Di antara banyak sudut pandang yang dipakai para panelis Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) kali ini, adalah cinta yang paling menarik perhatian. Ia, salah satunya hidup dalam tutur dan pikir Nusrat Durrani, General Manager MTV yang lewat panel “Love in a Time of Hate,” tak hanya membeberkan manisnya cinta yang mampu melahirkan harapan, tapi juga mengungkapkan sisi tergelap cinta yang muncul dari persepsi tak utuh media terhadapnya. Walau terdengar klise, jika melihat kembali tema yang diangkat UWRF tahun ini, yakni “Origins,” rasanya tepat untuk merayakan cinta agar kita melihat secercah harapan akan dunia yang lebih baik.
Jika sebelumnya “Tat Tvam Asi” diangkat menjadi tema festival sebagai perayaan atas keberagaman, kali ini UWRF merayakan gelaran ke-14 kalinya dengan tema “Origins”. Tema ini diangkat untuk mengajak seluruh pembaca maupun penulis dari seluruh dunia untuk berdiskusi serta berintrospeksi atas carut-marut yang terjadi setahun belakangan ini. Beberapa diskusi pun digelar guna mengupas isu terkini dan isu yang tak pernah usang untuk dibahas, mulai dari peran media sosial terhadap peredaran berita, hingga konstruksi geopolitik ASEAN serta pengaruhnya bagi produktivitas penulis di dalamnya.
Pemilihan panelis dan moderator menjadi penanda kesuksesan tiap diskusi yang dirancang secara matang oleh para kurator acara, Seno Gumira Ajidarma, Leila S. Chudori dan Warih Wisatsana. Kualitasnya bisa dilihat pada antusiasme pengunjung yang datang berturut-turut selama 5 hari dari pagi hingga matahari terbenam di mana interaksi yang tercipta mampu menimbulkan obrolan hangat di dalam dan luar ruang diskusi. Seperti yang terjadi pada panel “Where We Get Our News” yang mengajak 3 orang jurnalis internasional yakni Step Vaessen dari Al Jazeera, Nisid Hajari dari Bloomberg dan Ian Neubauer jurnalis lepas yang telah berkontribusi dalam beberapa media, salah satunya Time untuk berdiskusi. Topik yang dibahas sangat menarik, yakni bagaimana media sosial saat ini memperkeruh berita yang beredar dan membuat publik tidak bisa membedakan mana fakta atau ‘fake news’ dan menemukan asal usul berita yang beredar. Janet Steele seorang profesor jurnalisme dari George Washington University selaku moderator membuka diskusi dengan bertanya jurnalisme seperti apa yang ideal menurut para panelis.
Setelah melewati perdebatan singkat terkait bagaimana publik memilah berita dan mendapati fakta layaknya jarum di antara jerami, sebuah kesimpulan muncul, yakni peran media sebagai entitas. Jurnalisme tidak akan pernah berubah, tapi medium untuk menyebarkannya akan progresif dan para jurnalis perlu menyesuaikan diri untuk mengolah fakta tentang beragam fenomena agar bisa dikonsumsi oleh publik dari segala umur. Namun terdapat ketidakutuhan dalam panel ini, yakni posisi media modern atau kontemporer yang tidak terwakili. Mereka yang mengoptimalisasi media sosial sebagai medium penyebaran berita dan menggunakan format konten menarik bagi pembaca muda. Terdapat sebuah konsensus dari panelis bahwa jurnalisme adalah berita yang mereka buat dengan riset mendalam dan melewati rentetan saringan dari berbagai pihak sebelum dirilis dalam situs. Sangat disayangkan bahwa media kontemporer tidak diperhitungkan dan isu yang dibahas media tersebut dipandang sebelah mata karena dianggap melawan tradisi jurnalisme.
Beralih ke topik menarik selanjutnya, Sutardji Calzoum Bachri hadir untuk mengupas asal usul kata. Adanya language barrier antara sang penyair dan hadirin yang mayoritas warga negara asing tidak menghalangi penjelasan beliau dalam memaparkan bagaimana kata memiliki independensi dan bisa memiliki makna baru jika direpetisi. Lewat sesi ini, sebuah tradisi terbukti bisa dipatahkan lewat eksplorasi, seperti yang dilakukan Sutardji sejak dulu, yakni mengesampingkan pemahaman; dalam hal ini adalah makna kata, yang diterima dari sekolah dan melihatnya melebihi konsep yang diciptakan. Berpedoman dari kepercayaannya, Sutardji tidak hanya menciptakan warna baru salam dunia literatur Indonesia, namun mewakili Indonesia di kancah internasional dengan kemampuannya menciptakan makna baru dalam kata, layaknya Gertrude Stein dan potongan puisinya yang berbunyi, “Rose is a rose is a rose is a rose.”
Jika itu belum menggelitik nalar, ASEAN yang menginjak umur 50 tahun pada 2017, menjadi topik unik dalam panel “Half A Century of ASEAN.” Lewat mengaitkannya dengan dunia literatur, konstruksi geopolitik ini memiliki peran penting bagi para penulis yang terlahir atau memiliki kewarganegaraan atas negara-negara yang tergabung dalam ASEAN. Intan Paramaditha selaku moderator mengemas diskusi antara Bernice Chauly dari Malaysia, Leila S. Chudori dari Indonesia, Jhoanna Lynn B. Cruz dari Filipina dan Marc Nair dari Singapura dengan apik. Bicara tentang literatur di ASEAN dengan mereka, telah menyingkap problema yang terjadi dan terus meradang di dalamnya, yakni bahasa.
Walau negara yang tergabung dalam kesatuan ini memiliki kemiripan dalam budaya, sejarah, makanan hingga ciri fisik, namun bahasa menjadi kendala utama dalam perkembangan dunia literatur ASEAN berkat banyaknya bahasa daerah dan dialek dari tiap negaranya. Berdasarkan hal tersebut, tidak jarang para penulis memilih untuk mengungkapkan ide dalam bahasa Inggris; seperti mereka, agar bisa menyampaikan kritik secara aman. Adapun topik yang sering muncul dalam karya penulis ASEAN adalah sejarah, kebebasan berbicara dan sosio-politik dikarenakan adanya kesamaan amnesia akan masa lalu yang dibiarkan pemerintah karena dipercaya tidak ingin menyelesaikan kepelikan sejarah.
Kesulitan yang dialami kebanyakan negara ASEAN pun sama, yaitu minimnya dukungan pemerintah terhadap karya yang diciptakan dikarenakan topik bahasan. Chauly pun mengamini bahwa di festival literatur yang digawanginya, George Town Literary Festival, justru dibiayai oleh pihak oposisi. Sangat disayangkan melihat asal usul keberagaman ASEAN justru menjadi penghalang perkembangan dunia literaturnya baik di dalam lingkup domestik hingga internasional. Namun dengan minimnya paparan dunia terhadap literatur ASEAN, menjadikan penulis yang tergabung dalam gugusan ini memiliki semangat kolaborasi dalam berkarya berdasarkan asal usul sejarah serta rasa senasib sepenanggungan.
Terdapat kesenjangan yang memang tidak bisa luput dari hiruk pikuk di berbagai belahan dunia, baik sejarah atau aksi dan reaksi yang terjadi atas sisa-sisa memori. Namun ketika kondisi tersebut semakin buruk, optimis adalah satu-satunya harapan, seperti yang dilakukan oleh Durrani yang berani mengungkapkan konsep cinta dan companionship di luar konsep media. Inisiatifnya tidak hanya menginspirasi banyak orang; bukan hanya mereka yang inferior, untuk mempercayai empati sebagai esensi penting yang perlu dipelihara guna membuat situasi chaos yang terjadi di sekitar kita menjadi lebih baik dan untuk memperkaya perspektif manusia akan kasih sayang.
Terlepas dari pesan yang tersirat dari tiap akhir sesi, UWRF kembali menggugah pengunjungnya untuk mengolah rasa di tengah kericuhan yang terjadi lewat ragam perspektif dan pengalaman panelisnya. Harapan dan padatnya referensi menjadi bekal utama dari festival ini untuk menggelar episode selanjutnya dengan tema baru yang mampu mengusik pembaca dan penulis.