Memaknai Kelindan Sejarah dalam Pameran ‘Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak’
Memaknai kelindan antara sejarah serta proses pembentukan sebuah bangsa dan antarbangsa dalam pameran Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak di Galeri Nasional Indonesia.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Ibrahim Soetomo
Foto: Goethe-Institut Indonesien
Pameran Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak menampilkan sepilihan karya koleksi dari sejumlah lembaga seni rupa di Indonesia, Berlin, Thailand, dan Singapura. Pameran ini dikuratori oleh Grace Samboh bersama Anna-Catharina Gebbers, Gridthiya Gaweewong, dan June Yap sebagai tim kuratorial dalam proyek jangka panjang Collecting Entanglements and Embodied Histories. Para Sekutu menghadirkan karya-karya koleksi terkhususnya milik Galeri Nasional Indonesia sebagai lembaga yang menaunginya.
Collecting Entanglements sendiri merupakan sebuah proyek antarlembaga yang diinisiasi oleh Goethe Institut pada 2017 yang berupaya melacak kembali kelindan antara sejarah, proses pembentukan sebuah bangsa dan antarbangsa, serta cerminan dan pengaruhnya pada penciptaan artistik dan penyelenggaraan pameran di negara-negara terkait. Di Indonesia, pameran yang menjadi cerminan itu adalah Pameran Seni Kontemporer dari Negara-negara Non Blok (1995), yang juga terselenggara di Galeri Nasional Indonesia. Pameran antarbangsa ini menampilkan ragam perkembangan seni rupa kontemporer sekaligus melantangkan isu nasionalisme dan pencarian identitas, dampak modernitas, dan kolektivitas di negara-negara Non-Blok sebagai bentuk konfrontasi ‘Selatan’ terhadap negara-negara ‘Utara’. Beberapa seniman Indonesia yang terlibat, seperti Dolorosa Sinaga dan Marintan Sirait, hadir kembali sebagai bagian dari Para Sekutu.
Para Sekutu berupaya memaknai kesetiakawanan, baik antarmanusia, kelompok, dan bangsa, yang termanifestasikan ke dalam karya dan peristiwa sejarah. Dalam pengantar pameran, Grace Samboh menuliskan kalau Para Sekutu itu ibarat sebuah daftar putar yang mengumpulkan karya, arsip, teks dan video, dengan segala alur dan penataannya. Selayaknya mendengar daftar putar, sebermula kita meraba-raba pengalaman anyar ini, kemudian menemukan lagu-lagu baru, dan berakhir menyadari hubungan antara satu lagu dengan lainnya. Kita tentunya memiliki kebebasan menikmati dan memaknainya. Hal yang sama bisa kita terapkan di Para Sekutu. Pameran ini mengumpulkan karya dan seniman yang jumlahnya puluhan. Dengan waktu kunjungan yang terbatas, kita tidak mungkin menelusuri narasi setiap karya. Upaya yang bisa kita lakukan adalah berkawan dengan keberlimpahan itu, sembari mencari tahu lebih dalam mana saja yang akhirnya memantik rasa tanya.
Para Sekutu terbagi menjadi lima babak yang mengalir dari hulu ke hilir, yaitu ‘Guyub’, ‘Keberpihakan’, ‘Kenduri’, ‘Kekerabatan’, dan ‘Daya’. Babak ini mengelompokkan karya berdasarkan kesamaan gagasan, tema, atau latar belakang kuratorialnya. Babak ‘Keberpihakan’, misalnya, menampilkan karya-karya yang berpihak pada suatu individu atau kelompok, serta menggugat dan melawan penindasan. Begitu memasuki area ini, kita langsung disambut oleh patung perunggu ‘Solidaritas III’ (2000) buatan Dolorosa Sinaga. Ada juga lukisan cat minyak ‘Untitled II’ (1994) milik Semsar Siahaan, yang menampilkan sebuah potret Marsinah dalam kepungan daging-daging yang digantung di jeruji besi. Di sisi lain, babak ‘Daya’ memperlihatkan pengaruh suatu lingkungan, baik itu sosok, gaya seni, atau suatu lembaga, bagi proses penciptaan seniman. Kita melihat lukisan cat minyak ‘Tiga Domba’ (1963) oleh Kustiyah yang mencerminkan tradisi melukis suasana ala Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI, kini ISI Yogyakarta). Ada pula lukisan cat air ‘Bunga’ (1956) dari Rusli, yang pada bidangnya lebih penuh kosong ketimbang isi, yang dipengaruhi gaya lukis tradisional Tiongkok dan Jepang.
Selain itu, ada pula karya lintas babak yang dapat secara langsung menarik perhatian kita selagi berjalan, baik dari segi skala maupun adegan-adegan dalam karyanya. Karya tersebut adalah instalasi video ‘Unsubtitled’ (2010 – 2013) oleh Nguyen Trinh Thi, serta ‘Paduan Suara yang Tidak Bisa Berkata Tidak’ (1997, direproduksi 2021) oleh S. Teddy Darmawan, yang judulnya diambil sebagian untuk pameran ini. Kita juga berkesempatan menyaksikan instalasi dan performans ‘Membangun Rumah’ oleh Marintan Sirait, sebuah karya yang “tak pernah selesai” karena selalu mengalami pembaruan presentasi dan pertunjukan sejak 1994.
Pembabakan rasanya lebih membantu kurator dan timnya dalam menata pameran ketimbang memandu penyimak. Andaipun tidak berbabak (dengan demikian tidak “terkategorisasi”), setiap karya dan objek dapat saling menyambut getaran dan memberi umpan balik pada sesamanya, seakan mereka juga ikut mencari tahu dan memulai percakapan dengan sesama sekutu. Hal ini rasanya masuk akal. Meskipun sebelumnya mereka sudah pernah tampil di berbagai ajang lain, di pameran inilah mereka hadir dengan bingkai, penataan, dan pertanyaan baru. Sebagian karya memang terang maknanya, sebagian lain subtil. Namun, kesemuanya satu suara dan tak ada yang terkesan tidak pada tempatnya.
Saya merasakan getaran dan percakapan itu di karya-karya lukis seniman Indonesia. Selain yang telah disebut, Para Sekutu menampilkan karya Emiria Soenassa, Henk Ngantung, Siti Ruliyati, Fadjar Sidik, Danarto, hingga Oesman Effendi. Karya-karya ini kebetulan dibuat tahun-tahun yang berdekatan, yaitu kisaran akhir 1940-an hingga 1960-an. Goresan dalam lukisan-lukisan itu, warna-warnanya, sapuan-sapuan kuasnya, menyiarkan semangat, daya, dan cita rasa yang tidak dimiliki oleh seniman lain. Jika Para Sekutu adalah tentang kesetiakawanan, maka saya dapat melihatnya di karya-karya mereka. Hal ini menjadi mungkin berkat kuratorialnya.
Ada juga alasan lain yang membuat pengalaman ini kian istimewa: kita jarang melihat karya koleksi negara dan tidak semua koleksi tersebut ditampilkan untuk publik. Para Sekutu, pertama dan terutama, memamerkan koleksi negara yang jarang atau bahkan baru kita lihat untuk pertama kalinya.
Sekeluarnya dari Para Sekutu, ada jalur penyeberangan menuju Pameran Tetap Koleksi Galeri Nasional. Jika Para Sekutu adalah sebuah daftar putar “acak”, maka Pameran Tetap adalah Greatest Hits-nya. Kita akan menjumpai karya-karya seniman Indonesia, para “maestro”, lengkap dengan pakem-pakem sejarahnya. Di sini ada beberapa tawaran membaca dan memaknai sejarah. Greatest Hits tentu tetap perlu. Melaluinyalah kita bisa mengenal para seniman. Sementara Para Sekutu menemani, memperkaya, tapi juga menantang pembacaan itu. Jalur manapun, kita memiliki kebebasan menikmati dan memaknainya.
–
Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak
28 Januari–27 Februari 2022
Gedung A, Galeri Nasional Indonesia
Jl. Medan Merdeka Timur No.14, Jakarta Pusat