Sebuah quote dari Karl Marx menjadi penyambut pada katalog pameran Out of Joint, “Everything seems to be pregnant with its contrary.” Rujukan ini cukup menarik, karena statement dari Karl Marx tersebut menyoroti pola industrialisasi yang semakin melenakan aspek humanis dari setiap produk yang dihasilkan, termasuk salah satunya pada hasil karya seni. Konteks ini berjalan selaras dengan spirit pameran ini, mengundang sebuah kolektif screenprinting untuk memamerkan karya dari individu-individu di dalamnya. Seolah mengangkat respons atas semakin lekatnya pola hidup digital pada aktivitas masyarakat (mungkin, ini juga bisa diposisikan sebagai tentang bagaimana semakin banyaknya kios digital printing di jalanan perkotaan), pula tentang kejujuran pada proses berkarya yang sebenarnya bisa dibilang cukup usang di generasi Z ini.
Yang diundang adalah Krack Studio, sebuah kolektif seni yang berfokus pada teknik screenprinting dalam aktivitas karyanya. Sebuah teknik klasik dalam produksi dan reproduksi karya, merupakan salah satu bentuk awal teknik cetak. Yang cukup spesial adalah kali ini, sang seniman datang dan berkarya atas nama perorangan, bukan atas nama kolektif. Sebuah hal baru bagi tiga kepala yang biasanya bekerja di bawah naungan identitas kolektif Krack Studio. Malcolm Smith, Prihatmoko Moki dan Rudi Hermawan diajak untuk menampilkan karya sekaligus gagasan mereka masing-masing dalam koridor screenprinting sebagai identitas utama dari pameran ini.
Dari karya tiga seniman tersebut, ada tensi yang cukup menggelitik dari karya Malcolm dan Rudi. Lima seri karya Malcolm yang berjudul Transformer, memajang enam bingkai besar bergambar geometrika mesin-mesin besar nan megah yang disandingkan dengan montase lengan-lengan tanpa nyawa. Kesan dingin semakin terasa dengan tampilan warnanya yang nyaris monokrom. Karya ini cukup kontras dengan printing Rudi Hermawan yang lebih hidup dalam hal warna. Manusia yang digambarkan seutuhnya dan sedang bergelut dengan aktivitas dan profesi masing-masing oleh Rudi seperti meminjam kisah dan keluh keseharian untuk memberi nyawa pada karyanya.
Tarik-menarik terjadi pada bagaimana dua seniman ini saling menciptakan kontradiksi satu sama lain. Garis Malcolm yang lebih absolut berhadap-hadapan dengan goresan ilustratif Rudi yang lebih lentur, juga pada bagaimana karya mereka mengambil sudut yang berbeda dalam memaknai tema pameran.
Garis tengah ada pada karya Prihatmoko Moki yang menjembatani tensi tadi. Hitam putih warna di karya Moki hidup melalui penokohan yang kuat pada seri lukisannya. Menampilkan kisah pencurian lukisan koleksi Soekarno, Moki membangkitkan sosok-sosok dari salah satu lukisan yang hilang sebagai pemeran utama pada kisah yang ia ceritakan ini. Disini, Soekarno diposisikan sebagai kolektor seni, alih-alih sebagai pemimpin bangsa yang kehilangan lukisan yang ia banggakan. Sebuah potret sekaligus kritik pada budaya seni dan koleksi di negeri ini. Nyinyirnya juga semakin terasa dengan instalasi tambahan berupa karung berisi lukisan palsu yang diletakkan di beberapa sudut ruangan.
Terlepas dari makna dan pesan yang diangkat oleh setiap seniman, keseluruhan karya yang ditampilkan pada pameran ini menunjukkan dinamika yang ada, tumbuh dan menghidupi sebuah kolektif seni. Tentang bagaimana karakter individu yang ada mewarnai hadirnya tensi dan harmoni di dalam tubuh unit kreatif ini. Bahwa hal tersebut mampu melahirkan jiwa baru di dalamnya. Tak perlu disamakan, tak harus diseragamkan. Dibungkus dalam sebuah teknik berkarya yang meski usang, namun justru bisa memberi nyawa pada setiap karya yang dihasilkan, merupakan jawaban pasti pada kritik Marx tentang semakin hilangnya rasa manusiawi di tengah modernisasi. Dan, dengan semua cerita di dalamnya, Out of Joint adalah sebuah pameran yang menarik untuk dikunjungi.
—
Out of Joint
A Krack Studio Exhibition
curated by Roy Voragen
artists:
Malcolm Smith, Prihatmoko Moki, Rudi Hermawan
exhibition period:
16.03 – 10.04.2016
dia.lo.gue. artspace
jl kemang selatan 99a
jakarta 12730