Potensi Seni dan Desain di Kalimantan Tengah bersama Zein Alitamara
Berbincang dengan Zein Alitamara tentang poster sebagai jurnal kehidupan, pesan sosial yang ditanamkan pada karya-karyanya, hingga potensi perkembangan ekosistem seni dan desain di Kalimantan Tengah.
Words by Ghina Sabrina
In partnership with British Council - DICE (Developing Inclusive Creative Economy)
Jika berbicara tentang keberadaan ruang terbuka kreatif di daerah-daerah, diperlukan inisiatif dari sosok-sosok yang bertujuan ingin memberikan awareness lebih bagi masyarakat sekitar agar kreativitas suatu daerah dapat meningkat. Hal itu pun yang dirasakan oleh Zein Alitamara, seorang seniman dan graphic designer asal Palangka Raya. Berangkat dari keinginan untuk membawa perubahan untuk kota kelahirannya, ia kemudian membangun Studio Kurik, sebuah wadah yang selain dibangun sebagai art space juga dapat digunakan untuk kegiatan kreatif masyarakat lokal. Oleh karena itu, kami berbincang dengan Zein tentang pesan sosial yang ditanamkan pada karya-karyanya, kentalnya warisan dan tradisi budaya, hingga potensi perkembangan ekosistem seni dan desain di Kalimantan Tengah.
Bagaimana awalnya Anda menemukan ketertarikan pada seni visual?
Awalnya dulu bercita-cita menjadi perfumer, tapi tidak diperbolehkan oleh orang tua (tertawa). Lalu akhirnya memutuskan kuliah DKV (Desain Komunikasi Visual) di Jakarta. Sejak kecil sudah gemar menggambar dan sempat mengikuti lomba menggambar ketika TK & SD. Sebenarnya kenapa saya mengambil DKV karena waktu itu diminta orang tua saya untuk menjadi dokter, tapi saya tidak mau. Lalu akhirnya mereka mengizinkan saya untuk mengambil jurusan yang saya inginkan. Saat itu pun tidak tahu DKV itu belajar apa, hanya membaca brosurnya dengan berbagai macam mata kuliah yang saya tidak tahu itu tentang apa, cuma ada 2 mata kuliah yang saya tahu yaitu fotografi dan menggambar. Tapi saya sangat menyukai karya seni dan desain apapun bentuk visualnya. Salah satunya seniman favorit saya adalah Kandinsky. Dari sana mulai senang melakukan berbagai eksperimen visual mencari segala kemungkinan.
Lalu bagaimana Anda kemudian fokus pada seni poster yang berhubungan dengan musik?
Kenapa musik? Mungkin karena sudah terbiasa setiap hari selalu mendengar musik/lagu. Masih ingat waktu masih remaja, ibu saya pagi-pagi selalu memutar lagu Andrea Bocelli. Itu pertanda seperti alarm untuk bangun lalu bergegas siap-siap pergi ke sekolah.
Sejak merantau kuliah di Jakarta selama 5 tahun, hampir setiap hari kehidupan saya ditemani dengan musik. Saya mendengarkan berbagai jenis musik. Lalu saat Tugas Akhir kuliah, saya membuat project buku Eksperimental Tipografi: Visualisasi dari Lagu Ebiet G. Ade “Menjaring Matahari”. Puisi dan musik Ebiet G. Ade saya buat visualnya lewat kumpulan poster di dalam 1 buku.
Dalam mengisi waktu luang, poster merupakan jurnal kehidupan saya. Setiap hari saya membuat poster, kontennya pun dari apa saja bisa sosial, budaya, bahkan ketika perasaan lagi senang, sedih, marah, kosong, saya tuangkan ke poster. Namun paling banyak poster yang saya sering buat adalah poster yang berhubungan dengan musik dan lagu. Seperti ketika mendengarkan lagu, ada melodi, kata-kata ,warna, shapes yang terus menari di dalam otak saya dan meminta dituangkan ke dalam karya. Karya yang banyak menyimpan memori ketika membuat poster visualisasi dari sastra lisan Dayak “Karungut” zaman dulu yang biasanya dinyanyikan dengan alunan musik kecapi. Itu saya tuangkan ke dalam poster.
Ada 1 project iseng di tahun 2017, waktu itu lagi senang-senangnya mendengarkan album “Junun”, sebuah kolaborasi Jonny Greenwood (gitaris Radiohead) dengan The Rajasthan Express dan komposer asal Israel, Shye Ben Tzur. Kolaborasi ini merupakan kolaborasi yang tidak biasa. Dengan rasa ingin menyampaikan betapa indahnya album tersebut, saya membuat pameran tribute poster musik “Junun” di Studio Kurik. Di sini saya juga tertantang untuk mempelajari Hebrew, Sanskerta di mana lagu-lagu mereka kebanyakan menggunakan bahasa Ibrani dan Hindi. Hasil dari pameran tersebut saya dokumentasikan secara sederhana lalu saya sampaikan ke mereka, dan betapa senangnya ketika mereka me-mention pameran tribute saya dan menyukainya! Kadang perasaan-perasaan sesederhana itu yang selalu membuat saya tidak pernah lelah dalam berkarya, berkarya tidak hanya untuk menghasilkan uang namun memberi kebahagiaan tersendiri untuk batin kita.
Studio Kurik adalah studio yang Anda bangun di tahun 2016, boleh ceritakan tentang proses dan alasan dibentuknya studio tersebut?
Setelah menyelesaikan kuliah, saya kembali ke Palangka Raya. Waktu itu asap kebakaran hutan di Kalimantan sangat parah sekali, sehingga saya sampai tidak keluar rumah selama sebulan. Saya ingin membuat suatu perubahan untuk kota saya. Mengenalkan apa itu desain grafis dan seni untuk orang-orang di Palangka Raya karena ada kepekaan yang belum dibangun, juga untuk menumbuhkan awareness bagi desainer atau seniman lokalnya. Untuk bisa membentuk studio dan lebih berani untuk menunjukkan taringnya sehingga akan semakin banyak tumbuh desainer atau seniman muda lokal.
Poster merupakan jurnal kehidupan saya.
Dikarenakan juga saat itu tahun 2015-an sangat minim tersedianya ruang terbuka kreatif di Palangka Raya. Sambil mengkarantina diri karena kabut asap berbulan-bulan, mulai berpikir dengan ide-ide bagaimana menyalurkan semua itu ke dalam suatu wadah yang nantinya bisa sebagai art space yang bisa dinikmati atau dilihat juga dapat digunakan untuk kegiatan kreatif orang-orang di sini. Studio “Kurik” dalam Bahasa Dayak artinya “kecil”, dari hal kecil saya percaya akan bisa membawa sesuatu yang baik untuk orang-orang.
Ada kutipan dari desainer bernama Jacek Utko, dia berkata “Give power to designers. You can live in a small poor country, like me. You can work for a small company in a boring branch. You have no budget, no people, but still can put your work to the highest possible level. And everybody can do it. You just need inspiration, vision, and determination. And you need to remember that to be good is not enough.” Hal itu membuat saya sampai saat ini tetap semangat menggeluti profesi sebagai desainer, visual artist di ke kota kelahiran saya. Karena perkataannya sangat relevan dengan kondisi yang saya alami. Tapi saya sangat menyukai Kalimantan, saya bisa bebas bermain ke hutan, naik klotok di sungai Kahayan untuk melepas penat.
Pertama kali Studio Kurik dibuka dengan pameran poster bertemakan “Narai Kabar Borneo” (Apa Kabar Kalimantan). Saya membuat kurang lebih 47 poster. Dengan konten alam Kalimantan dan isinya. Kerusakan hutan kalimantan saat itu sangat menyedihkan. Ini menjadi alasan mengapa saya mengangkat tema itu.
Pada awalnya, respon dari orang-orang yang hadir bermacam macam. Dari penasaran, ada yang bingung, cuek, hingga tertarik untuk lebih mengenal dan lain-lain. Lambat laun studio ini mempertemukanku dengan beberapa orang yang berkecimpung di dunia kreatif yang selama ini tidak terekspos di Palangka, dan juga berbagai komunitas (teater tari, puisi, desain, graffiti, seni lukis). Selain membuat event pameran poster berkala selama 1.5 tahun lebih di Studio Kurik dan di tempat publik, pemutaran film, dan diskusi kreatif bersama, ada juga kegiatan workshop poster gratis yang saya adakan di taman-taman kota dan kampus.
Bagaimana Anda melihat perkembangan ekosistem seni visual di Kalimantan Tengah?
Dari perspektif saya, untuk perkembangan ekosistem seni dan desain di Kalimantan Tengah masih sangat lambat dibandingkan di Pulau Jawa. Dulu masih monoton, itu-itu saja dan tidak ada perubahan yang signifikan. Banyak yang bilang bahwa Palangka Raya adalah kota PNS.
Namun sekarang jauh menjadi lebih baik, mulai ada perubahan sedikit demi sedikit. Contohnya telah ada creative agency multimedia namanya YESTERNIGHT.ID yang terdiri dari beberapa kumpulan anak muda Palangka Raya dengan passion di media creative yang bekerja secara profesional walaupun dulu salah satu dari mereka ada yang masih kuliah.
Kemudian, boleh ceritakan soal skena kreatif di sana? Tantangan seperti apa yang dihadapi hingga potensi-potensi apa saja ada?
Kebanyakan seniman dan desainer lokal banyak yang bekerja sebagai freelancer. Seni bagi masyarakat awam yang paling digemari masih seperti bermusik, menari, menyanyi. Kalimantan Tengah masih sangat kental dengan tradisi dan adat istiadatnya.
Kalimantan Tengah masih sangat kental dengan tradisi dan adat istiadatnya.
Sangat jarang ditemukan design house, art space, serta ruang-ruang terbuka. Lumayan banyak permintaan yang secara tidak sadar orang-orang disini memerlukan jasa desain untuk menunjang beberapa keperluannya seperti untuk branding festival acara budaya. Tantangannya itu tadi, awareness yang belum dibangun.
Saya melihat adanya potensi di Kal-Teng ini yang bisa dikembangkan tidak hanya dari warisan budaya Dayaknya saja. Ini yang menjadi tantangan bagi saya dan teman-teman lain untuk terus mengulik, berinovasi, membawa perubahan dan memperjuangkannya tanpa menghilangkan identitas itu sendiri. Ada juga yang beberapa bergerak di industri kreatif namun tidak bertahan lama karena persaingan dan kondisi.
Juga bagaimana Anda dapat mendeskripsikan karakter skena kreatif di Kalimantan?
Dengan latar belakang budaya Dayak yang kental, masih banyak seniman-seniman lokal yang menjaga dan meneruskan warisan budaya dari seni musik, tari, seni ukir, lukis, arts and craft-nya. Ada juga yang dipengaruhi apa yang lagi trend saat ini, acuan paling banyak melihat seperti di kota-kota besar; Jakarta, Bandung, dan lain-lain. Mulai dari menjamurnya coffee shop yang dibarengi dengan adanya coworking space. Seniman-seniman mural juga semakin marak mengisi ruang ruang kedai kopi dan restoran dengan gaya visual humoris dan kekinian.
Diperlukan ruang-ruang terbuka untuk mendorong publik mengembangkan kreativitasnya, bagaimana Anda melihat hal ini sebagai kebutuhan yang juga dapat menumbuhkan kebersamaan antar publik?
Ruang terbuka sangat sangat diperlukan sekali, masih banyak desainer dan seniman lokal yang terpencar karena tidak ada wadah untuk memenuhi imajinasinya dan mungkin hanya butuh ruang bersama untuk bisa berkarya secara kolektif juga. Jika Palangka Raya memiliki semacam creative hub, mungkin akan saling mempermudah dan saling menguatkan antar komunitas juga dalam berinteraksi, berkarya, dan berkolaborasi.
Anda sempat mengikuti beberapa kompetisi seni poster internasional seperti Madrid Gráfica, Moscow Global Biennale of Graphic Design dan banyak lagi. Apa yang bisa dipelajari dari mengikuti ajang seperti itu?
Selain mengasah skill dan sebagai tempat bereksperimen segila-gilanya dalam berkarya, saya banyak mendapat kerabat baru dan insight dari berbagai artist /designer yang ikut serta dalam kompetisi tersebut. Kami saling bertukar pikiran, saling support dan mengerti bahwa setiap negara memiliki budaya yang berbeda-beda dan bagaimana mereka mengemas dan berinovasi ke dalam sebuah karya. Kita bersama-sama menghidupkan kembali nyawa poster yang dahulu sempat menjadi primadona di zamannya. Memberikan alternatif untuk orang dalam menikmati seni poster dengan berbagai pesan didalamnya.
Anda juga terpilih untuk masuk ke program inkubasi milik Bekraf pada tahun 2018, ORBIT, bagaimana Anda melihat potensi dari inisiatif tersebut dalam mengembanagkan ekosistem desain di Indonesia?
Banyak pengalaman dan bekal ilmu yang bermanfaat saya dapatkan ketika ikut dalam program Orbit Bekraf. Saya dibimbing selama 1 tahun dengan para Kurator dan Steering Committee tentang bagaimana cara mengembangkan kapasitas sebagai seorang designer/artist dalam melihat potensi di dalam diri masing-masing. Pelatihan dari coach, trainer dan mentor seperti Character Building, Creative Thinking, Marketing Strategy dan Business Strategy & Development membantu saya menjadi lebih matang dalam menjajakan diri ke dunia kreatif. Orbit juga menyatukan para desainer dari ruang lingkup yang berbeda untuk saling terkoneksi dan berkolaborasi. Semua bekal yang saya dapatkan ini saya bawa pulang ke Kalimantan dan saya sharing bersama teman-teman pegiat desain dan seni lainnya sebagai trigger agar lebih melek, lalu dapat menciptakan bermacam inovasi, gagasan dalam ruang lingkup kreatif.
Bagaimana dengan kondisi sekarang, apa sajakah dampak yang sudah terlihat dan terasa di lanskap desain lokal akibat pandemi ini?
Sempat mengobrol via text dengan teman yang bekerja di bidang desain, ada beberapa pekerjaan yang ditunda ada juga yang di-cancel. Tidak sedikit juga seniman lukis/ukir dan para pengrajin yang mengalami penurunan hasil penjualan karya dan produknya. Harapan saya semoga kita bisa terus selalu positif dan waras di tengah pandemi ini. Juga agar tetap produktif dalam berkarya.
Apakah Anda dalam proses penggarapan proyek maupun inisiatif baru di masa depan?
Dalam masa pandemi ini ada beberapa exhibition dan event kolaborasi bersama teman-teman theater seni musik dan tari yang tertunda. Selain disamping sedang mengerjakan beberapa commission artwork, saya dan keempat teman saya sedang mendirikan sebuah komunitas bernama LIMARUPA yang terdiri dari berbagai latar belakang berbeda tapi dengan tujuan yang sama yakni ingin membawa perubahan yang lebih massive lagi untuk Kalimantan Tengah. Tidak hanya di dunia kreatif namun sektor ekonomi kreatifnya juga sekaligus kami berjuang melawan krisis lingkungan.
–
Artikel ini adalah bagian dari proyek kolaborasi British Council – DICE dengan Whiteboard Journal yang berfokus pada Creative Hubs di Indonesia. Berjudul “Direktori” kolaborasi ini akan menceritakan profil komunitas dan kolektif lokal, mulai dari video series, interview hingga buku. Tunggu rangkaian kontennya di website kami.