Kanvas-Kanvas Jiwa
ROH tengah menampilkan dwipameran tunggal dari tanggal 22 Mei hingga 23 Juni 2024. Namun, dalam ulasan kali ini, pameran ‘Sadar’ akan disorot secara utuh.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Ibrahim Soetomo
Foto: ROH
Kanvas-kanvas Nadya Jiwa tampak muram, taram, kabur, luntur. Wujud-wujudnya tak terlukis jadi. Alam dan benda tak pernah pasti. Pameran tunggalnya, sadar, menghadirkan sebelas lukisan yang ia buat sepanjang 2020–2024. Bersamaan dengan tunggal ini, Jiwa ikut serta dalam pameran perempuan seniman, Titicara: Meruah, di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, dengan menampilkan lukisan lamanya, Contrapestry (2016) dan Perihal Sepi (2017). Kanvas-kanvas Jiwa tak pernah keluar sebanyak dan serempak ini.
Sadar bertempat di Gallery Apple, ROH. Memasukinya, kita menjumpai Peristiwa/Adegan (2020). Ia satu-satunya lukisan Jiwa yang dipajang di dinding putih, sedangkan sepuluh sisanya berada di ruang dalam cokelat gelap demi mengaksentuasi palet warna rata-rata lukisan Jiwa. Peristiwa/Adegan menyorot bagian leher ke kepala seseorang yang tampak pasrah, atau tak sadarkan diri, atau memang ia tak bernyawa lagi. Warna monokromatik, kuasan yang mengabur kontur, membuat kita tak bisa meyakini apa sebenarnya yang ia alami. Kita hanya bisa menduga, sebagaimana kita kelak menduga-duga apa yang terjadi dalam sepuluh lukisan lainnya.
Melangkah ke tepi kanan ruang dalam, Dentur (2023) menampakkan seorang perempuan yang sedang duduk menyilang kaki di sebuah kursi, menghadap kita, dan di belakangnya ada penampakan tiga orang laki-laki dalam suatu urusan entah apa. Bukan putih-perak seperti Peristiwa/Adegan, kini kita menyadari dominasi cokelat tua keruh dengan sebasuh tampias hijau-biru, pas dengan dinding cokelat gelapnya. Lagi-lagi kita berandai, apa yang tersembunyi di balik tatapan itu? Seolah perempuan itu hendak menumpahkan masalah yang mengendap begitu dalam, meski lukisan ini tak memberikan keterangan tempat dan waktu yang pasti.
Ada pula Memori Tubuh (2022). Banyak yang bertabrakan di dalamnya: Penggalan tubuh beratribut yang mengingatkan kita pada seorang dokter operasi, lengkap dengan sarung tangannya, memegang sebuah cermin. Tubuh seseorang yang merengkuh lemari, memunggungi kita. Tubuh seekor ikan sebesar manusia yang terkapar, mungkin juga terluka. Tubuh yang tiduran dengan pose patung-patung Yunani kuno. Apakah ini kumpulan memori yang muncul berbenturan, miliknya dan orang lain? Siapa pemilik memori, dan momen Proustian apa yang mengeluarkannya dari kurungan benda, selayaknya membebaskan jin dari lampu ajaib?
Kanvas-kanvas yang penuh sosok bertabrakan ini akan kita saksikan di lukisan lain, Untitled (2023) dan Pawon (2023). Ada pula yang nonfiguratif, untuk tak mengatakan sepenuhnya abstrak, yaitu Afterdark (Remediation) (2021) yang memperlihatkan benda seperti lipatan atau gumpalan terbungkus, dan Sculpture Rupture (2020) yang warna-warnanya berombak. Dua lukisan ini bertindak sebagai sebuah jeda nonfiguratif di antara mereka yang figuratif, namun keduanya akan sulit berdiri sendiri tanpa dukungan lukisan-lukisan di sekitarnya.
Dan ada terang di antara yang teram, yaitu Pendar (2024). Pendar, dengan ukurannya tak segimana besar, menampakkan sosok berjubah yang dibenam denyar. Hanya saja ia bukan cahaya yang pas dan menghangatkan, tapi justru terlampau silau hingga, lagi-lagi, meninggalkan kita dengan impresi-impresi suatu objek. Tak seperti biasanya, Pendar menampilkan sosok tunggal dengan latar yang luang, lantas secara rupa, ia melegakan.
Jiwa mengkolase ragam potongan cerita, suasana, dan kejadian ke dalam satu wilayah yang meratakan latar depan dan belakang. Beberapa karya di atas kertas, seperti Khayal (2021) dan I Call Your Cloak (2021), memberi petunjuk perihal cara Jiwa menata objek dalam sebuah bidang. Mari mendekat ke salah satu lukisan di sadar, manapun: Ia menggunakan cat minyak encer, barangkali mencampurnya dengan pencair cat dalam takaran sebanding atau lebih, sehingga yang teroles ke muka kanvas adalah warna-warna tipis. Mari mencari garis, dari benda manapun: Jiwa sebenarnya membuat kontur yang memisahkan satu benda dengan benda lainnya, namun batas tegas itu seringkali buyar ketika kuasnya menyapu warna kesanakemari. Warna-warna encer itu lantas luntur, lalu bercampur di tempat, menabrak benda-benda, dan bahkan sesekali memutihkannya (bleaching). Wujud-wujud dalam kanvas meresap ke kitaran, dan hilanglah keterangan akan benda; Mereka tak lagi padat, cair, gas: Mereka adalah benda ambang.
Bagaimana Jiwa bisa mencapai warna dan cara lukisnya? Apa dan siapa yang memengaruhinya? Pada taraf suasana, pengalaman memandangi sejumlah kanvas di sadar sama dengan ketika saya membaca kisah-kisah hantu dan khayali pengarang dan penyair Argentina, Silvina Ocampo, atau cerita-cerita dream-like pengarang Polandia, Bruno Schulz. Suasananya mistis, misterius. Bunyinya bisik dan dengung. Aromanya lapuk, lumut, lumpur.
Sedangkan perihal rupa, kita seperti sedang melihat lukisan-lukisan Simbolisme yang dilukis secara ekspresif. Ada gestur dan pose manusia dan makhluk khayali dalam sejumlah kanvas Jiwa yang mirip dengan mereka yang hidup dalam dunia Simbolisme, misalnya saja dalam Isyarat (2022) yang memperlihatkan seorang yang sedang memangku anak perempuan, juga satu lukisan pasangan yang tak hadir di sadar, Mendung itu Hantu-hantu (2022), yang menampakkan dua sosok bungkuk, satu cokelat keruh satu lagi putih asap, yang sama-sama berjalan ke arah kiri lukisan. (Mendung itu Hantu-hantu ibarat mengilustrasikan hantu-ganda atau doppelgänger dalam cerita rakyat Jerman). Kita juga dapat melihat kemiripan lukisan-lukisan Jiwa dengan lukisan-lukisan fantastis pelukis Spanyol, Remedios Varo. Namun perihal mitologi sebagai salah satu motif kias yang kuat dalam Simbolisme, Jiwa melakukan twist kelokalan, seperti mengangkat kembali Cipamali (2023).
Jiwa lahir pada 1994. Jika kita bicara tentang cerita-cerita, maka ia, seperti saya, menjadi bagian dari generasi yang masih diteruskan cerita rakyat dan legenda seperti Lutung Kasarung, Sangkuriang, dan Si Kabayan, tapi juga terpapar cerita dan legenda dunia melalui buku terjemahan dan film animasi. Ia juga menjadi bagian dari masyarakat digital yang sehari-harinya berhadapan dengan data-data rupa. Sebagai seniman, ia menyelesaikan masa pendidikannya di departemen seni rupa Institut Teknologi Bandung pada 2016, yang sudah pasti memberikan wawasan sejarah dan estetika seni rupa Indonesia dan “Barat.” Jiwa termasuk generasi seniman yang mampu mengakses banyak informasi, terlalu banyak, barangkali. Dan pada kanvas-kanvasnya kita melihat gejala rupa seniman ragam-rujukan sekarang ini yang tak melulu, atau tak perlu lagi, beranjak dari bumi kesenian Indonesia. Bukan berarti Jiwa dan para seniman kini harus, dan pada taraf tertentu justru bagus, karena sesungguhnya para seniman ini memperkaya corak seni rupa kontemporer kita. Kian sering kita temui adukan-adukan warna yang jarang, medium yang spesifik dan canggih, serta gagasan personal dan serebral, yang seakan-akan belum pernah ada dalam bentang skena seni rupa kita, sehingga sulit kita lacak asal-usul atau pengaruh berkarya mereka. Kita dapat lekas mengasosiasikan karya-karya yang hampir distingtif dan amalgamatif ini dengan si senimannya, sebagaimana kita dapat menyadari ciri-ciri lukisan Jiwa melalui sapuan ekspresif dan diksi warna. Jika kita menganggap bahwa tak ada karya seperti punya Jiwa, barangkali karena karya-karya seniman segenerasinya juga sulit ada duanya.
Jiwa hadir untuk terus memperlebar khazanah pokok rupa, ekspresi dan warna. Dan seni lukis kita senantiasa terbentuk oleh pelebaran hal-hal itu, setidaknya sejak seniman-seniman modern Indonesia di akhir 1930an mencari pokok rupa yang realistis melalui warna keseharian dengan teknik yang ekspresif ketimbang mengindah-indahkan. Tentu, Jiwa berada di lingkungan budaya yang lebih rumit ketimbang seniman-seniman modern itu, tapi yang sama adalah bahwa seniman punya kebiasaan menjauh dari budaya rupa arus utama/populer sebagai sikap artistiknya. Dalam konteks kekinian, bagi saya, kanvas-kanvas Jiwa menjauh dari semesta realisme fotografis dunia digital yang menghamburkan ilusi realitas, yang membuai, serba pasti, rapi dan jernih, namun sesungguhnya gambar-gambar itu adalah stimulasi berlebih.
_
Nadya Jiwa: Sadar
22 Mei-23 Juni 2024
ROH
Jalan Surabaya 66
Gondangdia, Menteng
Jakarta Pusat 10310