Mengarungi Jagat Komik Indonesia di Pameran “Komik Itu Baik”
Perayaan kekayaan komik Indonesia sekaligus pembuktian prinsip Arswendo Atmowiloto tentang esensi komik dalam sejarah kita.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Ibrahim Soetomo
Foto: Dia.Lo.Gue
Pada suatu ketika, Put On berkesempatan mengajar di sebuah sekolah malam. Karena belum punya pengalaman menjadi guru, Put On memilih untuk mengajar di Kelas Nol. Di malam pertama dan kedua, pelajaran mengeja angka 1 2 3 berjalan sebagaimana mestinya. Di malam selanjutnya, kelas tidak diadakan, bukan karena apa-apa, tapi karena Put On dan murid-muridnya ketiduran di kelas. “Di sini rupanya lagi les bobo!” sambar guru-guru yang lain. Put On, Put On…
Begitulah humor “Put On”, komik setrip buah tangan Kho Wan Gie yang muncul di majalah Sin Po sejak 1931. Put On (Bahasa Hokkian yang memiliki arti ‘Yang Selalu Gagal’ atau ‘Si Sial’) merupakan seorang berperawakan gemuk dengan tingkah laku kocak yang hidup dalam lanskap urban Jakarta, dulu Batavia. Ada cerminan sosial muncul dari “Put On”, terutama tentang kaum Cina yang tinggal di tanah ini. Di balik humor dan ironi, kehadiran “Put On” sangat penting, karena ia turut menandai kemunculan komik setrip modern Indonesia. Semenjak itu dunia komik tanah air terus berkembang; Komikus-komikus bermunculan, industri komik dijalankan, dan genre lokal seperti komik wayang dipopulerkan. Semenjak itu pula komik mendapat kedudukannya dalam media massa Indonesia, jika bukan budaya populer.
“Komik Itu Baik” merupakan pameran riset dan arsip komik Indonesia. Pameran ini merentangkan linimasa perkembangan komik Indonesia dari kemunculan “Put On” hingga penayangan film Gundala pada Agustus lalu. Dalam rentang linimasa ini, kita dapat melihat kemunculan aneka genre komik di Indonesia, mulai dari komik wayang seperti “Mahabarata” karangan R.A. Kosasih (1919 – 2012), komik silat macam “Si Buta dari Gua Hantu” karangan Ganes T.H. (1935 – 1995) hingga roman sejarah layaknya “Sandhora” karangan Teguh Santosa (1942 – 2000). Ada pula catatan mengenai jatuh bangun industri komik, polemik seputar apresiasi komik, serta hubungan politik negara dengan komik. Linimasa ini ditemani dengan arsip-arsip komik baik buku maupun kliping majalah milik para kolektor; bak harta karun.
“Komik Itu Baik” merupakan perkembangan dari pameran “Indonesian Comics: Equatorial Imagination” di Europalia, Brussels, pada 2017 – 2018. Kiranya, tambahan dari pameran lalu adalah ajang tribute pada Arswendo Atmowiloto (1948 – 2019) sebagai sosok yang tekun menulis dan memopulerkan komik pada khalayak luas. Upaya sang mendiang benar-benar serius: Pada 1977, ia mendirikan majalah Hai dan memopulerkan komik lokal dan Eropa bagi para pembacanya. Selang dua tahun, ia menulis seri artikel bertajuk “Komik Itu Baik” di Kompas (dari sinilah tajuk pameran berasal) yang mengadvokasi kedudukan komik di Indonesia. Penggalan-penggalan dari artikel itu terpampang di pameran dan nantinya akan dibukukan dengan judul sama.
Melalui seri artikel “Komik Itu Baik”, kita bisa merefleksikan polemik apresiasi komik Indonesia pada 1970-an. Komik sempat dianggap buruk: sebagai karya seni, ia terlalu pop dan remeh, dan sebagai sarana informasi, ia dianggap tidak memadai. Artikel-artikel Arswendo mencoba menepis itu semua dengan memaparkan sejarah kemunculan komik hingga mengulas komik-komik lokal. Baginya, komik bukanlah medium asing atau kebarat-baratan, karena kultur komik telah muncul di relief-relief candi dan wayang yang memiliki logika bercerita sama dengan komik, yaitu melalui format setrip atau persegi panjang. Selain Arswendo, ada juga sastrawan lain yang menaruh perhatian pada komik dan budaya populer, seperti Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad hingga Seno Gumira Adjidarma.
Pameran ini juga memberi highlight pada novel grafis Indonesia yang kerap disebut dengan istilah ‘cergam’ (cerita gambar) atau ‘nopel bergambar’. Dalam satu ruangan khusus, tiga penggalan novel grafis “Morina” oleh Taguan Hardjo (1935 – 2002), “Sandhora” oleh Teguh Santosa dan “Taufan” oleh Ganes T.H. dicetak dalam ukuran besar dan imersif. Memasukinya, kita takjub melihat goresan-goresan pena begitu lihai dan realistis, serta dialog-dialognya sangat puitis. Dari situ kita sadar bahwa komikus kita bukan orang yang main-main; Tak heran jika Arswendo begitu getol mengadvokasi komik lokal bagi khalayak luas.
Komik telah hadir menemani kita sejak lama. Komik pun sempat menikmati masa emasnya. Namun bukan berarti tanpa kekhawatiran. Kita sadar bahwa jagoan-jagoan komik sudah berguguran, dan komik ciptaannya seakan ikut gugur karena tidak diteruskan oleh komikus generasi muda. Upaya pengarsipan komik pun terbilang minim dan hanya dilakukan oleh segelintir kolektor tanpa naungan lembaga arsip. Sehingga, upaya terdekat yang bisa dilakukan adalah untuk terus mempopulerkan kembali komik-komik lokal sebagaimana yang telah dilakukan di “Gundala”, serta menyelenggarakan suatu ajang yang memperkaya pemahaman kita terhadap komik lokal selayaknya pameran yang digagas Dia.Lo.Gue ini.
Upaya pemopuleran inilah yang nantinya akan terus mengingatkan kita betapa apiknya kisah Mahabarata, betapa puitisnya Sandhora, dan tentu, betapa kocaknya Put On.
–
Komik Itu Baik
28 September – 20 Oktober 2019
Dia.lo.gue Artspace
Jl. Kemang Selatan 99 A