Terselip sebuah makna yang cukup menarik dari pemilihan judul pameran pertama dari seri Dialogue Playground, “Pong Pong Balong”. Diambil dari sebuah permainan tradisional lokal, “Pong Pong Balong” pada dasarnya adalah hand game sederhana yang dimainkan dengan bernyanyi bersama. Permainan ini bisa dimainkan dimanapun, tanpa butuh peralatan tertentu, hanya perlu tangan, nyanyian dan semangat kebersamaan untuk bisa menikmatinya. Tak ada pemenang, dan tak ada pesakitan. Namun justru disitulah keistimewaan dari permainan ini tersembunyi.
Ada nilai luhur yang terendap dibalik kesederhanaan permainan ini. Selain tentang kesederhanaan, “Pong Pong Balong” juga mengajarkan tentang iba dan tenggang rasa dan utamanya tentang kebersamaan. Dimana setiap pemain harus saling berempati dengan pemain lain dalam menjalankan skenario permainan yang tak kompetitif ini. Pola interaksi antar pemain yang cukup intens juga memberikan kesadaran akan liyan pada anak-anak yang memainkannya.
Filosofi ini tertranslasikan dengan jangkap pada pameran yang digelar di Dia.lo.gue Artspace Kemang Selatan 99a, Jakarta Selatan. Berlangsung dari tanggal 21 Februari hingga 13 Maret 2016, pameran ini mengundang sejumlah seniman untuk menciptakan karya bersama keluarga mereka masing-masing. Setiap seniman yang diundang ditantang untuk merefleksikan interaksi antara ayah-ibu-anak dan juga sebaliknya, menjadi sebuah karya seni yang kemudian dipamerkan ke khalayak umum. Menghasilkan sebuah format pameran yang tak biasa, baik bagi publik, juga bagi para seniman sendiri.
Sebagai sebuah pameran, filosofi permainan Pong Pong Balong menyentuh dan tertranslasi pada dua dimensi: keluarga dan seni. Dalam konteks seni, pameran ini seperti memantapkan gema konsep karya seni interaktif yang sedang berada sorotan utama beberapa tahun terakhir. Yang sedikit berbeda, interaktivitas pada pameran ini tak hanya muncul pada output karya, tetapi juga ketika proses pengerjaannya. Hubungan anak-orang tua menjadi fondasi bagi setiap komposisi karya. Dari proses yang demikian kemudian terlahir karya-karya yang menggelitik, naif, bahkan tak jarang polos.
Kepolosan ini bisa dilihat pada rajutan benang pada karya Sanchia Hamidjaja, Ardi Gunawan dan Rei yang berjudul “cat! cat!”. Dipajang layaknya bendera pesta ulang tahun, karya keluarga ini menyalin coretan Rei menjadi sulaman berbentuk hewan berwarna-warni. Pada karya Anggun dan Damien Priambodo yang berjudul, “artistiknya para perasa” yang berbentuk art performance, Anggun dan Damien Priambodo menyuguhkan demo memasak puding pepaya yang bisa diikuti pengunjung pameran, dengan hasil akhir berupa puding yang disajikan sebagai konsumsi bagi semua. Dibalik keluguan karya Anggun dan Damien ini, tersirat semangat dekonstruksi konsep seni dan eksibisi klasik, yang biasanya hanya menerima karya yang sifatnya statik.
Interaktivitas juga terasa nyata pada karya Max & Odetta Suriaganda. Menampilkan instalasi galvalum berbentuk prisma setinggi kurang lebih dua meter, Max dan Odetta mengajak pengunjung pameran untuk bermain-main dengan plat magnet aneka bentuk yang bisa dilepas-pasang. Berperan sebagai invitasi bagi pengunjung untuk bermain dan menciptakan semesta mereka sendiri pada tiga sisi galvalum. Tak bagi anak-anak semata, juga bagi semua pengunjung yang ingin sejenak lepas dari rutinitas harian mereka. Sebuah terjemah yang akurat untuk tema playground yang diangkat oleh Dialogue.
Pengalaman yang kurang lebih sama juga bisa ditemukan pada karya Ahmad Djuhara dan keluarga. Memanfaatkan satu ruangan kecil di galeri, Ahmad Djuhara dan keluarga menciptakan sebuah labirin plywood, seperti sejenak melenakan ilmu arsitektur dan menukarnya dengan semangat kekanakan yang telah lama terpinggirkan.
Dalam konteksnya sebagai pameran yang melibatkan relasi antara orang tua dengan anaknya, Pong Pong Balong juga cukup berhasil dalam mendedah isu-isu tentang keluarga. Karya Leonard Theosabrata misalnya, berjudul “a family video”, instalasi video ini menangkap sebuah fenomena penting yang kini sering terabaikan pada keluarga modern: tentang interaksi itu sendiri. Melalui videonya yang merekam kegiatan anggota keluarganya, Leo mengangkat kembali esensi perbincangan sederhana antara ayah dan anak yang semakin terpinggirkan dari aktivitas sehari-hari.
Diantara semua karya, ada dua yang menawarkan kedalaman narasi pada level berikutnya. Yang pertama adalah “fahrad und sajadah” milik Tisna & Zico Sanjaya. Berwujud instalasi sepeda bekas yang dibingkai pada multiplex tiga dimensi, pengunjung diajak untuk menghidupkan kembali cerita ayah-anak yang terjalin antara Tisna Sanjaya dan Zico semasa mereka menghabiskan waktu di sebuah kota di Eropa di atas sadel dan sajadah yang tergantung di bodi sepeda. Pula pada “jari jari jambu” karya Nindityo & Mella Jaarsma, pengunjung seolah diberi kunci pagar belakang rumah mereka untuk melihat apa saja yang terjadi pada keluarga Nindityo, Mella dan anak-anak mereka seiring dengan hadirnya bongkah kayu jambu yang didatangkan langsung dari kebun keluarga mereka. Nukilan cerita yang juga ditampilan pada karya Nindit dan Mella semakin menguatkan nuansa yang dibangun oleh karya mereka.
Pada level tertentu, Pong Pong Balong cukup berhasil dalam menjalankan fungsi lebih dari sekedar apa yang mereka jadikan visi dari pameran ini. Bukan hanya tentang menghadirkan eksibisi seni yang ramah dan melibatkan anak-anak, nyatanya, hampir semua seniman di Pong Pong Balong mampu mengangkat gagasan masing-masing sambil menawarkan angle baru terhadap seni dan bahasan keluarga itu sendiri.
Dia.Lo.Gue Playground
Pong Pong Balong
On display 21 Feb – 13 Maret 2016
at Dia.Lo.Gue Artspace
Jl. Kemang Sel. No.99A
Mampang Prapatan
Jakarta Selatan