Mengarungi Keajaiban Dunia Boneka Teater di Musim Seni Salihara 2022
Salihara Arts Center menyelenggarakan festival Musim Seni Salihara 2022: Berseni Kembali pada 4 Agustus–6 September 2022. Salah satu fokus festival ialah menampilkan seni boneka teater melalui pameran Kelana Boneka dan pentas Amongraga.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Banyu Albirru
Foto:Salihara Arts Center/Witjak Widhi Cahya
Sepasang siluet wayang menyambut kita selekas membuka pintu galeri. Siluet sebelah kiri berbentuk sebuah Gunungan melingkar, sedangkan sebelah kanannya sesosok Wisnu. Tampak rona bianglala yang tampias ke dalamnya. Kedua siluet ini merupakan bayang-bayang dari wayang pedalang Ki Sigit Sukasman (1937-2009), yang dikenal menciptakan Wayang Ukur. Keduanya, dengan daya pukau yang berasal dari ketelitian bentuknya, menjadi permulaan menjanjikan dalam menjelajahi pameran Kelana Boneka.
Kelana Boneka menampilkan wayang dan boneka dari sembilan seniman dari dunia seni rupa hingga teater. Seniman yang berangkat dari koridor seni rupa ialah Heri Dono dan Faisal Kamandobat. Sedangkan dalam pewayangan, terdapat Ki Sigit Sukasman, Ki Enthus Susmono (1966–2018), Ki Asep Sunandar Sunarya (1955–2014), serta wayang Den Kisot (sebuah adaptasi dari kisah Don Quixote – Miguel de Cervantes oleh Goenawan Mohamad). Ada pula Papermoon Puppet Theater, Sena Didi Mime, dan Sandiwara Sunda Miss Tjitjih yang beranjak dari tradisi teater kontemporer. Melalui karya para seniman, pameran ini berupaya menampilkan irisan antara seni rupa dengan seni pertunjukan, serta menjadi homage bagi tradisi boneka teater Indonesia.
Siluet wayang Ki Sukasman tadi merupakan beberan kecil. Seusai jumpa dengan mereka, kita akan terlebih dahulu melihat seri Kuda Binal (1992) dan Wayang Legenda (1988) milik seniman Heri Dono. Kini, kita mengenalnya sebagai seniman rupa dengan bejibun karya lukis dan instalasi, namun, pada akhir 80-an, ia sempat berguru pada Ki Sigit Sukasman, terutama mengenai pendistorsian bentuk wayang demi memperkuat ketokohannya. Hasilnya ialah sederet wayang eksentrik yang sesekali juga membaurkan kubisme ala Picasso. Heri Dono bahkan membawa wayang ke dalam ranah performance art–ranah seni rupa pertunjukan yang tidak berangkat dari tradisi teater–melalui performance Kuda Binal. Hal ini menunjukkan betapa besar kemungkinan pertunjukan wayang untuk melintas disiplin.
Kelana Boneka memberi panggung khusus bagi wayang kulit Ki Sigit Sukasman dan Ki Enthus Susmono. Selain Gunungan dan Wisnu, ada juga Semar Hitam, Buto Rambut Geni, juga Durna ciptaan Sukasman. Rata-rata diciptakan pada tahun 80-an. Kali ini kita dapat menikmati keutuhan wayangnya: pahatannya sangat terperinci, pewarnaannya berpresisi. Ada kepuasan yang tak habisnya merekah tiap kali menaruh pandang. Selain stilasi dan gestur, Wayang Ukur juga membuat pembaruan dengan menggabungkan wayang dan bayang dalam satu panggung, sedangkan pada pementasan tradisional kita biasanya hanya akan melihat bayangnya di layar/kelir. Tonton cuplikan pementasannya di sini.
Sedangkan Ki Enthus Susmono dikenal salah satunya melalui seri Wayang Alien. Pada pameran ini terdapat sesosok alien hijau berkepala besar, berantena bak belalang, namun berkostum ala Kresna. Sebagian dari kita barangkali akan teringat pada karakter Piccolo dari seri Dragon Ball. Ada pula seri wayang Teletubbies dengan anatomi tubuh wayang Punakawan. Wayang-wayang ini eksentrik, sekali lagi, karena kita tak pernah membayangkan bahwa tokoh-tokoh budaya populer skala global bisa masuk ke ranah pewayangan.
Aspek yang memperkuat sisi puitis pameran ini adalah cahaya temaram dan bayang-bayang yang diakibatkannya. Tak hanya di wayang kulit, permainan bayang juga tampak di Wayang Singir oleh Faisal Kamandobat dan boneka-boneka Papermoon Puppet Theater, termasuk “Boneka Abak” setinggi tiga meter yang pernah tampil di konser Tulus pada 2019..
Meski demikian, pameran ini terasa setengah serius dalam menggarap presentasi arsip. Arsip yang tampil hanya milik Heri Dono dan Ki Sigit Sukasman, yang membuat pemahaman akan tiap seniman tak berimbang. Pada pameran ini, ada dua tayangan yang menampilkan foto dan video pertunjukan hampir setiap seniman, namun materi ini tak cukup kuat dalam menambah bobot kearsipan dan dokumentasi pamerannya. Salah satu konsekuensinya adalah, entah ini baik atau tidak, bahwa pameran ini melepaskan para wayang dan boneka dari kesejarahan. Kelana Boneka memperlakukan wayang sebagai karya seni rupa, dan bisa saja mengabaikan bahwa sebagian wayang muncul dari tradisi pewayangan Jawa yang telah lama mengakar. Barangkali, hal ini demi menghindari pameran agar tidak berubah jadi museum wayang.
Saat mengunjungi pameran, saya tak sengaja mendengar reaksi pengunjung yang menganggap bahwa Wisnu milik Ki Sigit Sukasman itu mengingatkannya pada Prince era album Purple Rain, karena sosoknya dilukiskan dengan turunan warna lavender, lengkap dengan sepatu hak tingginya. Tanggapan ini jadi contoh pas perihal bagaimana interpretasi terhadap wayang dapat bergerak lebih bebas di pameran ini.
Kelana Boneka merupakan bagian dari festival Musim Seni Salihara 2022: Berseni Kembali. Festival dua tahunan ini menampilkan tak hanya pameran, tapi juga diskusi, tari, musik, hingga teater. Salah satunya ialah Amongraga (27-28/8), sebuah pentas hasil kolaborasi Komunitas Sakatoya dengan seniman Ugo Untoro, dan diproduksi oleh Komunitas Salihara. Pentas ini menceritakan pengembaraan Amongraga berdasarkan Serat Centhini, yang tokoh-tokohnya menjelma marionet. Dari pentas ini kita belajar, butuh penjiwaan mendalam demi meniupkan ruh pada boneka teater. Pada Amongraga, Sakatoya selaku puppeteer tampak belum cukup kuat memberikan kepuasan itu. Pentas ini terlalu fokus pada pembabakan eksperimental yang akhirnya mengesampingkan permainan marionet sebagai pokok utamanya. Marionet boleh saja digerakkan dan bercerita, namun ia belum tentu hidup karenanya.
Kelana Boneka dan Amongraga telah memberikan wawasan tentang keajaiban dunia boneka teater di Indonesia. Dalam pameran, kita menikmati craftsmanship. Sedangkan pada pentaslah imajinasi kelak dihidupkan. Sebagai penutup, izinkan saya mengutip pertanyaan dalam teks kuratorial Kelana Boneka: “Kenapa di tengah kekayaan seni khazanah tradisi teater wayang dan boneka di Nusantara dan juga kekayaan teater boneka kontemporer internasional, kita memiliki sangat sedikit teater boneka yang baru?”
–
Kelana Boneka & Amongraga
Musim Seni Salihara 2022: Berseni Kembali
6 Agustus–4 September 2022
Salihara Arts Center
Jl. Salihara no. 16
Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520