Bercakap dengan Gentar di “Chiharu Shiota: The Soul Trembles”
“Chiharu Shiota: The Soul Trembles” adalah pameran keliling terbesar dan terkomprehensif Chiharu Shiota. Museum MACAN jadi satu-satunya lokasi pameran di Asia Tenggara.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Ibrahim Soetomo
Foto: Ibrahim Soetomo & Ardi Widja/Whiteboard Journal
Sepulangnya dari The Soul Trembles, dada ini penuh dengan kosong. Atau sebaliknya: kosong karena bertumpah rasa. Rasa yang tertampung tanpa kesimpulan rampung. Momen ini kian tepat karena di pengujung pameran kita menjumpai koper-koper. Seakan pameran ini telah menyiap pengunjung tuk mengemas pulang rasa tak terucap, tak bernama.
Perasaan apa ini? Mengapa ia ada?
Koper-koper tadi adalah bagian dari Accumulation: Searching for the Destination (2014/2022). Sebuah instalasi koper-koper tua yang digantung dengan benang merah, mengayun sepanjang ruang menuju pintu keluar. Sebagian koper bergoyahan akibat taktik kinetik dari benang, yang kemudian menimbul decit di sepanjang instalasi. Sayangnya ini bukan karya terkuat di The Soul Trembles. Skalanya yang besar tak menutup kenyataan bahwa ia sesekali canggung dan terasa dibuat-buat. Ada keraguan yang berpangkal pada manipulasi gerak koper itu, seakan hendak memberi pesan tertentu. Padahal instalasi lainnya tak menghendaki perhatian. Dan kekuatan karya Shiota terletak pada penyampaian pesan melalui ketiadaan pesan.
The Soul Trembles adalah pameran tunggal tentang pengalaman mendalam Chiharu Shiota. Karya-karyanya erat dengan peristiwa-peristiwa hidupnya. Ia, kelahiran Jepang, pindah ke Berlin pada 1999 dan masih menyaksikan peninggalan dan reruntuhan pasca-Perang Dingin. Di 2016 ia didiagnosa mengidap kanker sehari setelah ide mengenai pameran tunggal terbesarnya tercetus–ia langsung mengkhawatirkan anak perempuannya yang saat itu berumur sembilan tahun. Dari akumulasi pengalaman itu ia bicara tentang kembara, jiwa, memori, tentang dirinya sebagai perempuan dan seorang ibu, juga, tentang hidup dan mati.
Sebermula Shiota belajar melukis. Namun saat berumur duapuluhan ia ingin menyatu dengan lukisan. Kehendak ini membawanya ke seni rupa pertunjukan. Becoming Painting (1994) merupakan upaya awal menggunakan tubuhnya di mana ia menyimbah diri dengan merah, menyatu dengan latar kain-kain putih yang juga bersimbah merah. Shiota ingin melukis di udara. Kanvas membatasinya, dan cat minyak membebaninya dengan sejarah seni lukis yang panjang. Maka bertemulah ia dengan benang.
Memasuki In Silence (2002/2022), sebuah piano bekas terbakar tampak di tengah-tengah ruang. Ada pula kekursi di tepian yang telah hitam mengarang. Lihatlah kaki-kakinya. Lihat pula tuts-tuts piano tadi, yang kini tak bernada lagi. Ringkih sekali. Akan tetapi mereka tetap berdiri, dijerat dan dikelilingi benang hitam Alcantara. Beruntunglah jika kita sendirian saja di sana. Setiap langkah seakan mengirim getar pada jejaring benang itu. Satu benang bergetar, seluruh jaring ikut bergetar. Ketika menengadah ke atas, kita seperti memandang langit malam, pada semesta yang tua dan ananta.
Sama halnya dengan Uncertain Journey (2016/2019) yang menyambut di awalan. Jejaring merah yang berpijak pada rangka-rangka perahu itu menguasai ruangan. Seruangan merah darah. Sesekali tengoklah kedua telapak tangan. Rona merahnya tampias ke kulit, meski hanya sedikit. Akan tetapi kita jadi bagian darinya, terkena dampaknya. Ibarat berjalan di bawah naungan kebun raya, atau hutan, Uncertain Journey memberi pengalaman serupa mengalami alam. Mendekatlah. Pilih dan telusuri seutas benangnya. Maka ia akan mengantarkan kita pada jalan tanpa batas. Kita tak sendiri. Pengunjung lain berdatangan. Apa yang mereka rasakan? Barangkali suatu pengalaman sensasional yang sama uniknya. Sementara haru dan pukau selalu ada. Hingga akhirnya kita mendengar. Ada lirih yang datang dari lubuk hati. Diri ini ingin bicara. Karya ini telah menyediakan ruang renung. Maka habiskanlah waktu di dalam hingga terasa tuntas, hingga mencapai semacam kesepakatan. Sekeluarnya dari sana, tak ada yang bisa menggantikan pengalaman pertama.
Sampailah kita pada lukisan Untitled (1992). Tampak blok-blok cat krim, bangbang, serta merah tua yang mengambil hampir seluruh bagian atas kanvas. Semakin kita memerhatikannya, semakin kita menyadari sesuatu. Ah, kehadiran lukisan ini ternyata signifikan. Tak hanya menjadi lukisan cat minyak terakhir yang Shiota buat, Untitled menjadi petunjuk mengapa Uncertain Journey atau In Silence dapat bekerja secara emosional sementara Accumulation: Searching for the Destination tak menciptakan getaran serupa. Ada kesamaan antara Untitled dengan Uncertain Journey dan In Silence: ketiganya karya abstrak.
Karya abstrak berbicara pada dirinya sendiri. Ia tak membawa pesan. Kita berhak mengasosiasikan warna-warna dengan rasa, khayal, memori dan pengetahuan sendiri. Secara rupa, ia pun aman dan nyaman dipandang, meski bukan berarti seluruh karya abstrak itu bagus. Ia, karena tak merepresentasikan apapun, mampu bicara pada hampir siapa saja, jika bukan semua.
Uncertain Journey atau In Silence adalah lukisan abstrak. Jika tak seutuhnya, maka mendekati. Sedangkan Shiota tetaplah seorang pelukis, hanya saja tak lagi di kanvas. Ada bentuk yang kebetulan menyerupai perahu di Uncertain Journey. Ada piano dan kekursi di In Silence. Namun mereka dikaburkan, dihancurkan, dihapuskan dari makna dan guna asalnya. Kedua karya berada di wilayah aman di mana kita terlebih dahulu berpijak pada citra benda yang ada, untuk kemudian lepas landas bersama jejaring di ruangan. Jejaring itu mengaktivasi rasa, khayal, memori dan pengetahuan yang personal. Dari situlah rasa tak terucapkan ini merekah, bermekaran jadi taman emosi dalam dada.
Accumulation: Searching for the Destination tentu saja menyimpan emosi menahun. Begitu pula miniatur-miniatur dalam Connecting Small Memories (2019/2022). Mereka bukan sembarang benda. Namun memori dan arti yang terkandung adalah milik Shiota. Kita mungkin atau tak mungkin menerima getarnya. Karena itu kita menghargainya sebagai benda-benda kenangan Shiota.
The Soul Trembles adalah pameran yang penuh kisah dan rasa. Namun sesungguhnya ia tak menjanjikan apapun. Jiwa yang gentar adalah jiwa Shiota. Kita mungkin atau tak mungkin menerima gentarnya. Yang pasti, kita telah bercakap dengannya, lalu pulang membawa sesuatu. Seberapapun sulit digambarkan, seberapapun tak selesai.
–
Chiharu Shiota: The Soul Trembles
26 November 2022–30 April 2023
Museum MACAN
AKR Tower Level M
Jalan Panjang No. 5 Kebon Jeruk
Jakarta Barat 11530, Indonesia