SUPER MARIO BROS (NINTENDO: 1989)
Pilihan: Oomleo | Seniman/Musisi
Rasanya tak mungkin untuk tak menyebut Super Mario Bros sebagai salah satu game terbaik dan paling ikonik dari NES. Karakternya, si tukang pipa, Mario telah menjadi bagian dari simbol pop-culture dan telah direproduksi dalam berbagai bentuk produk. Oomleo adalah salah satu orang yang menyepakati hal ini, baginya Super Mario Bros adalah game yang penting, “Mario Bros itu the best! Jika dunia game itu adalah NBA, maka Mario Bros adalah Michael Jordan-nya. Meski kemudian banyak sekuelnya, versi NES adalah yang paling menancap di hati. Desainnya pun sangat basic dan mem-brainwash. Sedikit banyak, game ini menjadi inspirasi saya saat berkarya.” ujarnya.
CONTRA (KONAMI: 1988)
Pilihan: Saleh Husein | Seniman/Musisi
Contra adalah salah satu game yang menghidupkan konsep “action” pada konsol NES. Hanya bercerita dalam semesta dua dimensi, Contra mampu membuat sebuah shooting game menjadi hal yang seru dan adiktif pada saat yang sama. Meski kini Saleh Husein sudah cukup jarang bermain game, imaji tentang Contra membekas di dirinya, “Sebagai penggemar game perang dan petualangan, saya suka level-level kesulitan dan senjata dari game Contra. Saking favoritnya, sampai sekarang saya masih ingat cheat code buat menambah nyawa di game ini!”
GANBARE GOEMON! KARAKURI DOUCHUU Konami: 1986)
Pilihan: Fandy Susanto | Desainer Grafis
Mendasarkan alur ceritanya pada folklore, Ganbare Goemon berkisah tentang petualangan seorang pencuri di era klasik Jepang. Fandy Susanto dari studio desain Table Six menjadikan game ini favoritnya, “Sejak kecil saya memiliki ketertarikan pada pop culture Jepang. Mulai dari manga dan sebagainya. Terutama melalui karakternya, serta gameplaynya yang menggabungkan action dan rpg dalam bentuk yang fun dan lucu. Yang seru, jika dimainkan berdua, interaksinya juga ramai, tak seperti Contra yang bentuknya side-scrolling normal biasa.”
MEGA MAN 2 (CAPCOM: 1989)
Pilihan: Kendra Ahimsa | Seniman/Desainer Grafis
Mega Man 2 merupakan salah satu bentuk terbaik dari seri Mega Man. Disebut sebagai pengantar yang baik menuju “Mega Man Universe”, seri kedua ini memiliki tahapan level yang paling menarik diantara penerusnya. Jangan lupakan juga desain karakter dan lingkungannya yang imajinatif, hal inilah yang mencuri perhatian Kendra Ahimsa, “Saya selalu semangat banget saat bermain Mega Man 2. Saya juga suka karakternya, saat itu saya sampai beli mainannya. Di Mega Man 2 ini, karakternya juga berbeda dengan karakter Mega Man versi anime. Meski jika dibandingkan sekarang, grafisnya terbatas, tapi dulu game ini keren banget.”
METROID (NINTENDO: 1986)
Pilihan: Rossi Dias | Penata Suara (Efek Rumah Kaca/Payung Teduh)
Dibangun dari engine game Kid Icarus yang berbasis pada konsep action-platforming, Metroid mengembangkannya menjadi game dengan semesta yang luas dengan struktur yang non-linear. Sebuah hal yang lantas membuat konsep Metroid menjadi cetak biru bagi perkembangan game-game setelahnya. Rossi Dias, penata suara dari panggung Efek Rumah Kaca dan Pandai Besi, sekaligus kolektor game vintage menjadikan Metroid sebagai game NES terbaik pilihannya. Selain karena gameplay-nya yang mendukung sistem mapping dan upgrade senjata – sebuah hal yang cukup advanced di platform NES – juga karena nuansanya, “Ambience dari game ini terasa seperti film sci-fi/thriller, soundtrack-nya juga mendukung, sensasinya seperti film The Things atau Alien.”
MOTHER (NINTENDO: 1989)
Pilihan: Ken Jenie | Editor/Musisi
Yang ajaib dari game ini adalah meski dikembangkan dari gameplay Dragon Quest, Mother bersetting di jaman modern, sembari tetap mempertahankan fantasi sebagai garis besar game ini. Dari segi cerita, Mother mengikuti perjalanan seorang anak bernama “Ninten” yang berpetualang dalam mengalahkan berbagai mahluk yang ada di sekitarnya. Dalam beberapa review, Mother dianggap sebagai game yang terlalu susah untuk dimainkan, namun hal ini tak lantas membuat Ken melupakannya, “Secara tampilan, game ini tampak kekanakan, tapi kebanyakan memainkannya saat dewasa, sensasi yang muncul jadi offbeat. Secara cerita, kita tak akan pernah tahu apakah kisahnya serius atau tidak, tak jarang malah absurd. Tapi justru itu yang membuat pengalaman bermain game ini jadi menyenangkan. Coba juga seri kedua dan ketiganya, karena secara permainan tak kalah seru.”
LEGEND OF ZELDA (NINTENDO: 1986)
Pilihan: Natasha Gabriella Tontey | Seniman
Sulit untuk membicarakan Nintendo tanpa menyebut Zelda. Datang di era nir-internet, pengalaman menjelajahi dunia RPG Zelda yang luas, membuat setiap individu memiliki cerita berbeda mengenai interaksinya saat memainkan game ini. Beberapa berinisiatif membuat peta bikinan sendiri, beberapa yang lain menjadikannya tempat untuk mempelajari hal-hal baru. Natasha Gabrielle Tontey dalam hal ini ada pada kategori kedua, “Saya belajar Bahasa Inggris melalui Zelda, tapi tak hanya itu, saya juga belajar mengenai banyak hal, khususnya mengenai branding yang menginspirasi karya yang sedang saya kembangkan sekarang, Little Shop of Horror.”
CASTLEVANIA (KONAMI: 1987)
Pilihan: Eko Bintang | Seniman
Pada dasarnya, Castlevania adalah bentuk tipikal game action yang jamak ditemukan di era itu. Yang membuatnya spesial adalah premisnya yang mengangkat konsep horor dalam estetika yang komplit, dari setting yang akurat, karakter yang kuat juga soundtrack yang mencekat. Eko Bintang adalah salah satu diantara banyak pemain yang merasakannya, “Sebelumnya saya bermain game tipe Mario atau Ice Climber yang konsepnya cenderung cute, saat bermain Castlevania, tiba-tiba merasa dewasa karena gamenya terasa seram. Visualnya juga gila untuk ukuran saat itu. Mungkin kalau tidak bermain Castlevania dan game NES lainnya, saya tak akan jadi seniman, mungkin justru jadi akuntan, atau apoteker (tertawa).”