Gerakan feminisme dan kesetaraan gender bukanlah barang baru. Selama kurun waktu yang panjang, gaung kesetaraan digagas oleh banyak perempuan di seluruh dunia. Mereka menyuarakan nada yang sama, meminta tempat yang pantas dan ruang yang adil dan setara. Perempuan baru mendapat hak suara dalam pemilihan umum di seluruh dunia pada awal abad 20. Belum lagi ketidaksetaraan hukum dan norma yang mengharuskan wanita melakukan ini dan itu. Di wilayah konstitusi yang menegakkan hukum agama misalnya, wanita masih diharuskan memakai kerudung atau atribut lain yang mengikat dan mereka tidak memiliki pilihan.
Belum luntur ingatan di kepala kita mengenai pembubaran paksa acara Lady Fast di Yogyakarta bulan April tahun lalu. Acara yang digagas untuk membuka ruang diskursus tentang perempuan ini dibubarkan paksa oleh beberapa organisasi masyarakat dan warga sekitar karena dituding bermuatan negatif, di antaranya memberi ruang gerakan LGBT yang masih tabu di Indonesia, dan tuduhan asal-asalan, penyebaran ajaran komunis. Tudingan negatif tersebut masih mencerminkan pemahaman sebagian masyarakat yang belum terbuka dengan gerakan progresif.
Setahun kemudian, layaknya api dalam sekam, Lady Fast kembali lagi dalam jumlah dan semangat yang berkali lipat. Tahun ini mereka kembali menggelar Lady Fast yang diselenggarakan tanggal 29-30 April, bertempat di Spasial, Bandung. Mereka mengajak pengunjung acara untuk berpartisipasi pada lokakarya membuat jamu, yoga, atau berdiskusi dengan tema ‘Relasi Sehat, Tubuhku Otoritasku’ dan ‘Maskulinitas’.
Adalah Kolektif Betina, kolektif penggagas Lady Fast yang dengan semangat ksatria menggelar berbagai aksi untuk memperjuangkan hak semua manusia, apapun jenis kelaminnya. Dianggotai oleh perempuan yang tersebar di 9 kota di Indonesia yang terbagi dari berbagai latar belakang, mereka bersatu dalam ide-ide tentang kesetaraan. Berangkat dari jaringan perkenalan dalam sebuah grup aplikasi pengantar pesan, mereka berkembang menjadi badan otonom yang berusaha produktif menggelar berbagai acara.
“Kolektif Betina bukan kelompok feminis. Kalau sekumpulan perempuan yang menunjukkan kepeduliannya kepada perempuan lain itu adalah feminis, silahkan saja. Tapi bagi kami sendiri, feminis bukan feminis, yang penting perlakuannya kepada teman di dalam kolektif senantiasa tulus manis”. Bagi mereka, Kolektif Betina bukanlah suatu gerakan feminis. Kelompok ini diinisiasi sebagai ruang dan salah satu usahanya adalah untuk menunjukkan kepeduliannya kepada perempuan lain. Sederhananya, Kolektif Betina adalah supporting system yang menunjang tumbuh dan kembang setiap anggotanya. Mereka berusaha memenuhi kebutuhan akan ruang yang nyaman dan aman untuk bisa berbagi masalah dan saling mendukung satu sama lain.
Anggota Kolektif Betina yang berangkat dari latar belakang daerah yang berbeda membuat beberapa anggotanya juga menelurkan ruang lain di masing-masing daerah. Salah satunya adalah Metamorphoo, kolektif perempuan yang berbasis di kota Palembang yang anggotanya berasal dari latar belakang bermacam seperti seniman, penulis, pekerja biasa, atau ibu rumah tangga. Mereka menyediakan ruang belajar dan mengolah kemampuan seperti menjahit, menyulam, crafting dan membuka partisipan lebih luas dengan mengundang masyarakat lain untuk ikutserta. Bagi mereka, menyediakan ruang tersebut di kota sendiri seperti membuat rumah lain yang dapat menjadi ruang nyaman bagi banyak perempuan di kota lain.
Kolektif Betina dan anggotanya dengan cermat menggunakan kesenian sebagai medium yang cair untuk menyampaikan pesan. Beberapa dari mereka membuat kerajinan atau crafting yang secara tradisional biasa dikerjakan oleh kaum perempuan. Mereka memberdayakan kemampuan kerajinan anggotanya serta membuka peluang kolaboratif dan tumbuh-kembang bersama. Kartika Jahja dalam proyek bermusiknya pernah menelurkan satu lagu yang dengan lantang menyuarakan keperempuanan dalam ‘Tubuhku Otoritasku’ yang bercerita bahwa dalam keterasingan dan keterpisahan, perempuan memiliki hak yang ihwal atas tubuhnya sendiri.
Kolektif Betina adalah ruang terbuka yang tidak terlalu terbuka namun tidak terlalu tertutup. Bukan berarti mereka menutup kemungkinan anggota baru, sebagai kolektif yang bermula dari jaringan pertemanan, mereka berangkat sebagai ruang yang sangat terbuka bagi masyarakat umum untuk terlibat maupun menikmati ruang persaudarian yang mereka jalin. Di dalam Kolektif Betina tidak ada kantor pusat, ketua, atau wakil ketua. Menurut mereka, semua setara sebagai anggota, senada dengan apa yang mereka minta: kesetaraan.
Di ruang yang mereka ciptakan itu, tidak ada kompetisi. Semua anggota berkembang bersama dan ketika kembali pada ruang masing-masing mereka menyebarkan produktivitas dan semangat menjaga sesama. Perempuan dapat mengalami keterpisahan yang diperburuk oleh keseharian yang dapat merepresi mereka. Ruang persaudarian dibutuhkan untuk mengatasi itu. Mereka melestarikan ruang tersebut dengan menyediakan ruang-ruang lain serta mengolah medium kesenian yang cair untuk menyuarakan kesetaraan dan keterpaduan untuk banyak orang maupun sesama anggotanya.
Untuk lebih kenal dan akrab serta mengetahui informasi acara yang diselenggarakan dan digagas oleh Kolektif Betina, mereka dapat ditemui lewat halaman Facebook dan Instagram. Selain sebagai media publikasi, ruang tersebut juga terbuka selama 24 jam setiap hari sebagai media berbagi sesama perempuan.