Ocsila Ameinta Purba | Semarang
Bagaimana awal mula karir musik Oci terbentuk?
Saya memulai karir bermusik di kota Solo semasa SMA. Saya beberapa kali mengunggah video menyanyi di Youtube. Pada tahun 2008, saya mulai bergabung dengan sebuah band bernama Nevermore, yang beraliran alternative/pop punk. Nevermore berkiblat pada grup band seperti Paramore, Simple Plan, hingga Good Charlotte. Pada saat itu, saya yang juga merupakan salah satu member dari Choir Group, Bengawan Symphony Orchestra merasa kurang puas hanya dengan satu band. Saya kemudian memutuskan untuk membentuk band baru bersama beberapa teman dari grup Orchestra dengan aliran Pop Jazz bernama Palmarius.
Pada tahun 2011, saya harus pindah ke kota Semarang karena urusan kuliah. Dengan begitu komunikasi dengan band yang saya jalanipun mulai terganggu. Sembari kuliah, saya tetap menyempatkan diri untuk sesekali mengunggah video cover lagu-lagu yang saya sukai. Saya sempat featuring dengan band asal Semarang, Cherry Crunch pada lagu berjudul October Scene di tahun 2012. Saya mulai menciptakan beberapa lagu dengan beberapa lirik yang saya tulis sejak berada di bangku SMA. Pada akhir 2015, saya mulai menulis “Happen”, yang akhirnya menjadi karya yang lolos hingga 12 besar Go Ahead Challenge 2016.
Apa yang Oci coba kalian tawarkan melalui lagu “Happen”?
“Happen” dan karya saya yang lain adalah hasil dari berbagai genre musik yang saya dalami selama ini. Saya mencoba menggabungkan beberapa aliran menjadi sebuah karya yang original dan tidak mengada-ada. Saya ingin menunjukkan bahwa lagu-lagu yang saya ciptakan juga memiliki potensi dan dapat dinikmati.
Sebagai musisi independen, bagaimana Oci menerapkan etos DIY untuk mempromosikan musik?
Saya mempublikasi karya-karya saya secara independent melalui social media seperti Soundcloud, Youtube dan Facebook. Saya juga menjalin relasi dengan teman-teman pemusik yang ada di beberapa daerah.
Sebagai musisi yang usianya relatif muda, bagaimana cara Oci untuk masuk pada scene yang telah ada?
Meskipun masih terbilang baru, saya mencoba untuk masuk pada scene yang telah ada dengan tetap mempertahaknkan originalitas dari karya-karya yang saya hasilkan sekarang dan juga di kemudian hari. Dari originalitas akan lahir sesuatu yang authentic. Menurut saya, kedua unsur tersebut adalah yang terpenting dalam berkarya.
Bagaimana memaknai rilisan fisik di era digital?
Dengan semakin berkembangnya berbagai fasilitas di era digital, saya tidak memungkiri bahwa rilisan fisik mulai jarang diminati. Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa nantinya rilisan fisik justru kembali populer, karena menurut saya rilisan fisik adalah satu-satunya bentuk nyata dari sebuah karya yang bisa disimpang dan menjadi history sampai kapanpun.
Bagaimana pendapat Oci mengenai scene musik yang ada di kota kalian Semarang?
Semarang memiliki banyak pemusik handal dan potensial. Hanya saja menurut saya masih dibutuhkan x-factor bagi para pemusik tersebut untuk bisa merambah ke jangkauan yang lebih luas. Saya sering bertukar pikiran dengan sesama pemusik di Semarang mengenai hal ini. Saya sangat berharap bahwa industri musik di kota Semarang bisa lebih maju dan bisa menjadi kiblat bagi kota-kota di sekitarnya, bahkan di Indonesia.
Siapa musisi yang Oci rekomendasikan dari Semarang ?
Ada beberapa pemusik yang saya idolakan di Semarang ini. Contohnya Something About Lola yang menurut saya memiliki lirik-lirik yang tidak biasa dan musik yang agresif. Ada juga Sugar Bitter, band indie rock yang dalam waktu dekat ini akan menggelar tur pulau jawa. Dari sekitar kota Semarang adapula Soloensis, band dari Surakarta yang beraliran rock ‘n’ roll , mereka menurut saya berpotensi untuk menjadi band besar di musik rock ‘n’ roll.
Kevin Pangestu | Jimjack | Pekanbaru
Bagaimana awal mula band kalian terbentuk?
Berawal dari sebuah obrolan yang ingin menyatukan visi dalam menciptakan band yang keras, maka terbentuklah band yang awalnya bernama Jimjack pada tahun 2010 di Pekanbaru. Awalnya, band ini beranggotakan Jeffry Mandala Putera (vokal), Kevin Pangestu (gitar), Septian Prasetyo (gitar), dan Muhammad Iswaldi (drum). Sempat mengalami kekosongan player di posisi bass, akhirnya kami merangkul Riyo Romansyah untuk mengisi kekosongan tersebut. Setelah beberapa tahun terbentuknya band ini, posisi bass digantikan oleh Boyke Martin Adriansyah, Setelah lagu-lagu yang tak pernah letih dilatih, dan mengumpulkan dana dari panggung-panggung yang kami singgahi. Akhir nya pada tanggal 11 Mei 2014, debut album kami yang bertajuk “LEX TALIONIS” rilis dalam format CD. Album ini berisikan 9 lagu, dengan distorsi keras dan kencang, dan juga berlirik tajam penuh amarah.
Pengerjaan album “LEX TALIONIS” di kerjakan selama 6 bulan, proses mixing dan mastering dikerjakan oleh Farid “Zafran” Ahmad Faisal dan artwork oleh salah satu illustrator terbaik di Indonesia, yakni Riandy Karuniawan.
Apa yang coba kalian tawarkan melalui musik kalian?
Nuansa heavy metal dan hardcore-punk menjadi pengaruh utama bagi kami. Musik kami adalah pendamping suasana “berat” . Dan salah satu lagu kami yang berjudul “Melingkar Bakar (Weedyanto Kushnaidi)” yang diperkaya beat drum yang sangat menghantam, serta irama southern rock di akhir lagu akan membuat pendengarnya menari.
Sebagai musisi independen, bagaimana kalian menerapkan etos DIY untuk mempromosikan musik kalian?
Etos DIY yang kami terapkan dalam mempromosikan musik kami yaitu dengan melakukan produksi dan distribusi secara sendiri. Ini terbukti dari penggarapan album pertama kami yang berjudul “LEX TALIONIS”. Semua proses produksi dan distribusi kami lakukan secara sendiri dengan memanfaatkan jaringan perkawanan yang kami miliki. Kami juga aktif di social media seperti instagram, twitter, facebook, youtube, dll . Selain itu kami juga sering mengambil bagian di gig kolektif untuk memperkenalkan karya kami secara langsung.
Sebagai band yang usianya relatif muda, bagaimana cara kalian untuk masuk pada scene yang telah ada?
Menurut kami, ketika sudah berada di dalam dunia seni, untuk memasuki dunia tersebut kita wajib berkarya dan berani mengemas karya itu sendiri. Ketika karya itu dikemas dengan baik, maka akan lebih mudah bagi kami untuk berada dan bertahan di scene yg ada.
Bagaimana memaknai rilisan fisik di era digital?
Menurut kami bagi sebuah band, rilisan fisik itu sangat penting. Rilisan fisik adalah jati diri band tersebut. Namun kita juga perlu beradaptasi terhadap perkembangan zaman, tidak ada salahnya jika suatu band memiliki rilisan fisik dan rilisan dalam bentuk digital. Karena dengan begitu, mereka akan memiliki media promosi yang lebih luas dan ini memudahkan mereka yang mendengarkan dan menyukai karya kami. Ini juga sudah kami terapkan di album pertama kami yang kalian didapatkan di itunes dan juga bisa di dengarkan secara digital di deezer, spotify, dll.
Bagaimana pendapat kalian mengenai scene musik yang ada di kota kalian kalian?
Keadaan scene musik di Pekanbaru dalam beberapa tahun terakhir ini sangat baik. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya band Pekanbaru yang sudah merilis album dan melakukan tour dalam cakupan nasional maupun internasional.
Siapa musisi yang kalian rekomendasikan dari kota kalian?
Ada banyak band dari Pekanbaru yang layak didengarkan karyanya. Beberapa diantaranya yang kami rekomendasikan adalah Maltreat Deafen, Air Hostess for Vacation, dan Koruporba. Dengarkan dan Anda akan paham kenapa kami merekomendasikan mereka.
Yulio Abdul Syafik | Piston | Jakarta
Bagaimana awal mula band kalian terbentuk?
Kami duduk di bangku yang sama sewaktu SMA. Berangkat dari kesamaan selera dan kebosan pada musik yang sering di tampilkan di beberapa festival internal sekolah kami, kami membentuk Piston.
Apa yang coba kalian tawarkan melalui musik kalian?
Pada dasarnya kami suka musik keras dengan segala macamnya subgenrenya. Punk, heavy metal, hardcore, speed rock, dan lainnya. Kami kemudian meleburnya menjadi satu dalam musik yang kami bawakan. Kalau ada yang mencari peleburan dari bermacam sub dari musik rock tersebut, kamilah jawabannya. Keringat energi, mandi bir, bau alkohol, tendensinya untuk ngebut, iron fist up in the air, mosh hard, karaoke massal, wall of death, adalah apa yang akan kalian dapatkan dari kami.
Sebagai musisi independen, bagaimana kalian menerapkan etos DIY untuk mempromosikan musik kalian?
Etos DIY di era digital ini sebenarnya sangat mudah diterapkan. Banyak platform yang bisa digunakan, semudah itu, hanya tinggal bagaimana bekerja keras sampai titik maksimum. Kalau dulu seorang Ahmad Dhani rela seorang diri naik busuknya kereta ekonomi ke Jakarta dari surabaya untuk menyebarkan demo miliknya ke label label rekaman, kita sekarang juga menerapkan etos kerja tersebut. Menyebar rekaman milik kami dan kawan ke banyak label yang kami anggap memiliki semangat yang sama.
Semua kami lakukan sendiri, DIY, do it yourself, terminnya masih sama, semangatnya pun tidak kalah baja. Hanya medianya saja yang berbeda, bersyukurlah kita yang hidup saat ini, karena teknologi begitu mudahnya untuk diakses. Nah, karena kemudahan yang sebegitunya, tidak ada alasan untuk tidak mem-push band dan karya kita sampai maksimal agar hasilnya bisa maksimal. Toh, yang era purba dengan segala keterbatasannya saja berhasil, jadi tidak ada alasan untuk tidak bisa melampaui mereka, karena generasai kita jauh lebih dimudahkan dengan segala kelebihannya.
Sebagai band yang usianya relatif muda, bagaimana cara kalian untuk masuk pada scene yang telah ada?
Bermodalkan knowledge sebetulnya, dan juga teknologi tentunya. Juga rajin untuk datang ke pusat pergerakan scene tersebut. Datang, amati, bikin resensi. Contohnya begini, saya cukup aktif datang ke acara acara musik sekitaran kemang. Saya datang, lihat, dan mengira-ngira apa yang kurang disana. Dari kekurangan yang ada, saya coba mengajukan beberapa penyelesaian soal needs dari scene yang sudah ada. Untuk maju dan mencoba menyelesaikan masalah dibutuhkan knowledge dan nyali.
Misalkan beberapa tahun terakhir, teman-teman komunitas merasa kalau Jakarta kekurangan venue untuk menampilkan band-band muda yang gairahnya berapi-api. Musiknya bagus sekali, tapi jam terbangnya saja yang masih loyo. Berangkat dari sana, saya coba maju ke beberapa tempat yang sebelumnya belum pernah dijadikan sebagai venue musik. Menjelaskan kondisinya seperti apa, dan apa apa saja yang menjadi profit bagi kedua belah pihak. Ini sialan memang, apa apa berujung pada profit dan kebutuhan bisnis, tapi ya tidak munafik, memang semua hal pasti bermuara kesana.
Skema seperti itu sebetulnya yang menjadikan saya lebih dekat dengan teman-teman di komunitas atau sebut saja scene. Kebetulan saya juga seorang jurnalis musik, jadi beberapa rilisan teman yang saya anggap menarik, saya bantu publikasikan ke beberapa media. Nah, dari sana juga lebih banyak kenal dengan orang-orang lain dari scene tersebut.
Bagaimana memaknai rilisan fisik di era digital?
Saya pribadi adalah orang yang termasuk golongan orthodox untuk rilisan fisik. Menurut saya, rilisan fisik adalah harga mati. Beli, buka plastik wrapping, menjabarkan liriknya satu persatu melalui sleeve yang didesain semenarik itu, angkat kepingan CD-nya dan putar di player, merupakan journey kecil yang sungguh berharga, menurut saya pribadi. Koleksi yang berjejer berkilau akan membuat kita terlihat lebih cool dibanding teman tongkrongan lainnya.
Tapi saya juga tidak menutup mata untuk era digital. Ayolah, ini 2016, semua dimotori tekhnologi. Untuk musik sendiri, saya adalah pelanggan premium Spotify yang langsung membayar untuk jangka 1 tahun. Kepraktisannya yang luar biasa. Meskipun tetap saja, ketika membeli CD, dengarkan dirumah, energinya merasuk sekali. Tapi saat bepergian kemana mana, energi tersebut masih bisa kita nikmati didalam metromini atau di dalam pesawat sekalipun melalui platform digital tersebut.
Jadi menurut saya, tetaplah penting membeli rilisan fisik, lalu booster-nya adalah platform digital. Dengan begitu, kita bisa menikmati musik favorit, dirumah, dimobil, dimanapun. Dan pada dasarnya adalah tidak ada yang mahal untuk hobi
Bagaimana pendapat kalian mengenai scene musik yang ada di kota kalian kalian?
Cool. Mau tidak mau, terima tidak terima, sebagai ibukota, Jakarta masih menjadi barometer dan kompas untuk kota-kota lain. Dan faktanya di lapangan pun begitu. IMHO.
Siapa musisi yang kalian rekomendasikan dari kota kalian?
Banyak, banyak sekali. Beberapa diantaranya adlah Petaka, Witch Motor Inn, dan Feast
Petaka: karena menurut saya, mereka hadir di tengah kemonotonan scene hardcore lokal saat ini, at least begitu menurut pendapat saya. Lagunya nyaris tidak ada yang menyentuh durasi 2 menit, total kebut, liriknya sialan tapi menohok. Petaka fuckin’ rule!
Witch Motor Inn: penambah panjang daftar penyembah Black Sabbath. Musiknya menghipnotis, rotasi riff-nya mantap betul. Sayang, jarang manggung.
Feast: Darah segar baru. Pengagum Queens of The Stone Age yang energinya kadang terlalu meletup. Albumnya layak tunggu, di panggung penuh eksplorasi.
Bachtiar Aryo Rachmawan | Morganostic | Surabaya
Bagaimana awal mula band kalian terbentuk?
Awal mula Morganostic terbentuk adalah saat kami duduk dibangku SMA . Saat itu sekitar tahun 2007/2008, kami adalah teman-teman di satu skena musik indie di Surabaya. Pada awal tahun 2009 kita mulai jamming dan akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah band metal bernamakan Morganostic.
Apa yang coba kalian tawarkan melalui musik kalian?
Yang coba kami tawarkan adalah musik bergenre modern progressive metal, dengan ketukan-ketukan drum ganjil, sound modern metal yang jahat, warna vokal yang penuh amarah, dan sentuhan manis dari keyboard dan synth. Kami menyajikan konsep metal yang berbeda, sehingga promotor Amerika Serikat, Beheading The Traitor dan ITdjents tak ragu untuk memperkenalkan kami disana.
Sebagai musisi independen, bagaimana kalian menerapkan etos DIY untuk mempromosikan musik kalian?
Sebagai musisi di jalur independen, kami melakukan sendiri hampir semua pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh record label. Kami berkeyakinan bahwa ini adalah jalan terbaik sementara ini. Kita bisa menuangkan semua ego kita di karya kita sendiri, yang konon hal tersebut susah terwujud di jalur major. Begitupun dengan distribusi dan promosi kita lakukan sendiri email to email, kami memprioritaskan promosi pada promotor luar negeri, juga promotor dan media lokal. Kami meyakini apa yang diperoleh dari jalur independen adalah hasil terbaik yang bisa kita lakukan. Tapi tidak menutup kemungkinan jika suatu saat kita akan bekerja sama dengan label besar, mengingat masalah klasik musisi independen adalah biaya.
Sebagai band yang usianya relatif muda, bagaimana cara kalian untuk masuk pada scene yang telah ada?
Sebagai musisi muda kami banyak belajar dari musisi-musisi senior maupun pelaku industri hiburan di skena ini. Kami sangat menghargai mereka dengan karya-karyanya. Kami adalah wujud regenerasi mereka.
Bagaimana memaknai rilisan fisik di era digital?
Rilisan fisik memberikan kesan tersendiri di era digital saat ini. Kadang mungkin kita bisa mendapatkan lagu dari band yang kita dengan hanya streaming atau dengan membeli lagu mereka via iTunes dan sebagainya. Namun dengan membeli rilisan fisik merupakan kesan tersendiri bagi kami pribadi. Dengan membeli rilisan fisik, kami akan memiliki kenang-kenangan yang sangat berarti dari band tersebut, karena pastinya rilisan fisik ini adalah package terbaik dari karya mereka. Kami selaku musisi akan merasa senang jika banyak yang meminati rilisan fisik kami, dan pastinya lebih semangat untuk melahirkan karya-karya baru. Jika harus memilih rilisan fisik atau digital, kami memilih keduanya untuk memasarkan EP kami yang akan rilis akhir tahun ini, karena tidak bisa dipungkiri saat ini adalah era digital.
Bagaimana pendapat kalian mengenai scene musik yang ada di kota kalian kalian?
Scene musik independen di Surabaya selalu berapi-api semangatnya. Selalu ada acara-acara seru tiap bulannya, dan selalu muncul karya-karya baru yang berkualitas. Hal yang seperti ini akan selalu melahirkan talenta muda yang berbakat. Kami sangat menikmati scene musik di Surabaya. Satu-satunya yang yang kurang adalah penyetaraan expose media antara band Surabaya yang kadang belum setara dengan band-band ibukota. Kalau ada sistem yang lebih setara, Indonesia akan makin lengkap dengan banyak referensi musik yang beragam dan masyarakat bisa dengan mudah memilih mana yang mereka sukai.
Siapa musisi yang kalian rekomendasikan dari kota kalian?
Terlalu banyak yang bisa saya disebutkan disini sebenarnya. Mungkin bisa dimulai dengan The Flinstone, Hi-Mom, Methiums, Beyond Infinity, Head Crusher, Bvas, Wolf feet, Fraud, Pig Face Joe, Amonra, My Mother is Hero. Susah untuk menggambarkan betapa berkualitasnya mereka,, buktikan dengan mendengarkan dan silahkan menilai sendiri kualitas karya mereka.
Piston, Jimjack, Ocsila, dan Morganostic adalah talenta baru yang muncul dari kompetisi kreatif Go Ahead Challenge 2016. Keempatnya terpilih menjadi finalis dan berpotensi menjadi representasi subkultur musik di Go Ahead Challenge tahun ini. Selain juara pada masing-masing subkultur, ada pula pemenang favorit yang dipilih oleh sistem voting publik. Vote Pemenang Favorit di GoAheadPeople.com dengan memilih karya yang menarik untuk menjaga regenerasi musik Indonesia.