“PUNO: Letters To The Sky”, Pementasan Teater Boneka dengan Cerita Personal dan Eksekusi Magis
Sebuah lakon yang mengajak penonton untuk menghargai hidup dan mengenang memori.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Winona Amabel
Foto: Papermoon Puppet Theatre
Tatkala pementasan teater boneka “PUNO: Letters To The Sky” usai, isak haru audiens menggema di ruang perhelatan di Edwin’s Gallery. Tempat yang aslinya ialah ruang eksibisi itu disulap Papermoon Puppet Theatre menjadi white box untuk mementaskan teater boneka “PUNO: Letters To The Sky”. Pementasan ini mengisahkan hubungan kasih sayang antara seorang anak perempuan bernama Tala dengan ayah sekaligus keluarga satu-satunya, yang ia panggil Papa Puno. Setelah sukses disaksikan ribuan pasang mata di berbagai negara, “PUNO” akhirnya mampir di Jakarta pada tanggal 23 sampai 26 Agustus 2018 kemarin.
Eksekusi pementasan ini dibawakan dengan surealis, meski struktur ceritanya lugas dan mendetail. Penguasaan ruang terasa amat menonjol, seakan panggung adalah seluruh bagian white box dan tidak terbatas pada set yang dibuat di depan penonton. Set artistik sederhana yang multiguna dan mudah dimobilisasi ini juga memperbanyak ruang gerak untuk para dalang dan karakter bonekanya. Para karakter boneka secara leluasa muncul dari sisi manapun dan singgah di manapun, termasuk di kepala penonton, pundak, atau beberapa inci di depan mata. Dari penguasaan ruang ini pula banyak interaksi dengan penonton yang tercipta, sehingga menimbulkan rasa personal.
Disajikan dengan sedikit dialog dan menggunakan medium boneka yang nir ekspresi, pementasan “PUNO” tentu butuh kompensasi dari elemen lainnya. Set artistik, gestur karakter boneka, dan penguasaan ruang telah dieksekusi dengan baik sehingga ikut mendukung narasi. Pencahayaan bukan hanya mendukung, namun juga telah melebur menjadi salah satu elemen utama dalam penceritaan. Beberapa adegan menggunakan teknik bayangan yang sering digunakan dalam pementasan wayang, sementara penggunaan pencahayaan juga mewakili emosi pada karakter Puno dan Tala. Kemudian elemen lain yang tidak dapat dipungkiri juga vital sebagai substitusi dialog adalah permainan musik latar. Pada adegan-adegan krusial, permainan musik latar telah sukses mempermainkan emosi penonton. Namun untuk beberapa adegan dengan emosi yang lebih netral, tidak jarang musik terdengar terlalu intens dan kencang sehingga sedikit memecah fokus terhadap permainan dalang.
Tentu sudah menjadi ciri khas yang melekat pada Papermoon Puppet Theatre yang ketika pementasan berakhir, penonton akan diajak memasuki set panggung, melihat set artistik lebih dekat, dan berbincang dengan para dalang. Namun khusus untuk pementasan “PUNO”, ketika cerita berakhir penonton disuguhkan dengan satu lagi kejutan besar yang menambahkan rasa personalitas dalam sandiwara ini. Kejutan itu memberikan satu pesan: bahwa sesungguhnya Tala mungkin adalah kita semua. Bagaimana setiap penonton tidak peduli berapapun usianya adalah seorang anak, dan bahwa masing-masing penonton juga memiliki orang yang kita cintai yang mana kita tidak ingin berpisah dengannya.
“PUNO: Letters To The Sky” membawakan cerita yang sebetulnya sederhana namun penting, tentang menghadapi kehilangan. Kesederhanaan itu diracik Papermoon Puppet Theatre secara piawai dan didukung elemen-elemen artistik lainnya untuk menciptakan narasi yang utuh. Di bawah arahan Maria Tri Sulistiyani serta kerja sama seluruh tim, Papermoon Puppet Theatre telah membawa penontonnya kepada rasa rindu dan perayaan kehidupan bersama mereka yang kita cintai. Betapa pementasan ini terasa nyata, hingga setelah pertunjukan berakhir nyaris mustahil rasanya melihat boneka Tala dan Puno, mempercayai bahwa mereka sebetulnya hanya boneka kayu yang tidak memiliki nyawa.