
Kesulitan Mencari Makna di Biennale Jogja 18
Mengunjungi Biennale Jogja 18, Ibrahim Soetomo menyadari bagaimana tema besar acara biannual ini, Kawruh, yang berarti ‘pengetahuan sebagai akumulasi pengalaman yang menjadi kebijaksanaan,’ bisa saja luput dari fokus kuratorial.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Ibrahim Soetomo
Foto: Biennale Jogja 18
Biennale Jogja 18 – KAWRUH: Tanah Lelaku (BJ18) terbagi menjadi dua babak. Babak I pada 19–24 September; Babak II pada 6 Oktober–20 November 2025. Tulisan ini berfokus pada Babak II, di mana sebagian karya atau proyek Babak I dan Asana Bina Seni turut dihadirkan, sembari merefleksikan bagaimana BJ18 memaknai dan mengamalkan kawruh.
Kawruh, dalam bahasa Jawa, berarti pengetahuan sebagai akumulasi pengalaman yang menjadi kebijaksanaan. Wruh, akar katanya, adalah melihat, mengetahui, memahami. BJ18 memaknai kawruh sebagai sekumpulan praktik artistik yang berlandaskan sikap dan upaya mendalami pengetahuan, yang tidak berlandaskan pengetahuan “saintifik” dan “inovatif,” melainkan pengetahuan empirik yang berakar pada keseharian dan kearifan lokal tertentu dan dipraktikkan terus menerus.
BJ18 mempraktikkan desentralisasi dengan menebar ruang di kota dan desa-desa di Yogyakarta. Biennale ini menggunakan Museum Benteng Vredeburg dan Kantor Pos Besar di kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta; Monumen Bibis, Plataran Djokopekik dan Toko Purnama di Desa Bangunjiwo; dan The Ratan, Gubuk Putih, Kawasan Budaya Karangkitri, Pendhapa Art Space dan Kampoeng Mataraman di Desa Panggungharjo. Pameran ini menghadirkan 60+ seniman Indonesia, Asia dan Eropa, serta menekankan partisipasi dan dialog dengan warga lokal untuk mempelajari praktik-praktik menjadi pengetahuan.
BJ18 adalah ajang kedua di putaran kedua Biennale Jogja Equator (2023–2027) yang mengusung translokalitas dan transhistorisitas sebagai prinsip dan metode. Translokalitas berupaya menghubungkan pengetahuan dari satu kelokalan ke kelokalan lain. Sementara transhistorisitas hendak melihat sejarah-sejarah dengan semangat dan praktik dekolonisasi—dengan menggugat kuasa narasi sejarah arus utama, serta menyingkap sejarah yang lain, yang tersisih, yang tumbuh dari bawah.

Mia Bustam, Potret Keluarga, 1958–tidak selesai. Foto: Biennale Jogja 18.

Foto: Biennale Jogja 18.

Foto: Biennale Jogja 18.

Foto: Biennale Jogja 18.
Kuratorial di Museum Benteng Vredeburg hendak melihat sejarah yang lain tersebut. Kuratorial ini merespons penulisan sejarah di Vredeburg yang merentang dari narasi kolonialisme hingga genosida dan kekerasan 1965, sekaligus mempertanyakan makna kedaulatan dan kemerdekaan. BJ18 secara khusus menyelenggarakan pameran arsip Mia Bustam (1920–2011). Kita memandang Mia Bustam sebagai protagonis penuh atas hidupnya, sebagai seorang perempuan, ibu, seniman dan pemikir, melalui garis edar hidup, reproduksi tulisan, surat-surat, hingga karya-karya sulam. Dari arsip-arsip itu kita mempelajari peran dan pemikirannya, misalnya bagi perkumpulan Seniman Indonesia Muda dan Lembaga Kebudayaan Rakyat di 1940–1950an. Ada pula lukisannya yang belum selesai, Potret Keluarga (1958), sebagai salah satu karya yang selamat saat sebagian besar lainnya dihilangkan atau dibakar pasca genosida 1965. Sejumlah seniman merespons sosok dan karya Mia Bustam di ruang yang sama, dan karena ruangnya tidak segimana besar, pengalaman mempelajari kembali Mia Bustam sembari mengapresiasi karya seniman perespons terasa padat.
Selain mengangkat sejarah, BJ18 ingin melihat desa sebagai ruang yang senantiasa mengalami perubahan. Desa bukan hanya lokasi pameran non-konvensional demi menjalankan misi desentralisasi tadi, tapi juga sebuah situs yang memiliki budaya, sejarah, pengetahuan alam dan material lokal yang sifatnya turun temurun, yang juga mulai berhadapan dengan tegangan dan gegar budaya melalui isu seperti pengembangan, urbanisasi dan internetisasi. Dalam konteks BJ18, desa bukanlah kawasan yang pinggir, permai, serta steril dari pengaruh-pengaruh gaya hidup kota sebagaimana warga kota di luar Yogyakarta, seperti saya, akan bayangkan secara naif. Secara wilayah, Desa Bangunjiwo dan Panggungharjo masih terhitung semi-pinggiran kota, namun basis komunitas dan agrarisnya tetap kuat. Kesehariannya cair dan majemuk. Di kawasan ini ruang-ruang seni kontemporer hadir, seperti Pendhapa Art Space, yang galerinya adalah semacam derivasi kubus putih, atau The Ratan, sebuah kompleks bangunan serbaguna yang menaungi berbagai macam acara seni.

Thao Nguyen Phan, Tropical Siesta, 2025. Foto: Biennale Jogja 18.

Thao Nguyen Phan, Tropical Siesta, 2025. Foto: Biennale Jogja 18.

Thao Nguyen Phan, Tropical Siesta, 2025. Foto: Biennale Jogja 18.
Memasuki Toko Purnama Kasihan di Bangunjiwo seperti memasuki swalayan saat manasuka. Kita menjumpai karya sejumlah seniman yang paling ragam secara konseptual dan regional. Toko ini masih setengah dibangun. Lantainya masih berpasir abu. Ruang dalamnya berkontrasan dengan karya yang kebanyakan instalatif dan berbasis gambar bergerak. Melangkah lurus setelah menaiki tangga dari lantai dasar, kita menjumpai video dua kanal Tropical Siesta (2025) oleh Thao Nguyen Phan (Kota Hồ Chí Minh) sebagai bagian dari proyek panjangnya, Poetic Amnesia. Tropical Siesta adalah dongeng imajiner di pedesaan Vietnam yang diisi oleh anak-anak yang membentuk komunitas agraris. Mereka bermain-main di ladang, dan memainkan permainan pura-pura berdasarkan kisah Alexandre de Rhodes, seorang misionaris Jesuit dan leksikografer yang membawa Kristen ke Vietnam di abad 17. Dengan mengaburkan yang nyata dan yang fiksi, dan sesekali memasukkan lukisan cat air ke dalam frame, Tropical Siesta menyuguhkan kita dunia yang whimsical sembari mengakar diri pada sejarah politik Vietnam.

Inter-Asia Woodcut Mapping, 2025. Foto: Biennale Jogja 18.

Inter-Asia Woodcut Mapping, 2025. Foto: Biennale Jogja 18.

Inter-Asia Woodcut Mapping, 2025. Foto: Biennale Jogja 18.

Inter-Asia Woodcut Mapping, 2025. Foto: Biennale Jogja 18.
Ada pula showcase dari Inter-Asia Woodcut Mapping (Hong Kong), sebuah kolektif yang meriset karya seniman, kolektif, dan aktivis berbasis seni cukil kayu dengan perspektif antar-Asia. Salah satu hasil risetnya adalah zine Inter-Asia Woodcut Mapping Series. Dalam pameran ini hadir sepilihan karya cukil seperti Wayang Beber karya Taring Padi (Yogyakarta), Education Without Border (2023) oleh Pangrok Sulap (Sabah), hingga Grieving Land (2025) oleh Printmaking for the People (Manila), yang menunjukkan kemampuan seni cukil kayu berbasis solidaritas dalam mengecam genosida, militerisme, neoliberalisme hingga menyuarakan krisis ekologi. Pada 2023, kolektif ini mengadakan pameran bertajuk Debordering—sebuah gagasan yang juga dapat kita pinjam saat menyimak karya-karya di Toko Purnama Kasihan yang beresonansi dari satu daerah ke daerah lain.

Agnes Hansella, Sarang, 2025. Foto: Yudi Pakan.
Kuratorial di Kawasan Budaya Karangkitri mengangkat pengetahuan alam—tanah, air, udara, dan budaya dan nilai lokal Jawa yang dikonservasi di kawasan ini. Melangkah dari pinggir jalan beraspal menuju pekarangan Karangkitri, ada Sarang (2025) buatan Agnes Hansella (Jakarta). Sarang adalah patung ruang terbuka yang mengikat kabel-kabel bekas dengan tali mendong dan tali pandan—yang biasa digunakan untuk anyaman, juga untuk mengikat tempe—pada setumpuk rangka besi yang dapat kita panjat. Agnes mengikat tali mendong dan pandan ini dalam sesi lokakarya bersama ibu-ibu Desa Prima, singkatan dari “Perempuan Indonesia Maju Mandiri,” yang menggiatkan empowerment perempuan, termasuk perempuan pra-sejahtera, perempuan kepala keluarga, perempuan disabilitas, dan perempuan dengan kerentanan lain, melalui pendampingan ekonomi, sosial dan politik. Desa Prima tersebar di berbagai kabupaten dan kapanewon di Yogyakarta, termasuk Panggungharjo. Tak hanya karya kolaborasi, Sarang adalah kelanjutan eksperimentasi Agnes di ranah trimatra biomorfis yang berbasis residensi, sembari terus memperkaya bahasa seni makrame dengan berbagai macam jenis tali, benang, kabel. Tubuh Sarang yang mengambil inspirasi dari bentuk stalagmit dan gagasan akan kembang-usang teknologi ini menimbul sekaligus meresap ke dalam pekarangan Karangkitri. Saat dipajang cukup lama, beburung dan lelebah hinggap, rerumput merambat.

Jessica Soekidi & Nurohmad, Selaing Bumi Panggungharjo, 2025.
Foto: Biennale Jogja 18.
Karya Jessica Soekidi (Jakarta) dan Nurohmad (Yogyakarta), Selaing Bumi Panggungharjo (2025), berbentuk lubang lumbung yang tersusun dari bata press dan tanah sawah dari lima area desa—Sawit, Gesikan, Geneng, Cabeyan dan Palemsewu—yang dibakar bersama-sama warga setempat. Di tengah lubang itu, terdapat totem berbentuk telapak tangan yang menengadah. Di atasnya, menggantung empat lembar kain putih dengan simbol elemen air, api, udara dan tanah yang digambar dengan teknik batik. Karya ini berada di naungan pepohonan bambu beberapa langkah saja dari Balai Budaya Karangkitri. Karya ini adalah ilustrasi langsung dari ekologi Karangkitri, serta nilai-nilai Jawa yang diamalkannya. Ketimbang karya pandang, Selaing Bumi Panggungharjo lebih berupa situs performatif yang membutuhkan aktivasi komunal yang rutin, terutama untuk pengunjung BJ18 yang bukan penduduk Karangkitri, atau bukan penduduk Jogja. Seandainya karya ini tercerabut dari kegiatan itu, kita sulit menavigasi diri terhadapnya, atau bersamanya, kecuali ada instruksi yang terarah. Jessica sudah mengadakan ritual performatif pada 7 Oktober 2025 yang mengajak peserta mengambil kertas dan menulis doa dan harapannya, lalu dilinting dengan daun kering untuk kemudian dibakar dengan api lilin.

Egga Jaya, The Strained Trade, 2025. Foto: Biennale Jogja 18.
Karya Egga Jaya (Bandung), The Strained Trade (2025), yang bersebelahan dengan Balai Budaya Karangkitri, meneruskan riset panjangnya mengenai sejarah dan material gula setelah mendatangi Pabrik Gula Sewugalur di Desa Karangsewu, Kulon Progo, yang didirikan pada 1881 dan tutup di 1935 imbas Depresi Besar (1929–1939). Menghubungkan riset ini dengan Boro dan Panggungharjo, Egga lalu membangun semacam pedati yang terinspirasi dari bentuk pedati kerbau yang digunakan oleh masyarakat Boro ketika mengangkut hasil-hasil bumi, yang jalur lorinya terhubung dengan Panggungharjo. Atap pedati buatan Egga terbuat dari anyaman daun tebu sisa musim giling. Jendelanya menggunakan layar cetak saring bergambar tebu dan pohon kawung penghasil gula merah. Lalu di tepi dalam, terpajang sederet cawan petri yang mempreservasi lelehan gula pasir bercampur gula cakar khas Majalengka, Jawa Barat, dengan resin. The Strained Trade telah mengangkut lalu lintas sejarah gula dan lokalitas pedesaan yang berlapis secara cermat, dan bentuknya ringkas. Hanya saja, kekuatan terbesar karya ini adalah mobilitasnya. Saat saya berkunjung, ia berdiri statis dan menghadapi masalah kepasifan yang sama dengan karya Jessica. Egga memang membuat karya ini sebagai tempat istirah sementara bagi petani lokal atau masyarakat yang ingin sekadar duduk. Namun saya tidak yakin tujuan ini dapat sepenuhnya tercapai, karena bentuknya sendiri hampir tidak mengisyaratkan ajakan beristirah, seberapapun terinspirasi dari alat transportasi yang lekat dengan masyarakat bertani di pedesaan.
Ketiga seniman tersebut memadukan kawruh intrapersonal, yang diwakili oleh medium atau isu ketertarikan masing-masing, dengan kawruh interpersonal melalui interaksi dan pelibatan warga dan alam sekitar. Hasilnya adalah karya atau proyek dalam gradasi seni berbasis komunitas auto-relasional yang masih menjaga sidik jari artistik senimannya sembari mengartikulasikan narasi-narasi kedesaan tanpa terlalu mengintervensi ruang atau sistem yang ada.
Sejarah tak hanya ditulis di museum-museum, tapi juga di ruang-ruang desa. Sebagai situs, Monumen Bibis di Bangunjiwo dulunya adalah markas strategi Serangan Umum 1 Maret 1949. Rezim Orde Baru kemudian punya kuasa untuk membentuk dan melegitimasi sejarah ruang dengan meresmikan monumen dan museumnya atas nama negara pada 1977. Setelah mengetahui narasi ruangnya, mudah rasanya mengharap karya-karya dengan narasi tandingan terhadap politika monumenisasi atau historiografi apapun. Namun karya di sini lebih banyak mengangkat soal sejarah regional, tradisi dan kepercayaan. Memasuki bagian rumah Monumen Bibis, kita menjumpai karya Menggali Cerita Lewat Garis (2025) oleh Imal Malabar (Gorontalo), sekumpulan drawing di atas kertas dan koran yang dipajang di berbagai sudut rumah. Beberapa drawing-nya berupa citraan dari foto dan benda yang terpajang di rumah itu, seperti foto Jenderal Sudirman sedang menghormat. Secara teknik drawing–drawing ini tidak kuat, olahan koran-korannya pun mentah seperti belum akrab, dan tata letaknya tidak mengelevasi pengalaman kita dengan interior dan situs Monumen Bibis yang konon telah dikaitkan dengan situs bernuansa sosial, politik, dan spiritual di Gorontalo.

Situationist Under-Record, Auditory Fieldwork for Temporary Dwellers, 2025.
Foto: Biennale Jogja 18.
Di salah satu sudut museum Monumen Bibis, kelompok seniman yang terdiri dari Theo Nugraha, Manshur Zikri dan KLMRM, Situationist Under-Record (Yogyakarta), menghadirkan Auditory Fieldwork for Temporary Dwellers (2025). Karya ini membentangkan fieldwork recording dari suara serangga hingga laju motor dalam kamar gelap total. Di tengah-tengah lantai, terletak skor-skor grafis aneka balok dan warna di atas kertas blok milimeter yang dapat kita sorot dengan sebatang senter yang tersedia sebelum masuk. Karya ini mengganggu rezim audiovisual hiperreal yang membuai via gawai-gawai kita, di mana resah, atau rasa tak nyaman, menjadi pengalaman tak kalah penting dari proses meraba keterangan ruang dan tekstur dalam komposisi bunyinya. Namun dari segala konsep dan teknik, karya ini salah ruang, juga salah kuratorial. Situationist Under-Record merekam kolase bunyi ini di kitaran Ndalem Brotoasmaran dengan spesifikasi bunyi tertentu yang pastinya berbeda dengan kawasan Monumen Bibis, seberapapun fenomenanya bisa jadi sebunyi. Kita sulit mendengar hubungan antara gagasan Situationist Under-Record dengan Monumen Bibis. Rezim bunyi urban dan rezim politik? Tidak bisa dipaksakan.

BIYA Project, Panjang Umurnya!, 2025. Foto: Biennale Jogja 18.
Ruang yang berada di dalam perumahan warga adalah Gubuk Putih dan Joglo Pak Newu. Gubuk Putih menaungi dua proyek berbasis partisipasi warga dari BIYA Project (Bandung) dan Fioretti Vera (Yogyakarta). BIYA Project, melalui Lihat Kebunku dan Panjang Umurnya! (2025), mengajak sejumlah masyarakat mengumpulkan limbah plastik untuk diolah menjadi ragam bentuk benda fungsional, seperti kantung-katung tanaman bunga, dan instalasi yang memenuhi struktur bangunan Gubuk Putih. Lalu dari dasar kolam, muncul Spektralieri (2025) dari Fioretti Vera yang telah mengikuti program Asana Bina Seni 2025. Karya ini mengolah pengalaman bunyi yang Fioretti alami ketika turut memasak bersama ibu-ibu Kelompok Wanita Tani (KWT) Sawit di Panggungharjo. Bebunyi sehari-hari, seperti kupasan, sahutan, panggilan, dikonversi menjadi komposisi terpilin atau terdistorsi yang, seberapapun tujuannya adalah mengarsip bunyi, justru membuyar pengalaman sonik komunal, dan Spektralieri berakhir otonom.

Kolektif Arungkala, Omah Samin, 2025. Foto: Biennale Jogja 18.
Proyek Kolektif Arungkala (2025), Omah Samin (2025), hadir sendirian di Joglo Pak Newu. Karya ini mengangkat keberadaan Gerakan Samin di seantero Jawa di awal abad 20 yang dikenal melawan kolonialisme Belanda dengan cara non-kekerasan, salah satunya menolak bayar pajak. Di awal 2025, Arungkala menjalani masa residensi di Kendeng dan tinggal bersama komunitas Sedulur Sikep, komunitas yang menjalani hari sesuai dengan Ajaran Samin. Menurut Arungkala, mereka tinggal cukup lama dan memutuskan untuk tidak sekadar mendokumentasikan atau membuat “karya seni” tentangnya, dan justru ingin menjadi “kerabat hangat yang berdiri bersama komunitas dan perjuangan yang dibagikan.” Hanya saja presentasi Omah Samin tidak jelas. Peta distribusi Keluarga Saminis di Jawa Tengah dalam bahasa Inggris yang diperbesar dan menggantung di pintu masuk bukanlah sambutan tepat. Reproduksi koran, kopian penelitian, zine, dan buku-buku tergeletak begitu saja, berdebu tak terurus. Kendi-kendi tanah liat berderet sepi. Omah Samin seperti tidak memancarkan kehangatan atau solidaritas yang Arungkala ceritakan. Fokus Arungkala pecah. Di BJ18, kolektif ini menghadirkan dua proyek riset besar dalam satu waktu. Tak hanya Omah Samin, Arungkala juga menghadirkan proyek riset tentang Oei Siotjia dan Jejaring Penulis Perempuan Tionghoa di Lasem pada abad 20, Kios Diorama (2025), yang tata pajangnya di Vredeburg juga sepi dan tidak ada resiprokasinya dengan eksterior Vredeburg. Kedua produksi Arungkala berakhir menjadi sekumpulan temuan data yang hampir tak terolah. Sedangkan produksi teatrikal atau program yang aktivatif yang belakangan Arungkala lakukan dapat menyampaikan gagasannya lebih jitu.
Arungkala bukan satu-satunya yang menghadapi problem presentasi. Saya menggunakan diksi “presentasi” di sini karena tak hanya seniman yang berperan, tapi juga infrastrukturnya. Saat menyusuri semua lokasi pameran, kita akan sering berhadapan dengan masalah-masalah klasik manajemen pameran skala besar: keterangan karyanya yang berantakan dan tidak integratif, porsi informasinya tak imbang antara satu karya dengan lainnya, bahkan ada karya yang terpajang tanpanya. Penanda arah atau peta karya di lokasi yang mewadahi banyak karya pun tidak ada, setidaknya ketika saya berkunjung, seperti di Vredeburg dan Karangkitri (Saya kelewatan karya Marten Bayuaji dan Kukuh Ramadhan karenanya). Menimbang hal-hal teknis ini, siapa yang menjadi korban pertama dari manajemen yang berantakan? Karyanya. Komunikasi pameran ternyata berdampak besar dalam memperantarai penghayatan artistik, terlebih karena karya-karyanya mengandung banyak lapisan gagasan, serta ada misi dari ajang sekelas biennale untuk melibatkan penyimak ke dalam percakapan yang melampaui apa yang tampak.
BJ18 juga tampak belum sepenuhnya siap mengatasi atau beradaptasi dengan bahasa ruang-ruang di daerah desa; arsitekturnya, interioritas dan eksterioritasnya, kondisi alamnya (keadaan serba terbuka ternyata berdampak pada karya Nathalie Muchamad, misalnya). Hal ini memberi kesan bahwa Babak II BJ18 lebih banyak melihat desa sebagai ruang pamer saja. Kita jadi mempertanyakan lagi apa itu kerja perawatan. Kita kian sering membicarakan kerja perawatan hari ini, bahwa kerja-kerja kesenian adalah kerja-kerja merawat. Tapi apa sesungguhnya maksud dari perawatan di ranah praktis, di penuturan pameran? Bagaimana kita bisa menyediakan percakapan mutual atau pengalaman berbagi antara karya, seniman dan penyimaknya?
Apa itu penubuhan pengetahuan? Ternyata, ada dua tubuh yang berbeda di sini, atau tiga: “tubuh manusia” baik seniman atau warga yang dimaknai secara ragawi tapi juga epistemologis di mana mereka mempelajari dan menekuni satu subjek tertentu secara terus menerus menjadi sebuah pengetahuan, dan “tubuh karya” hasil dari alihan, terjemahan atau pembagian pengalaman ketubuhan manusiawi tadi menjadi bahasa rupa dengan sejarah dan politik mediumnya masing-masing. Saat keduanya memadu, maka seharusnya lahirlah “tubuh kawruh,” di mana seni, melalui presentasinya, memungkinkan kita menghayati pengetahuan sebagai suatu kebijaksanaan, tak hanya membaca dan mencatatnya. Dalam konteks BJ18, seniman boleh jadi mengalami apa yang disebut sebagai pengetahuan menubuh itu, katakanlah melalui riset atau residensi yang mengharuskannya berinteraksi dengan warga dan alam desa dalam kesepakatan waktu tertentu. Namun sebagaimana terlihat di banyak presentasi Babak II, pengalaman kewargaan yang kita anggap dinamis, aktivatif, komunal, dan multivokal seringkali menjelma presentasi yang statis, pasif, individual dan univokal di tahap resepsi. Sebagaimana yang pembaca amati, kritik saya memang memandang Babak II sebagai pameran seni. Pengalaman kewargaan atau kedesaan barangkali sudah tuntas di Babak I. Semakin saya mengamati latar belakang karya-karya Babak II, semakin saya menyayangkan betapa gagasan karya-karya itu, sejarahnya, seringkali tidak dikonversikan dengan tepat di tahap tutur pameran, eksekusinya. Secara keseluruhan, BJ18 Babak II adalah pameran yang berantakan. Ia menghalau pengetahuan, menghambat penghayatan, dan kita pulang seringnya tanpa kesan.



