Lebih dari satu dekade lalu, Ewa Wojkowska, Co-Founder Kopernik, berjalan menyusuri Oekusi, sebuah daerah terpencil di Timor-Leste. Tanpa akses listrik yang memadai, Oekusi adalah daerah yang sepi, minim cahaya dan gelap gulita di malam hari. Mayoritas warga Oekusi masih menggunakan lampu minyak tanah untuk penerangan. Dengan pendapatan kurang dari $1,90 dolar per-hari (di bawah standar garis kemiskinan internasional menurut World Bank, 2015), dan dengan segala keterbatasan, mereka memilih untuk menghabiskan apa yang mereka punya demi menyalakan lampu minyak tanah untuk kebutuhan sehari-hari. Umumnya mereka bergantung kepada minyak tanah dan lilin untuk penerangan – sebuah pilihan yang mahal, berbahaya, dan merupakan salah satu penyebab masalah pernafasan. Kegiatan di malam hari menjadi terbatas. Anak-anak seringkali tidak bisa belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah dalam cahaya yang redup.
Pengalaman di Timor-Leste tersebut masih segar di ingatan Ewa, yang pada saat itu sedang bekerja untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bersama dengan suaminya, Toshi Nakamura. Sejak saat itu, Ewa dan Toshi bertekad untuk membangun suatu model inovasi baru untuk mengurangi tingkat kemiskinan di daerah-daerah terpencil, yang kemudian disebut sebagai daerah “last mile” oleh Kopernik.
Tahun 2009 adalah tahun yang besar bagi pasangan suami-istri ini, dimana mereka meninggalkan karir yang sudah mereka rintis selama satu dekade di PBB, untuk mendirikan Kopernik di Ubud, Bali. Ditanya mengenai alasan memilih untuk berbasis di Bali, Ewa menjawab “Karena berbasis di Bali, kami mampu menarik banyak sumber daya yang berkualitas tinggi. Karena banyak pekerjaan kami yang berfokus di daerah Indonesia Timur, Bali adalah pusat kegiatan sehingga kami dapat mengakses daerah-daerah terpencil dengan lebih mudah. Selain itu, Bali adalah tempat yang indah, tenang, dan sangat bagus untuk tempat tinggal,”. Indonesia adalah tempat yang spesial bagi Ewa dan Toshi. Indonesia secara keseluruhan mempunyai sumber daya manusia, infrastruktur, dan tingkat ekonomi yang memadai dengan pendapatan rata-rata menengah ke bawah, dimana masih banyak tempat-tempat yang tertinggal secara signifikan dalam hal akses terhadap air, sanitasi, kesehatan, pendidikan, dan pertanian.
Ewa dan Toshi melihat bahwa berbagai permasalahan kemiskinan masyarakat di daerah-daerah terpencil di dunia seharusnya dapat ditanggulangi dengan mudah jika kita bisa menjangkau mereka dengan tepat. Misalnya, dengan mengetahui bahwa tantangan-tantangan yang umum dihadapi oleh banyak negara berkembang adalah kurangnya air minum yang aman dan bersih, serta kurangnya pasokan listrik. Masalah tersebut bisa diselesaikan dengan menghubungkan berbagai macam teknologi sederhana yang dapat membantu meningkatkan kualitas hidup. Kopernik percaya bahwa permasalahan kemiskinan dapat diselesaikan dengan tersedianya teknologi-teknologi sederhana, yang hemat energi dan mempunyai dampak signifikan bagi yang membutuhkan. Saat ini, temuan-temuan teknologi yang telah didistribusikan oleh Kopernik mencakup berbagai teknologi yang menopang kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup sehari-hari, seperti lampu tenaga surya, penyaring air tanpa listrik, dan kompor biomassa.
“Ketika kami mendirikan Kopernik, kami sangat antusias dan bersemangat untuk mengembangkan berbagai teknologi yang memiliki potensi untuk benar-benar meningkatkan kehidupan masyarakat. Namun, kami menyadari bahwa teknologi-teknologi tersebut, jika tidak benar-benar mencapai mereka yang benar-benar membutuhkannya, tidak akan memiliki dampak apapun. Tanpa mekanisme distribusi yang efektif, teknologi tidak akan menjangkau masyarakat yang membutuhkan, seperti yang kami harapkan”, kata Ewa.
Di beberapa daerah terpencil di Indonesia, seperti Lombok Timur dan beberapa pulau-pulau kecil di daerah Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), akses air bersih masih sangat terbatas. Selain harganya mahal, distribusinya pun tidak merata. Air minum kemasan yang dijual di pasaran juga tidak ekonomis, sehingga tidak jarang masyarakat hanya dapat minum dua atau tiga gelas per hari. Mereka juga terbiasa minum dari air hujan, dan yang mengejutkan adalah, banyak dari mereka yang bahkan tidak memasak airnya terlebih dahulu. Selain itu sebenarnya, memasak air pun hanya akan membunuh sebagian kuman penyakit, padahal bahan bakar yang dibutuhkan tidak sedikit dan mahal. Karena masalah tersebut, Kopernik menyalurkan penyaring air tanpa listrik kepada masyarakat dan keluarga-keluarga yang membutuhkannya. Penyaring air ini termasuk produk yang paling banyak diminati masyarakat.
Berbagai teknologi tepat guna tersebut didistribusikan melalui mitra lokal (local partner), yaitu lembaga swadaya masyarakat yang beroperasi di daerah-daerah dimana Kopernik mengimplementasikan proyek mereka. Selain melalui mitra lokal, Kopernik juga mendistribusikan teknologinya melalui program ‘Wonder Women Initiative’ atau Inisiatif Ibu Inspirasi Indonesia. Sejak tahun 2011, Kopernik melibatkan perempuan dari penjuru daerah di Indonesia untuk menyalurkan teknologi tepat guna ke wilayah mereka. Sebagai agen teknologi, atau Kopernik menyebut mereka sebagai ‘Ibu Inspirasi’, para perempuan yang bergabung dengan inisiatif Ibu Inspirasi menerima berbagai pelatihan kewirausahaan dari Kopernik, dari pengetahuan tentang teknologi, penjualan dan pemasaran, public speaking, motivasi usaha, dan juga pembukuan. Di masyarakat terpencil, masih sedikit perempuan yang bisa mendapatkan keterampilan seperti ini. Dan ini tentu membangkitkan rasa percaya diri mereka.
Para Ibu Inspirasi ini mendapatkan teknologi-teknologi melalui sistem konsinyasi (menitipkan produk dengan sistem bagi hasil) dan mereka akan mendapatkan komisi dari setiap penjualan. Uang yang dihasilkan dari produk yang sudah terjual akan diinvestasikan kembali oleh Kopernik dalam bentuk teknologi untuk membantu lebih banyak orang. Dengan model ekonomi yang berkelanjutan seperti ini, Kopernik membantu meningkatkan pendapatan Ibu Inspirasi untuk membantu diri mereka sendiri dan keluarganya. Sehingga Ibu Inspirasi secara perlahan akan menjadi perempuan yang berdaya dan mandiri secara finansial. “Kami menyebut mereka sebagai ‘Ibu Inspirasi’ atau ‘Wonder Women’ dalam Bahasa Inggris karena pada faktanya, para perempuan ini menjadi pahlawan di tempat mereka tinggal. Mereka membantu menyediakan akses kepada teknologi kepada tetangga, teman, dan kerabat mereka. Mereka membantu kami untuk mengubah hidup orang banyak dan itu membuat mereka sebagai perempuan yang menginspirasi,” kata Ewa.
Satu cerita inspiratif datang dari Rovina Surat, seorang ‘Ibu Inspirasi’ berusia 34 tahun di Desa Beutaran, Pulau Lembata di Flores Timur. Kerap dipanggil ‘Mama Rovina’, ia adalah seorang janda yang menafkahi kedua putrinya seorang diri dan memiliki motivasi untuk membangun rumah untuk dirinya dan anak-anaknya. Sejak bergabung dengan Kopernik di tahun 2014, Mama Rovina sekarang berhasil membangun rumahnya sendiri di atas bukit di Pulau Lembata. Dari hanya menabung uangnya di kotak sabun yang dikubur di belakang rumah, kini ia menjadi perempuan yang mempunyai keterampilan mengatur keuangan.
Program Ibu Inspirasi Kopernik telah diakui secara global. Setelah dianugerahi penghargaan Momentum for Change oleh UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) di Lima, Peru tahun 2014 lalu, Kopernik baru-baru ini mendapatkan penghargaan IIX-N-Peace Innovation Challenge, sebuah inisiatif bersama oleh Impact Investment Exchange Asia (IIX Asia) dan UNDP (United Nations Development Programme) di New York.
Lalu, apa selanjutnya untuk Kopernik? Melihat ke depan, Kopernik berencana untuk memperluas program Ibu Inspirasi ke 10 provinsi di Indonesia dan bertujuan untuk memberdayakan 500 perempuan dengan target distribusi teknologi sebanyak 56,000 sampai tahun 2017. “Perempuan akan terus menjadi prioritas kami,” kata Ewa. “Energi merupakan ranah kegiatan perempuan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Penggunaan teknologi-teknologi tepat guna ini bergantung kepada para perempuan di rumah tangga, maka dari itu, kami menargetkan perempuan sebagai promotor dan agen perubahan.”
Kopernik HQ/Tech Kiosk Ubud
Jl. Raya Pengosekan, Ubud, Kab. Gianyar, Bali 80571
Tech Kiosk atau ‘warung teknologi’ (wartek) adalah warung teknologi yang pertama di Indonesia. Berlokasi di Ubud, Bali, Tech Kiosk menjual berbagai macam lampu tenaga surya, kompor ramah lingkungan, saringan air dan berbagai macam teknologi praktis, hemat energi, dan ramah lingkungan yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan sehari-hari masyarakat Indonesia.