Warga & The Couples Company
Menelisik Dibalik Bunyi dan Nyanyi White Shoes and The Couples Company
Semenjak mencuat dari scene kampus Institut Kesenian Jakarta pada awal tahun 2000-an, White Shoes and The Couples Company telah berkembang pesat menjadi salah satu nama besar di musik nasional. Segudang prestasi telah diraih, baik pencapaian dari skala lokal, juga kinerja memuaskan di level internasional. Jika banyak musisi lokal masih menjadikan ‘go internasional’ sebagai visi, White Shoes and The Couples Company menjadi salah satu nama yang telah berhasil merealisasikannya tanpa banyak basa-basi. Beberapa album mereka telah diedarkan oleh label musik internasional, dan disamping panggung di penjuru negeri, event musik di beberapa benua pun telah mereka jelajahi.
Ada banyak faktor yang mendasari segala pencapaian unit musik yang juga dikenal dengan akronimnya, WSATCC ini. Kemunculan mereka di era keemasan scene independen Jakarta menjadi salah satu kunci. Bersama-sama dengan sesama alumnus IKJ serta skena musik Parc dan BB’s-termasuk juga eksistensi label independen Aksara Records, WSATCC menjadi sebuah nama yang kemudian menjangkiti playlist anak-anak muda di kota-kota pusat kebudayaan di Indonesia. Ada pula eksistensi mereka di sosial media era awal milenia kedua, myspace yang kemudian menjadi gerbang menuju pintu-pintu sekaligus kesempatan untuk menjelajahi berbagai belahan dunia baru.
Tentu saja, kualitas mereka sebagai grup musik menjadi faktor utama bagi posisi WSATCC sekarang. Sejatinya, musik mereka tak sepenuhnya orisinil, tapi justru disini karakter mereka bisa menonjol dari unit musik lain. Alih-alih ikut berlomba untuk mengejar konsep musik a-la internasional, dengan cerdik mereka justru memilih untuk menggali lebih dalam pada kekayaan musik lokal. Takarannya pun pas, tidak berlebih namun juga tidak kurang, ditambah dengan berbagai influence personal dari personil, menjadikan musik WSATCC unik, namun bisa dinikmati oleh segala kalangan. Background seni yang kuat pada tiap-tiap personil (beberapa diantaranya bahkan merupakan seniman yang cukup menonjol di Jakarta) semakin melengkapi paket WSATCC sebagai sebuah brand seni yang komplet. Arahan dari Indra Ameng selaku manajer juga merupakan highlight khusus dari karir WSATCC. Perspektif, pengalaman serta jaringan dari Ameng sangat membantu pesatnya laju pengembangan karir WSATCC.
Satu hal yang sering terlewat ketika mendiskusikan segala prestasi WSATCC adalah tentang esensi tim produksi. Dengan jadwal panggung yang cukup padat setiap bulannya, keberadaan tim produksi yang solid jelas menjadi kebutuhan primer. Tim produksi yang bekerja dengan optimal dapat memberikan para personil kenyamanan untuk dapat menyalurkan energi kepada penonton. Dan dengan curahan energi yang selalu terpancar pada setiap panggungnya, soliditas tim produksi WSATCC telah terbukti.
Meskipun begitu, ternyata tidak semua berjalan mulus pada mulanya. “Saat itu, saya nonton White Shoes di sebuah acara di Plaza Lucy. Mungkin itu salah satu panggung pertama mereka, John belum bergabung ketika itu. Kesan pertamanya tuh ‘band apaan nih’. Soundnya masih ancur, parah.”, Jarot salah satu teknisi panggung WSATCC bercerita. Relasi lalu berkembang ketika kemudian di tengah sebuah pertandingan sepak bola di kampus IKJ, Jarot diajak bergabung menjadi salah satu kru pertama WSATCC. Salah satu lagu di album pertama, “Sunday Memory Lane” merubah penilaian Jarot terhadap musik WSATCC. “Sekarang, saya merasa bahwa energi positif yang White Shoes tidak hanya terasa bagi para penonton, tapi juga bagi kami di belakang panggung. Sering di tengah-tengah lagu tiba-tiba saya ikut menari bareng Sari.”
Berbagai riwayat menjadi awal hubungan panjang tim produksi dengan band. Bala yang juga merupakan salah satu kru pertama sempat hengkang dari tim, untuk kemudian kembali bergabung kembali, Rully masuk sebagai teknisi drum sebelum menjadi soundman, sampai Sikil yang mengaku bergabung karena suka dengan isian gitar Ale. Sekarang, tim produksi WSATCC terdiri dari Adit sebagai booking agent, Risto sebagai road manager, Rully sebagai soundman, Sikil, Bala dan Jarot berturutan menjadi teknisi panggung. Bersama-sama mereka menyebut diri mereka “warga”. Nama ini muncul dari Tandun, sutradara video klip “Kisah dari Selatan Jakarta”. “Tandun, mengusir kami dari set lokasi dengan seruan, ‘warga diharap minggir dari lokasi’. Sebenernya, itu adalah guyonan yang umum di lokasi shooting di Jakarta. Warga sekitar yang selalu datang mengerubungi lokasi shooting harus diminggirkan. Entah kenapa panggilan tersebut bertahan di kami sampai sekarang.” Adit bercerita. “Yang paling aneh adalah, dari dulu hingga kini, warga kalau checksound paling sering justru bawain lagu Rumahsakit, tidak pernah bawain lagu White Shoes sama sekali. Keterbatasan skill mungkin ya” tambahnya lagi, disusul burai tawa dari anggota Warga yang lain.
Dalam perjalanan bersama, telah banyak cerita terbangun antara tim produksi dengan tiap personil WSATCC. Tentang karakter vokal Sari yang mereka anggap mampu menjadi ciri khusus dari White Shoes, Ale yang sering improvisasi kunci gitar di panggung, Ricky yang perfeksionis dalam hal instrumen, Rio yang selalu aman permainannya, John yang setting drumnya tidak memiliki pakem pasti, sampai pada Mela yang sering ngantuk pada gigs di malam hari. Bagi warga, semua individual tersebut membangun keutuhan White Shoes sebagai salah satu band independen yang cukup langgeng dan mampu terus bertahan hingga sekarang.
Dengan hubungan yang cukup intens antara keduanya, warga merasakan ada dimensi-dimensi khusus yang membuat musik WSATCC spesial. “Bagi saya, musik WSATCC itu mahal. Mahal dalam artian mereka memainkan musik yang susah dicari penggantinya. Jika orang mengira White Shoes mengejar karakter sound vintage ketika di panggung, itu salah sebenarnya. Kita nggak pernah ngejar sound tertentu. Semua keluar natural. Jujur aja.” Rully menjelaskan. Hal tersebut diamini oleh Sikil yang berujar bahwa semua personil memberlakukan instrumen mereka sebagai ekstensi atau perpanjangan dari ekspresi personal masing-masing. Ini bisa dimaknai sebagai salah satu penjelasan yang cukup valid atas keunikan dari warna musik WSATCC.
Menariknya, WSATCC tak hanya natural dalam bermain musik. Dalam hubungannya dengan tim produksi, mereka memberlakukan diri mereka setara. Tidak ada gap khusus yang membentang diantara band dengan kru. Semua fasilitas yang didapatkan oleh personil, dinikmati sama rata bersama para kru. Keadaan dimana band mendapatkan perlakuan istimewa dan kru mendapat treatment seadanya, tidak pernah berlaku di White Shoes. “Nginep pun kita selalu bareng. Malah pernah band gak dapet makan, kita malah dapet makan enak.” Bala bercerita.
Dengan segala kisah yang terjadi, ada satu harapan bersama dari Warga kepada White Shoes. Yakni agar White Shoes terus konsisten serta maju dalam berkarya. Dengan relasi antara band dengan kru yang telah terbentuk lebih dari sekedar hubungan profesional semata, di titik tertentu, bahkan WSATCC telah menjadi bagian hidup dari masing-masing kru. “Suatu hari ketika melihat persiapan panggung band senior, God Bless, saya terbayang akan bisa terus membantu White Shoes hingga usia senja.” Jarot menutup.
Dengan senang White Shoes & The Couples Company dan RURU Corps mengumumkan rencananya dalam menyelenggarakan Konser Musik Tunggal White Shoes & The Couples Company (WSATCC) yang bertajuk KONSER DI CIKINI.