Kumpulan Novel yang Memberi Sudut Pandang Baru Akan Kerasnya Hidup Tahun Lalu
Melalui beberapa karya berikut, para pembaca diharapkan dapat menemukan berbagai perspektif baru, menenangkan hati dan pikiran, serta membayangkan dunia dalam kondisi yang lebih bahagia.
Teks: Titania Celestine
Photo: Thought Catalog via Unsplash
Setelah mengalami banyak kesulitan dan kesedihan pada kedua tahun terakhir, melalui karya beberapa penulis berikut, para pembaca dapat menemukan berbagai perspektif baru, dengan harapan bahwa kata-kata di setiap halaman bisa menenangkan hati dan pikiran, serta membayangkan dunia dalam kondisi yang lebih bahagia.
Semoga pilihan buku-buku ini dapat membantu menaikkan semangat kalian sebelum tahun baru yang akan datang.
‘How to Do Nothing: Resisting the Attention Economy’ karya Jenny Odell
Secara singkat dan padat: buku karya Jenny Odell ini merupakan sebuah manifesto terhadap media sosial. Namun mencoba menjelaskannya secara singkat juga tidak cukup.
Doing nothing, menurut Odell, bukan berarti hanya bengong dan tidak beraktivitas. Namun, Odell mendesak para pembaca untuk menciptakan interaksi yang penuh makna, untuk mencari dan melakukan sesuatu diluar zona nyaman kami, selagi menghargai waktu dan attention span kami, dibanding menyumbangkan berjam- jam hidup kami scrolling through media sosial dan retweet setiap tiga tweet di timeline.
Membaca buku karya Odell ini akan menyadarkanmu akan betapa indahnya hidup, dan belajar untuk lebih menghargai orang – orang dalam hidupmu. Letakkanlah tablet dan smartphone mu untuk mulai berbincang dengan orang – orang terdekat dalam hidupmu, make meaningful interactions with your time.
‘Solutions and Other Problems’ karya Allie Brosh
Salah satu buku yang bisa membuat tertawa di ruang publik – sebaiknya jangan dibaca diluar rumah kecuali ingin ditatap seperti orang gila – tulisan karya Allie Brosh ini dikenal sebagai salah satu buku yang membuat senyum dan tawa datang dengan mudah, walaupun hidupmu sedang berantakan, dan alasan bagimu untuk tersenyum sedang mengalami scarcity.
Tulisan Brosh mengeksplorasi tragedies yang telah menimpanya di masa lalu hingga saat ini, dari kematian hingga perceraian. Namun Brosh menyampaikan bahwa kerasnya realita hidup mungkin bisa kita pandang melalui perspektif yang berbeda.
“Terkadang, kamu hanya bisa berharap bahwa kamu dapat cepat move on, dan berujung pada suatu titik hidup yang masuk akal.” kalimat tersebut merupakan salah satu pesan penutup dari Brosh, sebuah pengingat bahwa memang ketika waktu sedang susah, satu – satunya hal yang bisa kamu lakukan itu hanya ‘berada’, sebagai kamu.
‘Art is Everything’ karya Yxta Maya Murray
Sebuah kisah yang menceritakan hidup Amanda Ruiz, seorang seniman yang tinggal di Los Angeles, selagi ia mencoba untuk menyatukan kembali dirinya. Berbicara tentang seni merupakan salah satu cara bagi Amanda untuk memproses patah hati, kesedihan akan kehilangan ayahnya, dan kembali menyelaraskan prioritas hidupnya. Benar – benar sendiri dan kesepian, Amanda menemukan banyak frustasi dalam mencari nafkah sebagai seniman.
Buku ini sangat menyentuh bagi hati dan pikiran setiap pembacanya. Selagi mendalami dunia seni dan bagaimana jati diri dan politik bisa masuk ke dalam topik seni, tulisan Murray juga telah membuka perspektif baru bagi setiap pembaca akan tata cara mengapresiasi karya seni, dan jalan hidup.
‘Let’s Talk About Hard Things’ karya Anna Sale
Tulisan karya Sale ini mendalami percakapan yang memang biasanya tidak mudah untuk dimulai atau diucapkan. Buku ini adalah kumpulan cerita dari banyak orang yang menjalani hidup seperti setiap pembaca. Dalam karyanya kali ini, Sale meliputi banyak cerita mengenai grief, loss, bahkan discrimination dan krisis identitas.
Setiap kisah yang diceritakan oleh Sale mungkin akan mematahkan hati pembaca, memperkuat kepercayaan pembaca, atau mungkin juga membantu setiap pembaca dalam journey self-healing.
‘Several People Are Typing’ karya Calvin Kasulke
Sebuah novel yang diceritakan sepenuhnya melalui messaging app ‘Slack’, buku karya Kasulke menceritakan kisah seorang pria yang kesadarannya – entah bagaimana – terperangkap dalam aplikasi media sosial tersebut. Novel ini memberikan kita sebuah glimpse akan percakapan yang normal dan mendebarkan, di balik layar smartphone sebagian besar personel tempat kerja white-collar.