What I Love About You Is Your Attitude Problem
Sebuah Festival di Dalam Festival.
by Ken Jenie
Di antara panel diskusi, debat, pameran, pertunjukan musik dan pembacaan yang mengisi acara Singapore Writers Festival ada sebuah acara yang menggabungkan berbagai medium seni dalam satu kurung waktu yang padat. Berjudul “What I Love About You is Your Attitude Problem”, acara site-specific ini berlangsung hari Jumat tanggal 6 November dari jam 7 malam sampai jam 7 pagi. Bertempat di The Arts House, venue pusat acara Singapore Writers Festival dan dengan durasi selama 12 jam, What I Love… mengisi gedung bekas parlemen Singapore dengan rangkaian acara yang terdiri dari pertunjukan theater, musik, tur pameran fotografi, hingga speed dating, bagaikan festival di dalam festival – sebuah acara experimental yang menarik dalam konteks festival sastra, bahkan mungkin pula bagi konteks festival secara umum.
What I Love About You is Your Attitude Problem adalah hasil karya Checkpoint Theatre, sebuah teater multidisiplin didirikan tahun 2002 dengan fokus untuk mengasuh skena pertunjukan teater di Singapura. Kurator rangkaian acara What I Love… adalah Huzir Sulaiman, seorang playwrite ternama sekaligus co-founder Checkpoint Theatre. Sepanjang malam ia bisa dilihat memakai jas, celana rapih, dan dasi sambil berlalu-lalang ruangan-ruangan The Art House, mengobservasi pertunjukan-pertunjukan yang terjadi. Deskripsi What I Love… menjelaskan bahwa acara ini mengangkat tema perjalanan personal yang terdiri dari kebahagiaan, kesedihan, aspirasi, petualangan sampai hubungan antar teman dan keluarga. Deskripsi acaranya terdengar sangat umum, dan mungkin sengaja dibuat demikian supaya bisa memberi benang merah kepada keberagaman program-programnya. Di saat mengeksplorasi What I Love… yang menonjol adalah para pengisi acaranya secara individu tanpa terkaitnya tema ‘pengalaman hidup’ yang diangkat oleh deskripsinya, dan secara personal narasi pengalaman di dalam acara 12 jam ini.
Sepanjang malam, pengunjung What I Love… diundang untuk mengeksplorasi ruangan-ruangan The Art House yang diisi oleh berbagai macam pertunjukan, dan tergantung jam berapa dan ruangan apa yang dikunjungi, mereka akan merasakan pengalaman yang beda. Format interaksi pengunjung dengan acara mengingatkan kepada pertunjukan teater site-specific seperti Sleep No More di New York City, dimana individu penonton diundang untuk membuat narasi sebuah cerita sendiri melalui explorasi lokasi. Kombinasi ruangan yang berbeda akan membuat pengalaman yang berbeda, dan format ini membuat Sleep No More pertunjukan yang bisa didatangi berkali-kali untuk merasakan narasi baru setiap kunjungan.
What I Love… memiliki elemen-elemen yang membuatnya serupa dengan teater site-specific seperti Sleep No More, tetapi dengan perbedaan yang krusial. Perbedaan pertama: program-program di dalam What I Love… tidak berdasar pada satu cerita. Rangkaian acara di dalam What I Love… terdiri dari pertunjukan-pertunjukan dari individu dan kolektif yang tidak memiliki hubungan langsung selain mereka berpentas di venue yang sama. Duo elektronik .gif memberi pertunjukan musik di ruangan Japan Foundation Play Den, Becca D’Bus memberi pertunjukan drag dengan tema yang berbeda setiap jam, Kiat dan Intriguant nge-dj lagu-lagu leftfield electronica, dan Zakaria Zainal memberi tur eksibisi fotografinya yang berjudul “With the Gurkhas” adalah beberapa contoh program yang bisa dialami. Definisi narasi pengunjung dalam konteks What I Love… longgar dan terfokus kepada ketertarikan secara individual.
Perbedaan kedua adalah What I Love… sebagai acara yang terjadi sekali dalam Singapore Writers Festival. Meskipun ada beberapa program yang berulang sepanjang 12 jam, adalah tidak mungkin bagi pengunjung untuk menikmati semua pertunjukan yang terjadi. Beberapa pertunjukan seperti Riders Tahu Time Nak Hujan oleh Nessa Anwar hanya terjadi sekali, dan disaat yang sama Philip Jeyaretnam masih berada di tengah pembacaan karya novelnya, . gif memberi workshop mengenai musik elektronik, dan Pooja Nansi memberi pertunjukan sastra. Artinya penonton harus membaca program acara dan merencanakan kunjungannya untuk memaksimalkan pengalaman di What I Love… karena tidak ada kesempatan kedua. Bisa saja pengunjung masuk dan keluar ditengah sebuah pertunjukan, kami berkali-kali melakukan ini untuk menjelajahi keseluruhan acara, tetapi mayoritas program di What I Love… tidak bersambung dengan sesama program dan memiliki sebuah awal dan akhir di dalam sebuah kurung waktu. Artinya, untuk merasakan satu program secara utuh pengunjung harus hadir dari awal sampai akhir program tersebut.
What I Love… juga memiliki elemen sosial di luar program acaranya. Sebagai pengunjung, kami menikmati jalan di koridor-koridor The Art House sambil melihat pengunjung-pengunjung yang wajahnya semakin malam semakin terlihat akrab. What I Love… juga menyediakan buffet supper dan makan pagi untuk tamu-tamu, dan sebuah pop-up bar oleh Pocket Bar Concepts menyuguh tamu dengan bir dan berbagai macam minuman mixologi.
Pemilihan durasi acara yang berlangsung dari jam 7 malam sampai jam 7 pagi pun sangat menarik. Memulai di jam malam membuat acara ini spesial dari rangkaian Singapore Writers Festival secara keseluruhan karena kurun waktu What I Love… di luar jam konvensional untuk sebuah acara sastra. Acara yang penuh dengan pentas multidisiplin dan jam yang tidak lazim membuat What I Love… terasa seperti sebuah momen malam minggu yang berkesan. Meskipun program yang ditawarkan tidak teralu jauh berbeda dengan program Singapore Writers Festival lainnya, pengalaman pengunjung lebih terfokus kepada menghadiri dan mengalami What I Love… dibanding program-programnya secara individu. Waktu yang tidak konvensional ditambah dengan jangka waktu yang panjang secara tidak langsung juga memberi tantangan untuk peminat What I Love… – apakah pendatang sanggup dan mau menjadi bagian dari acara yang membutuhkan dedikasi yang cukup tinggi. Kami sendiri tidak menghadiri semua program malam Sabtu dan pulang ke penginapan pada setengah durasi acaranya. Meskipun kami menyayangkan tidak bisa menghadiri beberapa program yang terjadi di pagi hari, yang kami sempat saksikan sangat menarik. Berikut adalah beberapa program yang menurut kami merupakan ‘highlight’ dari pengalaman kami di rangkaian acara What I Love…
Acara pertama yang kami hadiri adalah “Riders Tahu Time Nak Hujan (Riders Know When It’s Going to Rain)” oleh Nessa Anwar. Ruangan The Japan Foundation Play Den The Art House yang berupa black box theater menjadi panggung untuk drama mengenai persahabatan antara 4 anak penggemar motor. Karya Nessa Anwar ini penuh dengan dinamika interaksi antar karakter. Sebagai penonton kami diajak untuk ikut merasakan kebahagiaan dan kesedihan karakter melalui pengalaman keseharian mereka yang bervariasi dari yang banal sampai yang sangat dramatis. Fokus kepada interaksi keseharian karakter Riders Tahu Time Nak Hujan mengingatkan kepada interaksi manusia dalam keseharian, dan bagaimana drama adalah kepingan kejadian dari pengalaman manusia.
Setiap jam selama 12 jam, sebuah lounge bernama British Council Gallery yang penuh dengan bean-bag warna warni dan sebuah runway menjadi venue untuk pentas Becca D’Bus, seorang pementas drag. Dengan judul “12 Easy Bitches (After 7 Easy Pieces By Marina Abramovic)” Becca D’Bus dengan berbagai dandanan yang flamboyan memberi pertunjukan yang lucu dan berpaling kepada performance art. Seperti yang di deskripsikan oleh judul programnya, Becca D’Bus melakukan beberapa aksi seniman Marina Abramovic, tetapi dengan sebuah twist lucu yang mengambil referensi dari pop culture. Contohnya, di sesi kedua Becca D’Bus melakukan rendisi “The Artist is Present”-nya Marina Abramovic, tetapi saat seorang tamu duduk didepannya Becca tiba-tiba me-lipsync lagu “I Will Always Love You”-nya Whitney Houston sebelum pergi ke belakang panggung. Setiap pentas Becca D’Bus di What I Love… meninggalkan kesan satir terhadap performance art.
Selama What I Love… berlangsung, 2 pameran berlangsung di dalamnya. Satu adalah pameran foto “With the Gurkhas” oleh Zakaria Zainal yang setiap jamnya berisi tur penjelasan mengenai Gurkhas, orang-orang Nepal yang menjadi sebagian dari polisi dan diberi kredit yang cukup besar dalam mengamankan Singapura dari ketegangan antar etnis di awal kemerdekaan. Zakaria Zainal ingin tahu lebih banyak mengenai Gurkhas, dan mencari orang-orang yang berperan penting dalam membentuk Singapura. Di lantai dua, sebuah instalasi berupa meja berisi berbagai macam perlengkapan laboratori dan video orang berinteraksi dengan obyek-obyek di atas meja bersandar di tangga The Art House. Instalasi ini dipakai untuk sebuah performance art berjudul “Buang – In Conversation with Alfred Wallace Assistant” dimana pengarangnya, Isabelle Desjeux, berinteraksi dengan karakter di dalam videonya. Buang adalah asisten Alfred Wallace, ilmuwan Inggris yang menghasilkan teori evolusi seleksi alam secara independen dan di waktu yang sama dengan Charles Darwin. Pada instalasi sekaligus performance art ini, Isabelle Desjeux berinteraksi dengan karakter Buang yang diproyeksikan ke tembok Art House. Melalui interaksinya, pengunjung belajar mengenai metodologi Buang dan Alfred Wallace dalam risetnya.
Ruangan the Chamber di lantai dua menjadi ruangan pertunjukan “Drawing a Reading: A Different Sky”, dimana novel Meira Chand yang berjudul A Different Sky dibaca dari halaman pertama hingga terakhir mulai dari jam 7 malam sampai jam 7 pagi, ditemani sebuah karya visual yang menginterpretasi pembacaan buku tersebut. Pengunjung (termasuk kami) keluar-masuk ruangan The Chamber di waktu-waktu yang berbeda. Drawing a Different Reading adalah acara yang cukup berkesan. Sebagai pengunjung yang hanya mengalami sekitar satu setengah jam dari pertunjukan 12 jamnya, kami menikmati pembacaan buku Meira Chand seperti sebuah instalasi suara. Suara pembaca bukunya yang cukup dinamis bergema di ruangan besar The Chamber dan terasa seperti sebuah lagu dengan suara sebagai instrument, kalimat menjadi melodi dan suku kata menjadi ritme. Kadang kami membaca salah satu buku A Different Sky yang di sediakan oleh panitia untuk mengikuti pertunjukan pembacaannya untuk menikmati kelihaian Meira Chand dalam menulis. Pertunjukan durasi yang di sutradari Claire Wong adalah pengalaman yang sangat berkesan dalam acara What I Love…
Meskipun kami tidak sempat mengunjungi semua acara rangkaian What I Love About You is Your Attitude Problem, waktu kami disana sangat membekas. Dalam sebuah festival sastra Singapore Writers Festival, konsep acara experimental What I Love… membuat suasana yang sangat spesial, dimana pengunjung dihadapkan pada format acara yang unik dalam bentuk waktu dan programnya. Berbagai macam ragam program memastikan bahwa pengunjung selalu memiliki pilihan program untuk sepanjang malam. Semoga, format acara seperti What I Love… bisa menjadi lebih populer ke depannya.