Direktori: Di Makassar, Melihat Harapan dari Indonesia Timur
Di episode ketiga Direktori, kami berkunjung ke Makassar untuk belajar tentang bagaimana semangat literasi menghidupkan budaya kota juga tentang kebersamaan dalam keberagaman.
Words by Muhammad Hilmi
In partnership with British Council - DICE (Developing Inclusive Creative Economy)
Selama ini, kita selalu dihadapkan dengan anggapan bahwa kita adalah generasi dengan minat baca yang rendah. Kami kurang sepakat karena kami melihat bahwa generasi terkini adalah generasi yang melek literasi. Dalam kegiatan sehari-hari, kita bisa melihat buktinya pada bagaimana kita semakin banyak mengonsumsi konten dengan berbagai wacana. Banyak penulis muda baru muncul dengan karya yang gemilang. Di taraf literasi, kita juga melihat nama Indonesia semakin sering mengemuka melalui gelaran seperti Ubud Writers Festival, Makassar International Writers Festival, hingga keterlibatan kita di acara seperti Frankfurt Book Fair. Jadi sebenarnya, jika mau melihat lebih dekat, sebenarnya kita sedang dalam masa-masa yang baik.
Dalam usaha untuk melihat lebih dekat pada salah satu muara dari berita baik ini, kami mengunjungi Makassar. Selain menjadi tempat di mana banyak karya berkualitas lahir, belakangan melalui acara Makassar International Writers Festival (MIWF), kita juga tahu bahwa semangat literasi sedang bergelora di sana. Untuk itu, kami mengawali kunjungan kami ke Rumata’ Artspace. Di ruang ini, gagasan tentang acara MIWF lahir. Bermula dari keinginan Riri Riza dan Lily Yulianti Farid untuk mengangkat kultur kreatif di Makassar, Rumata’ kemudian menjadi salah satu penggerak kebudayaan di sana. Selain MIWF, Rumata’ juga menggagas beberapa acara lain seperti Sea Screen yang berfokus pada pengembangan talenta di dunia film, juga acara-acara lain.
Untuk lebih mendalami geliat literasi, kami juga mampir di Kedai Buku Jenny (KBJ). Mengambil inspirasi nama dari band asal Yogya dengan nama Jenny (sekarang FSTVLST), Kedai Buku Jenny menjadi rumah bagi banyak kepala untuk bertemu, mendengarkan musik, berbagi bacaan juga berdiskusi. Yang menarik, di sini, kita juga disadarkan tentang bagaimana ruang kreatif seperti KBJ juga bisa memberikan nilai lebih bagi perempuan, juga warga sekitar.
Siku Ruang Terpadu adalah ruang kreatif terakhir yang kami kunjungi. Di sini, kami belajar bahwa bahasan literasi juga sering beririsan dengan bahasan mengenai kota dan kebudayaannya. Dan di tempat inilah beberapa bahasan tadi berkelindan. Berawal dari kegelisahan kolektif Jalur Timur, tempat ini lahir dan kemudian berkembang menjadi unit kebudayaan yang lebih besar.
–
Video ini adalah bagian dari rangkaian project kolaborasi British Council – DICE (Developing Inclusive Creative Economy) dengan Whiteboard Journal yang berfokus pada Creative Hubs di Indonesia. Berjudul “Direktori” kolaborasi ini akan menceritakan profil komunitas dan kolektif lokal dalam berbagai format, mulai dari artikel pendek, interview mendalam, video series hingga buku. Tunggu rangkaian kontennya di sini.