Lagu “Holocaust” oleh band all star This Mortal Coil di album It’ll End Here.
It’ll End in Tears (1984)
This Mortal Coil
Sebenarnya, It’ll End in Tears adalah sebuah album berisi lagu-lagu cover. Hal yang membedakan album ini dari album kover lainnya adalah selain fakta bahwa album ini juga berisi beberapa komposisi instrumental asli, This Mortal Coil bukan merupakan band, melainkan sebuah kolektif yang diisi oleh beberapa individu terbaik dari roster 4AD. Bermula dari keinginan pemilik label Ivo Watts-Russell untuk membuat sebuah album kumpulan cover lagu favoritnya, anggota This Mortal Coil dikumpulkan dari personel Cocteau Twins, Dead Can Dance, hingga vokalis The Buzzcocks yang kemudian juga dikenal sebagai vokalis dari unit seminal post-punk Magazine, Howard Devoto. Bersama-sama, supergrup tersebut bekerja sebagai kolektif yang menyatu satu sama lain untuk membuat versi baru dari lagu-lagu yang sebelumnya dipopulerkan oleh band seperti Big Star, dan Tim Buckley. Dengan konsep demikian, It’ll End in Tears adalah sebuah album yang mampu merangkum karakter dari label 4AD secara utuh dan menyeluruh. Baik nuansa gelap maupun terang dari diskografi koleksi 4AD terwakili secara merata melalui album ini.
Video klip “Heaven or Las Vegas,” title-track album Cocteau Twins.
Heaven or Las Vegas (1990)
Cocteau Twins
Mungkin, akan ada perdebatan tentang mana album Cocteau Twins yang paling penting diantara diskografinya. Beberapa mungkin akan memilih album Treasure, atau Victorialand. Tapi bagi kami, Heaven or Las Vegas adalah album yang paling esensial bagi karir Elisabeth Fraser, Robin Guthrie dan Will Heggie. Dari judul album yang juga menjadi judul salah satu singlenya, Heaven or Las Vegas, Cocteau Twins memberikan deskripsi yang cukup akurat mengenai karakter musikal mereka. Karakter vokal Liz Fraser yang dengan lentur menjelma dari falsetto yang mengawang menjadi nyanyian merdu dengan iringan ambience dari resonansi gitar Guthrie adalah anomali yang melenakan pada bagaimana seorang musisi memainkan instumen mereka. Dengan kualitas seperti demikian, sejatinya menggunakan term atmosferik atau ethereal untuk merangkum album ini adalah mengecilkan kualitas karya ini. Selain merupakan album dengan jumlah single terbanyak yang mampu masuk ke chart mainstream, Heaven or Las Vegas juga menandai semangat female fronted band yang kemudian menjadi salah satu identitas yang cukup kental pada genre ini.
“Wolf Like Me,” mungkin single yang paling sering diasosiasi dengan album Return to Cookie Mountain oleh TV On the Radio
Return to Cookie Mountain (2006)
TV on The Radio
Cukup susah untuk tidak terpukau pada pengalaman mendengarkan “Wolf Like Me”, salah satu single dari album Cookie Mountain. Kombinasi dari pekik vokalis Tunde Adebimpe dengan nyanyian dari gitaris Kyp Malone merupakan salah satu harmoni terbaik dari koleksi 4AD. Merupakan debut album major mereka, disini mereka tak mengurangi intensitas eksplorasi musikal yang menjadi salah satu identitas mereka. Terkadang, mereka terdengar terlalu kencang bila dikategorikan sebagai band pengusung indie-rock, tapi di saat yang sama, agak terlalu statis untuk membuat mereka sebagai band punk/hardcore. Di album ini pula, TV on The Radio mengundang nama-nama penting, tercatat Nick Zinner, Blonde Redhead hingga David Bowie menyumbangkan karya mereka masing-masing. Pada Return to Cookie Mountain ini pula, TV on The Radio kemudian menemukan konsep yang kemudian menjadi dasar bagi salah satu album penting mereka yang lain, Dear Science.
Video klip lagu “Melody,” salah satu single dari album Misery is a Butterfly oleh Blonde Redhead
Misery is Butterfly (2004)
Blonde Redhead
Musik yang ditemukan di album keenam Blonde Redhead cukup jauh dari disonan musik no wave yang dulunya menjadi inspirasi utama grup ini. Dari lagu pembuka “Elephant Woman” yang epik hingga penutup album “Equus,” produksi Misery is a Butterfly kaya dengan suara dan instrumentasi, mulai dari gitar bariton, string section, sampai clavinet. Melodi Vokal dari Kazu Makino dan Amadeo Pace memiliki level dramatis dengan instrumentasinya. Ada pula pola drum Simone Pace yang keluar dari standar dan sangat berkesan. Misery is a Butterfly adalah album yang terbaik dari era Blonde Redhead setelah kebisingin album-album awal dan sebelum musik mereka menjadi lebih cenderung elektronik di album Penny Sparkle.
Pembuka album Dark Was the Night, “Knotty Pine,” yang dimainkan oleh Dirty Projectors dan David Byrne.
Dark Was the Night (2009)
VA
Sebagai rilisan yang ditujukan untuk mengumpulkan bantuan bagi Red Hot Organization, sebuah yayasan untuk meningkatkan kesadaran mengenai HIV dan AIDS, Dark Was the Night adalah sebuah kompilasi yang memasukkan musisi “all-star” dari kalangan indie rock pada jaman album ini dirilis. Album berisi dua keeping CD ini memfitur musisi-musisi seperti David Byrne, Feist, Bon Iver, Arcade Fire, Beirut, Blonde Redhead, dan Yo La Tengo. Dan, bisa di tebak bahwa album ini berisi berbagai variasi musik yang menarik. “Knotty Pine” oleh Dirty Projectors dan David Byrne membuka album ini dengan lagu yang sangat kuat dengan unsur pop dalam ritme gitar akustik, Feist dan Ben Gibbard meng-cover lagu Vashti Bunyan yang sedih bernama “Train Song,” dan Sharon Jones & The Dap Kings membawa lagu soul-funk dengan nuansa swing yang kuat di “Inspiration Information” yang dipopulerkan oleh Shuggie Otis. Sering kali, ketika mendengarkan suatu kompilasi pendengar akan cenderung bergravitasi terhadap beberapa lagu karena perbedaan bunyi antara karya terlalu jauh, tetapi pada kompilasi Dark Was the Night terdengar seragam secara produksi. Membuat album ini layak didengarkan sebagai satu album penuh, bukan sekedar kumpulan single.
Video klip hitam putih untuk lagu “Helicopter” oleh Deerhunter, single yang menawan dari album Halcyon Digest.
Halcyon Digest (2010)
Deerhunter
Deerhunter selalu berhasil menawarkan musik yang kuat dalam penulisan lagu, membawa suasana mengambang, sekaligus berexperimentasi dalam hal produksi. Dari Turn It Up Faggot, Microcastle sampai Monomania, setiap album Deerhunter memiliki palet yang selalu berbeda. Pada Halcyon Digest, band dari Atlanta ini memakai produksi yang sangat bersih (setidaknya hingga saat ini) dan paling cerah untuk musik mereka yang terdengar pengaruh dari rock, pop 50-60an, dan juga musik dari tahun 90an. Pilihan melodi vokal dari Bradford Cox selalu menarik dan terdengar sebagai driving force banyak lagu di album ini (gitaris Lockett Pundt juga berkontribusi vokal di dua lagu). Pada sebuah interview dengan Q Magazine, Bradford Cox berkata bahwa pemakaian kata Halcyon di nama albumnya berhubungan dengan bagaimana orang meromantisir masa lalu, termasuk yang buruk. Sebuah hal yang terasa dalam tema musik mereka yang kental dengan nuansa eksistensial, dimana terdengar cukup jelas unsur romantisme dalam pengolahan produksinya.
Salah satu lagu yang sangat terkenal dari album Pixies Surfer Rosa, “Where is My Mind.”
Surfer Rosa (1988)
Pixies
Rilisan pertama Pixies adalah sebuah album yang tidak memerlukan sebuah perkenalan. Surfer Rosa adalah karya yang menjadi inspirasi banyak musisi termasuk Kurt Cobain dan Billy Corgan. Tidak mengaggetkan bahwa album ini kemudian masuk ke dalam berbagai daftar album terbaik sepanjang masa. Dengan musik rock yang penuh dengan distorsi, riff-riff yang berkesan, serta vokal yang ‘catchy,’ Pixies berhasil bermain dengan kombinasi penuhnya suara dengan kesunyian, menyatukan dua elemen yang sering kali di dibandingkan, menjadi sebuah komposisi yang sepenuhnya padu. Pada energi dan distorsi Surfer Rosa, terdapat album solid berisi komposisi lagu yang ketat, dan harmoni-harmoni serta melodi-melodi yang menawan. Ini adalah album yang wajib menjadi koleksi.
Lagu “In the Flat Field” dari album yang berjudul sama oleh Bauhaus.
In the Flat Field (1980)
Bauhaus
Ada dimensi yang berbeda dari bagaimana Bauhaus memaknai genre post punk. Alih-alih terjebak pada pola post-punk yang cukup membosankan bila tidak dipahami dengan benar, Bauhaus justru memberikan esensi baru bagi genre ini. Pada album pertama mereka ini, mereka mengajak pendengar untuk menjelajahi area-area baru yang masih jarang dikunjungi. Eksplorasi dilakukan dengan maksimal, berbagai pendekatan dicampurkan, sisi abrasif musik punk diambil, digabungkan dengan aura flamboyan glam rock, menghasilkan sensasi bengis yang nyata seiring bisik, teriakan dan desis dari vokalis Peter Murphy. Pada masanya, album ini tidak diterima terlalu baik karena dirasa terlalu maju dari zamannya. Tapi tak lama setelah itu, nama Bauhaus kemudian dikenal sebagai pencetus konsep musik gothic rock yang lalu menjadi inspirasi bagi musisi dari bermacam genre.