Pertemuan Hening dan Bising: Pameran Melati Suryodarmo: Why Let The Chicken Run? dan Julian Rosefeldt: Manifesto
Pameran tunggal perdana Melati Suryodarmo di museum serta karya monumental Julian Rosefeldt yang memberi penghormatan pada manifesto seni.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Ibrahim Soetomo
Foto: Moses Sihombing
Why Let The Chicken Run? dan Manifesto adalah dua pameran tentang seni performans. Mengunjunginya, kita akan menyaksikan seseorang atau segerombolan yang menyampaikan gagasannya melalui ekspresi tubuh, baik dengan memperagakan gerakan-gerakan pelan, atau melalui aksi ekstrem yang dilakukan berulang kali. Performans tersebut bisa terasa puitis, absurd, sesekali membosankan, bahkan menegangkan. Dari pancaragam perasaan yang timbul itu, kita kemudian diajak untuk merenungkan berbagai persoalan, dari kemanusiaan, politik hingga sejarah.
Begitu memasuki museum, kita disambut oleh seorang perempuan berdaster hijau yang duduk termangu di sebuah kursi yang tertancap di dinding sekitar dua setengah meter di atas lantai. Perempuan itu memegang bola karet hitam sebesar batok kelapa, sesekali mengelus-elusnya, sembari menebarkan tatapan kosong entah kemana. Ada keheningan yang timbul dari lamun dan tatap itu. Perempuan itu tengah memperagakan karya “The Black Ball” (2005) milik seniman Melati Suryodarmo. Performans ini merupakan salah satu dari 12 karya performans Melati yang dihadirkan di Why Let The Chicken Run?.
“The Black Ball” yang tampil kali ini merupakan salah satu performans yang didelegasikan (delegated performance). Perempuan berdaster hijau itu melakukan performans atas dasar izin dan instruksi Melati. Ada juga “Sweet Dreams Sweet” (2003) dan “Kleidungsaffe” (2006) yang didelegasikan dan akan tampil di jadwal-jadwal tertentu selama pameran berlangsung. Selain itu, performans Melati juga hadir dalam bentuk video performance dan dokumentasi berupa pakaian dan objek-objek yang digunakan saat melakukan performans. Melati sendiri, pun, akan melakukan beberapa performansnya yang terkenal, yaitu “I’m A Ghost in My Own House” (2012), di mana ia akan menghancurkan dan menggiling ratusan kilogram batu arang selama dua belas jam, serta “Exergie – Butter Dance” (2000), sebuah performans dua puluh menit di mana ia menari di atas balok-balok mentega hingga terpeleset berulang kali.
Why Let The Chicken Run? merupakan pameran tunggal pertama Melati di sebuah museum. Pameran ini menampilkan seleksi karya performans Melati dari kiprah berkeseniannya selama 20 tahun. Karya-karya Melati dikenal berdurasi panjang dan menguji daya tahan fisik dan psikologis si performer. “The Black Ball” sendiri berdurasi delapan hingga sepuluh jam. Dari situ, Melati banyak membicarakan isu tentang tubuh, identitas, dan spiritualitas. Sebagian besar performans ini tampil dalam hening. Si performer terdiam, dan yang berbicara adalah gerak, aksi dan interaksinya dengan sesama performer, objek maupun penonton.
Jika Why Let The Chicken Run adalah tentang yang hening, maka, Manifesto adalah tentang yang bising. Manifesto merupakan sebuah instalasi film 13 kanal dari seniman asal Berlin, Julian Rosefeldt, yang memberi penghormatan pada keindahan dan kebesaran sebuah manifesto seni. Karya ini menghadirkan Cate Blanchett dalam 13 peran berbeda yang membacakan manifesto-manifesto gerakan seni dari Futuris, Dadais hingga Surrealis.
Manifesto merupakan sebuah pernyataan seorang seniman maupun gerakan seni yang menyatakan prinsip-prinsip berkeseniannya. Manifesto mengutarakan visi dan misi artistik para seniman, serta mengujarkan penolakan terhadap ideologi artistik tertentu; seni borjuis, misalnya. Melalui pernyataan itu, tercermin pula situasi zaman di mana seniman tersebut berada. Melalui Manifesto Futuris yang mengagung-agungkan kecepatan, kita bisa membaca tentang bangkitnya industrialisasi di awal abad 20. Dalam Manifesto, Julian menyeleksi sekitar 54 penggalan manifesto yang dipublikasikan oleh gerakan seni dari 1909 hingga 2000-an menjadi 13 kolase teks yang dibacakan dalam bentuk monolog.
Tiga belas monolog ini ditayangkan secara bersamaan dalam ruangan yang gelap dan imersif. Kita memasuki ruang riuh yang penuh akan seruan dan gugatan. Manifesto ini diutarakan dalam adegan-adegan yang janggal dan terkesan bertabrakan. Paragraf-paragraf mengenai Seni Konseptual, misalnya, dibacakan oleh seorang pembawa berita. “Good evening, ladies and gentlemen. All current art is fake,” umbarnya. Sedangkan Manifesto Dada, sebuah manifesto yang mengolok-olok fine art, dibacakan sebagai pidato pemakaman. Pidato ini dibawakan dengan begitu emosional seakan sang narator sedih akan matinya seni. Adegan-adegan ini komikal dan karikatural, namun, hal ini merupakan upaya Julian dalam menonjolkan teks manifesto beserta sisi puitisnya tanpa tenggelam di dalam adegan film.
Tiga belas monolog ditayangkan secara bersamaan, dan seiring berjalannya monolog, ada satu momen ketika kedua belas aktor tetiba memelototi kita dengan wajah yang tegang, seperti mendobrak dinding keempat film, kemudian secara serempak membacakan manifesto dengan ragam nada yang monoton. Kita seakan menyaksikan sebuah pertunjukan paduan suara dadakan. Tak lama dari momen chorus ini, film berakhir satu per satu, namun rasa kagum, tertegun, tercengang, tak berakhir. Jika kita menonton setiap film, maka kita akan menyaksikan paduan suara ini dua belas kali, dan sama tercengangnya.
Why Let The Chicken Run? dan Manifesto adalah tentang hening dan bising. Di dalam performans-performans Melati, terkandung gejolak dan suatu pencarian yang tak henti-hentinya, mungkin ini alasan di balik durasi performans yang panjang. Sedangkan di balik manifesto yang nyaring dan garang tersembunyi kesendirian sang seniman, atau, jika meminjam istilah Julian, kerapuhan jiwa sang seniman di masa mudanya, lantas ia berteriak, ingin didengar.
“Menyaksikan performans tidak seperti melihat lukisan,” kata Melati. Kita tidak akan melihat proses sang seniman dalam melukis dan kerap menikmatinya ketika ia terpampang di dinding, terkecuali action painting, yang sebenarnya juga jarang dipertontonkan. Sedangkan seni performans adalah tentang proses. Tak hanya proses sang seniman dalam melakukan performansnya, tapi juga proses kita, sebagai penonton, dalam merasakan, mengalami dan menjalin hubungan dengan peristiwa dan gagasan yang terkandung dalam performans. Upaya ini menantang. Saya bisa membayangkan kegelisahan kita yang tinggal dan bekerja di Jakarta yang serba cepat ketika menonton performans berdurasi panjang dengan gerakan yang lambat, seakan tak kunjung usai. Bagaimanapun, inilah seni performans. Nilai unggulnya, yaitu kehadiran tubuh, durasi dan partisipasi penonton, juga menjadi konsekuensinya. Why Let The Chicken Run? dan Manifesto tak hanya dua pameran tentang seni performans, tapi juga tentang sebuah upaya mengalami keutuhan seni performans.
–
“Melati Suryodarmo: Why Let The Chicken Run?” & “Julian Rosefeldt: Manifesto”
28 Februari – 31 Mei 2020
Selasa – Minggu
10.00 – 18.00 WIB
Museum MACAN
AKR Tower Level M, Jl. Panjang No. 5
Kebon Jeruk, Jakarta 11530, Indonesia