalam Pameran “Poem Meditation Transcience”
Pameran yang mengangkat konsep ruang kosong sebagai eksplorasi artistik Bunga Yuridespita, Ella Wijt, dan Sindy Ponto.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Ibrahim Soetomo
“Poem Meditation Transcience” menghadirkan karya terbaru Bunga Yuridespita, Ella Wijt, dan Sindy Ponto. Pameran ini menjangkarkan kuratorialnya pada prinsip ‘sunyata’ yang kerap diartikan sebagai ‘ketiadaan’, ‘kekosongan’, juga ‘nol’, sebagai awal mula dari segala yang ‘ada’. Berangkat dari konsep ini, ketiga seniman merenungkan, mengolah dan bernegosiasi dengan ruang kosong–baik material, mental, juga emosional–sebagai sumber penciptaan artistiknya sekaligus cerminan lingkungan dari mana mereka berada dan berkarya.
Sindy Ponto mengabstraksi bentuk pepohonan menjadi wujud-wujud aura misterius. Seperti memandangi pohon dari dekat, lukisan yang kita simak masih mempertahankan kesan kulit dan keraknya. Sedangkan goresan kuasnya semakin lama semakin menyerupai luka sayat, lengkap dengan cat yang sesekali meluntur dari pertemuan gores itu. Warna-warna lukisannya bukanlah warna-warna perkotaan. Lukisan “The Stage” (2022), misalnya, mengandung hijau biopendar yang biasa muncul di jejamuran di hutan. Ada eksotisme tertentu akibat kejarangannya. Wujud pepohonan ini berdiri berdempetan, kemudian memudar ke belakang seakan menarik kita menuju hutan yang dalam.
Sindy memperlakukan kanvas-kanvasnya sebagai ruang kosong tak bersudut. Ia ibarat memantik api, berulang kali, dalam kegelapan dan kedalaman ruang yang sama. Lukisan-lukisannya brutal dalam kesunyiannya.
Sedangkan Bunga Yuridespita menyusun bentuk-bentuk geometris menjadi bangunan-bangunan khayali. Ia bermain-main dengan ide ruang sebagai cerminan dan kerap mengambil sudut pandang bird’s eye. Dalam seri “Distorted POV” (2022), Bunga memperlihatkan dua bangunan yang seolah-olah mencerminkan satu sama lain namun terdistorsi atau berubah bentuk di sisi-sisi tertentu. Kini, kita melihat warna-warna gedung dan perumahan: abu semen, jingga, hijau genteng, yang dilukis dengan tekstur kasar menyerupai dinding bangunan. Jika bangunan dalam seri “Distorted POV” berdiri statis, bangunan kembar dalam “Each of Us is a Bricklayer” (2022) tampak mengambang dalam kawasan bebas gravitasi. Lukisan ini lebih lepas, tanpa beban, dan bangunan kembar itu justru lebih terasa beratnya.
Bunga tidak memakai ruang mentah yang dalam pameran ini identik dengan kanvas kosong. Ia justru mengondisikan suatu ruang khayali, memberinya warna-warna, dan menjadikannya lahan menyusun balok-balok bangunannya. Jika lukisan-lukisan Bunga adalah puisi, maka ia serupa puisi yang diam-diam kita rangkai ketika memandangi gedung-gedung gagah bernatar langit.
Sementara Ella Wijt menampilkan sekumpulan lukisan berisi lukisan-lukisan. Ia merajut potongan-potongan kanvas baik mentah maupun terlukis, kayu, dan benda-benda, kemudian membalutkannya pada spanram lukis. “Our Comfortable Glitch” (2022) memperlihatkan keriangan dan intuisi Ella dalam berkomposisi: kita melihat mainan anak ayam plastik yang ditempel di potongan kanvas biru dari tampak atas, namun tak jauh darinya, ada potongan lukisan arang yang menggambarkan sebuah pemandangan taman dari tampak depan. Pada tepian lukisan yang sama, Ella menaruh potongan kayu yang dihiasi tulang ayam dan manik-manik. Ada pesona di setiap potongan dan benda-benda di kelima lukisan Ella, bahkan pada lukisan yang hampir sepenuhnya kosong seperti “More than a Feeling, a Practice” (2022). Setiapnya memiliki kisah dan rasa yang berbeda-beda.
Ella seperti mengamalkan prinsip wu wei (non-tindakan; tidak bertindak). Ia meraih banyak dengan tidak melakukan apa-apa; melukiskan banyak hal justru dengan ‘tidak melukis’.
Pameran ini mengingatkan kita pada sesosok pelukis Indonesia, Rusli (1916–2005), yang kerap mengandalkan ruang kosong demi memperkuat isi. Lukisan-lukisannya kosong tapi penuh, selesai tapi tak selesai, mengalir namun mawas diri. Selain Rusli, kita juga bisa merasakan kehadiran Zaini (1926–1977) dan Oesman Effendi (1919–1985) di pameran ini. Dalam bentang seni lukis Indonesia, ketiga tokoh ini dikenal mengamalkan seni lukis non-representasional di kitaran 1950–1980-an, hingga sepanjang karirnya. Ada prinsip kekosongan Rusli dalam lukisan-lukisan Ella; ada misteri Zaini yang muncul dalam abstraksi Sindy; ada perhitungan geometris Oesman Effendi yang kemudian menjadi lebih arsitektural dalam lukisan-lukisan Bunga. Baik Ella, Sindy dan Bunga belum tentu merujuk ketiga tokoh pendahulu ini. Pameran ini tidak pula dibayang-bayangi para pelukis tersebut. Apa yang kita lihat sekarang adalah sikap mengabstraksi terkini, serta berdasarkan lingkungan dan daya khayal yang juga terkini. Terlepas dari itu, saya melihat hubungan ini menggembirakan. Dalam artian, sikap dan proses artistik seperti ini masih ada tempatnya dan kita mampu menjalin percakapan spiritual dengan karya-karyanya.
Jika pameran ini membicarakan yang sunyata dan sementara, maka biarkanlah keduanya menjadi milik para seniman, disimpan baik-baik dalam benak dan hati ketiganya. “Poem Meditation Transcience” justru merupakan upaya menyatakan yang sunyata dan mengekalkan yang sementara. Karya-karya dalam pameran ini, dengan sifatnya masing-masing, telah menyuguhkan kita paradoks tentang kosong dan isi. Tanggapan saya mungkin akan sama paradoksal: pameran ini membuat kita puas dalam ketidakpuasan. Kita menuai banyak cerita dengan tidak menyimak cerita apa-apa. Lantas, datanglah ke pameran ini dengan berserah diri dan berhenti mencari-cari makna. Dengan demikian kita akan berdiri setara.
–
Poem Meditation Transcience
20 Mei–20 Juni 2022
dia.lo.gue
Kemang Selatan 99a
Jakarta