Secara mitologi, angka tujuh adalah angka yang sakral. Dunia menganggapnya begitu spesial dan dipercaya memiliki keuntungan atau daya magis. Dan, semesta pun seolah mendukung, ada tujuh hari dalam seminggu, tujuh not musik, tujuh lautan dan tujuh benua di dunia. Pada Indonesian Contemporary Art & Design (ICAD), sakralnya angka ini dirayakan dengan mengajak 7 seniman dalam 7 proyek kolaboratif yang menghidupkan tajuk “Seven Scenes.”
Tujuh kali menggelar acara di Selatan Jakarta – Kemang lebih tepatnya – adalah natural bila ICAD memperingatinya dengan ode untuk area yang disebut sebagai kampung modern oleh Ali Sadikin ini. Sekali lagi menempati grandkemang Hotel sebagai “galeri”, 7 sosok dari beragam latar belakang diajak untuk menginterpretasikan Kemang, representasi pergeseran makna kota; serta bagaimana perubahan tersebut mempengaruhi lifestyle hingga relasi dalam masyarakatnya yang heterogen. Dengan menganalisis Kemang lewat sudut pandang berbeda, tiap karya hadir dengan fragmen gagasan yang menjabarkan perubahan dalam sebuah masyarakat.
Padat menjadi kata yang dapat merangkum episode ICAD kali ini. Lewat nama-nama yang memiliki tonggak dalam skena seni rupa dan desain Indonesia, proyek kolaborasi yang digerakkan oleh Agung Kurniawan, Budi Pradono, Eko Nugroho, Hermawan Tanzil, Oscar Lawalata, Tita Salina dan Tromarama, menjadi kepingan rantai yang saling berkesinambungan dalam membentuk pesan penting yang sering terlupakan oleh masyarakat yang ada diantaranya. Yakni mengenai sejarah, permasalahan yang muncul dibalik perkembangan, serta masa depan yang disongsong oleh siklus yang berputar di dalamnya.
Sebagai sebuah gelaran seni, ICAD memiliki keunikan dalam memilih ruang untuk memamerkan karya. Bangunan hotel yang telah didesain sedemikian rupa dengan sirkulasi untuk laju pendatang yang ingin menginap tentunya memiliki sudut-sudut fungsional. Berbeda dengan ruang yang memang sengaja dibangun untuk eksebisi, seperti galeri yang menyediakan pencahayaan apik dan jarak lowong guna menonjolkan karya seni. Keputusan ICAD untuk kembali memakai hotel sebagai tempat pameran bertolak dari kesuksesan yang dituai episode sebelumnya, di mana banyaknya orang-orang berdatangan; baik yang antusias terhadap seni maupun yang awam berkunjung ke galeri, untuk menikmati atau sekadar melewati.
Namun, kemudahan bagi pengunjung ini datang bersamaan dengan tantangan besar bagi para seniman untuk menerjemahkan karyanya sembari tetap mengoptimalkan ruang yang tersedia. Berbeda dengan galeri pada umumnya, ICAD menghadirkan kesenian tidak hanya dengan makna, namun juga daya tarik, dengan tanpa harus menurunkan konsep menjadi dekoratif semata. Menggandeng Hafiz Rancajale sebagai kurator, pameran ini menjahit seni rupa dan desain yang seringkali terpisah antara satu sama lain.
Alur tata ruang hotel mengajak pengunjung untuk menikmati pameran secara berturutan melalui berbagai ruang yang bisa diakses. Sejak pintu masuk hotel, pengunjung disambut dengan mural raksasa dengan karakter dan warna-warni menyala khas Eko Nugroho di sisi hotel. Setelah melewati lobby, instalasi besar berupa kubus berwarna hitam karya Oscar Lawalata menyapa. Menggunakan pola sebagai simbol dari sebuah fungsi pakaian sebagai bentuk atraksi, Oscar menekankan bahwa fashion lebih dari sekadar atribut, melainkan esensi yang utuh dan melengkapi.
Di lain sisi, Tromarama merekonstruksi arti modernitas lewat instalasi barang-barang kuno yang dikumpulkan dari sebuah toko antik di kawasan Kemang Timur. Menyandingkan barang tersebut dengan sebuah VR glasses yang menampilkan sebuah ‘teks modern’, Tromarama mempertentangkan konsep kuno-modern pada barang-barang yang dipajang.
Aspek historis ditemukan dalam karya Hermawan Tanzil yang memetakan perkembangan Kemang dari tahun ke tahun. Menggunakan elemen foto serta tulisan yang mengoptimalkan salah satu sisi pada sebuah lorong hotel, pengunjung dapat menilik Kemang lewat detail cerita yang dikumpulkan dari warga sekitar, yang juga tinggal dan hidup di area yang sama, namun sering tak didengar suaranya. Kritisisme hidup pada karya Agung Kurniawan yang menyentil budaya cuci tangan pemerintah terhadap pelanggaran HAM dengan cetakan sabun berbentuk aktivis keadilan dan Hak Asasi Manusia, mulai dari Wiji Thukul, Marsinah, hinga Munir. Tak jauh dari situ, Agung juga menghadirkan seri karyanya yang terbuat dari teralis besi.
Selain proyek kolaborasi, fringe event yang di co-curator oleh Ika Vantiani menampilkan instalasi fashion kontemporer yang melibatkan seniman dan desainer, yakni Anton Ismael, Felicia Budi, Marishka Soekarna dan Tommy Ambiyo. Untuk mengisi durasi pameran yang cukup panjang, ICAD juga menggelar berbagai acara seputar skena seni rupa maupun desain. Selain menjadi inisiator pameran lintas disiplin dalam dunia kreatif, ICAD tidak hanya terus berusaha memberikan hal baru dalam tiap episodenya, namun juga menggerakkan komunitas serta sentra-sentra kreatif di area Kemang dengan memperluas area gelaran dan perkembangan aktivitas pengisinya.
Jika melihat keseluruhan pameran, strategi ICAD dalam menggunakan hotel sebagai venue menawarkan waktu dan akses tanpa batas untuk menikmati karya seni yang tidak bisa didapat di galeri lain di Indonesia. Namun, dikarenakan venue yang tricky, karya yang hadir tak jarang membaur dengan ruang dan terlewatkan begitu saja dikarenakan tata cahaya yang minim, sehingga beberapa orang menganggapnya sebagai dekorasi semata. Sekiranya jika misi utama pameran ini memang adalah untuk menjadikan seni dan desain lebih dekat dan relevan bagi masyarakat, harusnya ada pengaturan yang lebih optimal supaya tercipta apresiasi publik terhadap karya seni sebagai mana mestinya.
ICAD 2016: Seven Scenes
7 Oktober – 7 Desember 2016
24 jam
grandkemang Hotel
Jl. Kemang Raya No. 2H
Jakarta