Sebuah pertanyaan menggelayut dari pengalaman mengunjungi Jakarta Biennale 2015. Sejak dibuka pada 14 November 2015, di Gudang Sarinah, Jakarta Biennale yang tahun ini mengangkat tema mengenai perhatian pada lingkungan, terutamanya terhadap area kota melalui tagline “Maju Kena, Mundur Kena: Bertindak Sekarang” mengajak pengunjung pameran untuk melihat sekitar dan kemudian melakukan sesuatu terhadap apa yang mereka lihat.
Dari sekian karya yang dipajang, dikumpulkan oleh 7 kurator dari penjuru nusantara juga beberapa dari mancanegara, Jakarta Biennale menawarkan angle yang sedikit berbeda dari eksibisi seni kebanyakan. Karya-karya yang dipamerkan tampil dengan apa adanya, mentah, bahkan kasar di beberapa sudut gedung. Indah jelas bukan terminologi yang tepat untuk mendeskripsikan gelaran ke 16 Biennale Jakarta ini. Meski memang, arahan yang demikian merupakan cara dari Biennale dalam memainkan perannya sebagai sebuah eksibisi yang menampilkan fenomena terkini dari yang ada di seputar dunia kesenian.
Sebuah tanda tanya besar menggantung pada pertanyaan mengenai bagaimana kemudian posisi eksebisi seni yang demikian pada publik umum. Tentu, pameran ini sangat penting bagi perkembangan kesenian kontemporer lokal, dengan riset yang semakin sentral posisinya pada setiap karya seni, juga pada pembahasan mengenai masalah sosial yang lebih kentara. Pula bagi kalangan menengah ke atas, pameran ini bisa menyentil, sekaligus mengingatkan mengenai apa yang sebenarnya sedang terjadi pada lingkungan mereka dibalik tinggi tembok dan pagar rumah mereka. Namun, apa yang terjadi pada benak publik umum yang datang di pameran seni yang menampilkan seni instalasi tumpukan baju bekas, pulau sampah dengan bau yang masih tersisa, hingga plakat nama pinggiran jalan? Bagaimana khalayak ramai akan memaknai sebuah pameran seni yang memajang barang-barang yang mereka lihat pada keseharian dengan apa adanya?
Dalam sebuah sesi simposium yang menjadi salah satu acara rutin diantara pameran Jakarta Biennale, ada sebuah retorika penting yang dikemukakan oleh Melani Budianta, seorang akademisi sekaligus aktivis mengenai kajian budaya. Beliau menyatakan sebuah poin yang cukup menggelitik, dikutip dari catatan website Jakarta Biennale 2016, Melani berkata, “Seandainya apa yang kita lakukan di Jakarta Biennale 2015 ini merupakan cara untuk keluar dari sistem atau cara untuk mendobraknya, apakah secara tidak sadar kita tidak justru menerapkan sistem baru?”. Statemen Melani seperti merangkum sekaligus mempertebal pertanyaan mengenai apa dan bagaimana sebenarnya arah dari pameran ini.
Nyatanya, sepanjang jalannya pameran, karya-karya yang dipamerkan menemukan posisinya sendiri pada masyarakat. Alih-alih menjadi karya seni pajangan monumental yang berjarak dengan realitas, hampir setiap karya di Jakarta Biennale 2015 ini membaur dan menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Beberapa bahkan seolah bertransformasi menjadi entitas baru sebelum kemudian seperti menyatu dan menjelma sebagai bagian dari Kota Jakarta, entah itu berupa gangguan, gagasan, kesadaran, hingga titik temu tersendiri. Hal ini berlaku bukan hanya bagi penikmat seni, tetapi untuk segala macam pengunjung pameran.
Cemerlang gagasan Jakarta Biennale itu datang justru dari karya dengan tampilan paling banal. Pada nyinyir bau yang tersisa dari rangkaian sampah berbentuk bahtera, Tita Salina menusuk kesadaran akan salah satu masalah utama metropolitan yang sering terlupakan, pengolahan limbah. Bahtera sampah ini merupakan sebuah satire terhadap kebijakan pemerintah Jakarta yang lebih memilih untuk melakukan reklamasi pada pesisir utara kota daripada memperbaiki pola konsumsi dan produksi manusianya. Berjudul “1001 Pulau: Pulau yang Paling Lestari di Nusantara” satire pada karya Tita Salina tak hanya mengoyak batin penghuni kota, namun juga mengambang dan menghantui hingga sekian kilometer dari ruang pameran, karena sejatinya bahtera sampah yang ditampilkan di pameran ini hanya sebuah rekonstruksi dari karya sebenarnya dari Tita Salina yang kini mungkin sedang tersumpal di sudut pulau artifisial sana.
Hal seperti ini cukup banyak terjadi di Jakarta Biennale 2015, para seniman ditantang berkesenian di luar kenyamanan studio atau galeri untuk bertempur langsung demi membuat karya yang menjawab masalah atau setidaknya berdialog dengan masyarakat. Beberapa seniman dikirim ke berbagai sudut Jakarta, beberapa diantaranya adalah hadirnya karya m,ural Marishka Soekarna di Penjaringan, Jakarta Utara, Sanchia T. Hamidjaja di Petamburan Jakarta Pusat, Aprilia Apsari & Wonderyash, untuk Marunda Jakarta Utara. Walau tentu, eksistensi seniman di area publik ini bukan menjadi solusi pasti bagi permasalahan yang didera warganya, setidaknya dengan model seperti ini, seni kembali menjadi bagian dari lingkungan, dan tak lagi berjarak dari realita.
Meski mendominasi, masalah sosial tak melulu menjadi tampilan di Jakarta Biennale 2015. Ada sudut-sudut yang menawarkan perspektif personal. Ada narasi individual pada sederhana dan jujur goresan Bron Zaelani yang secara tidak langsung justru menjadi dokumentasi sebuah sub-kultur. Pada “Sugiharti Halim” dan “Silenced” Ariani Darmawan membawakan nuansa introspektif pada tampilan yang statis, namun memancing miris seiring durasinya.
Pada dinding bagian depan Gudang Sarinah yang kin berwarna merah jamu, ada visi yang terbentang pada deretan plakat nama jalanan yang dipajang oleh kolektif Jakarta Wasted Artist. Dikumpulkan dari toko/kios di seputaran kawasan Tebet, plakat nama kios diambil untuk kemudian ditukar dengan plang nama baru yang lebih rapi. Berjudul “Graphic Exchange”, karya ini tak hanya mendokumentasikan karya visual jalanan, tetapi juga berinteraksi dengan khalayak. Dan, interaksilah yang memberikan nafas bagi karya ini, ucapan dari pedagang/pemilik kios yang ikut ditampilkan di sekitar plang nama menghidupkan cerita lama dibalik setiap teks dan coretan setiap plang.
Interaktivitas mungkin yang adalah jembatan yang bisa membawa relevansi karya pada Jakarta Biennale dengan masyarakat umum. “Syntax System” karya Peter Robinson adalah konstruksi besar dari konsep ini. Memutus birokrasi antara seniman, karya, kurator, dan mengundang siapapun untuk merespons material yang di sebar begitu saja di lantai pameran Peter Robinson mengedepankan inisiatif pengunjung untuk merespon karyanya yang di pameran ini sifatnya hanya sebagai kanvas kosong dengan die cut felt sebagai kuas yang bagi pengunjung pameran. Waktu juga menjadi pihak yang diajak untuk berinteraksi oleh Jakarta Biennale 2015, coretan kapur yang semakin pudar pada “Libertate Freedom” karya Dan Perjovschi, dan miniatur kota yang runtuh di akhir masa pameran karya Dea Wijaya, memanfaatkan pergeseran kala untuk mengamplifikasi pesan karyanya.
Di luar segala misi besar dari para seniman, ada sedikit haru pada bagaimana biji-bijian yang merupakan bagian dari karya Tisna Sanjaya seolah berbicara pada alam dengan bagaimana burung gereja sering menghampiri di kala sudut itu sedang sepi. Ini seperti menyimpulkan sekaligus menjawab pertanyaan dari Melani Budianta, bahwa dengan segala macam pendekatan, juga pada colok tampilan seninya, Jakarta Biennale telah menemukan sistem baru bagi kesenian dengan kepekaan sosial. Dan, melihat bagaimana tiap harinya setiap karya di Gudang Sarinah dihidupkan dan berinteraksi dengan pengunjung yang datang dari berbagai kalangan, Jakarta Biennale telah menciptakan diskusi dan mengangkat wacana yang penting pada warga Jakarta. Sebuah langkah besar bagi kesenian kontemporer lokal, dan mengutip sambutan sang kurator utama Charles Esche dalam pengantar pameran, ini adalah rangkaian kemenangan kecil yang mengangkat relasi seni dengan masyarakat.