Banyak hal diawali dari sebuah ide, lalu diwujudkan dalam bentuk rencana-rencana terstruktur yang kemudian diwujudkan dalam visi sekaligus misi yang konkret melalui sebuah program. Ada pula gagasan yang bermula dari ketidaksengajaan atau keterbatasan, tanpa adanya konsep besar yang mendasarinya, namun justru berkembang menjadi sebuah entitas baru yang mampu berkembang dengan keunikannya. Meski memang, permulaan adalah titik kunci dari entitas apapun untuk melangkah maju, pada akhirnya konsistensi dan dedikasi lah yang akan menentukan hasil akhir yang dicapai.
Erect Magazine, dalam hal ini merupakan sebuah entitas yang bermula dari poin kedua, yakni ketidaksengajaan dan keterbatasan. Didirikan sejak awal 2000-an, Erect telah berkembang menjadi salah satu majalah penting yang selalu konsisten dalam menyajikan konten-konten bermutu dari scene seni underground di Jepang. Sejarah dari Erect Magazine diawali dari keterbatasan sutradara film dewasa Jepang yang mengalami kesulitan dalam hal promo berupa iklan cetak ke majalah-majalah di Jepang karena biaya promo yang mahal, akhirnya dia bersama rekannya yang memiliki visi yang sama menyisihkan uang dari pekerjaan mereka untuk membikin majalah sendiri, karena setelah dihitung-hitung cost-nya sama saja dengan biaya untuk promo ke majalah lain.
Di Jepang banyak vending machine untuk majalah/koran, termasuk untuk majalah porno yang hanya muncul di malam hari. Sering, diantara display majalah porno tersebut terselip satu-dua majalah independen yang menyusup dengan kover gambar-gambar porno, tapi banyak membahas tentang Japanese punk-dan art scene underground. Erect Magazine sedikit berbeda dalam melihat strategi pemasaran mereka. Para penggagasnya justru berkeinginan sebaliknya, yakni untuk bisa mendisplay majalah dengan konten dewasa di toko buku biasa. Visi mereka jelas, yakni untuk menyejajarkan majalah mereka dengan buku-buku seni di rak toko-toko buku Jepang. Nama “Erect” sendiri mengambil inspirasi dari majalah independen dengan konten dewasa yang besar di Jepang di era 80’an, hampir sama dengan dasar pemilihan nama band Velvet Underground yang juga mengambil inspirasi dari film untuk dewasa.
Dalam hal kualitas, mereka menjaga mutu kontennya lewat pemilihan artis yang akan menjadi pokok bahasan. Meskipun tak ada batasan genre seni tertentu yang bisa masuk ke tiap edisi majalah mereka, ada dua pertimbangan khusus tentang siapa saja seniman yang bisa dibahas. Yakni seniman dengan reputasi yang telah mendunia, atau seniman yang masih benar-benar baru dalam scene seni. Dua ekstrim tersebut mempertajam karakter Erect sebagai sebuah majalah yang memang memiliki dedikasi dalam fokusnya terhadap dunia seni.
Etos kerja mereka yang cukup dinamis juga bisa dilihat pada bagaimana mereka merespon sebuah keadaan. Pada sebuah kesempatan, tim Erect berkesempatan mengunjungi seorang pembikin majalah di San Fransisco untuk keperluan promo video dewasa sekaligus mendokumentasikan industry video dewasa di sana. Sesampainya disana, ternyata publik San Fransisco kurang tertarik untuk bercerita tentang industry pornografi yang ada, dari situ, tim Erect lantas memutar otak untuk segera mengalihkan fokus tentang apa yang akan mereka bahas dari kunjungan mereka di San Fransisco, tak lama kemudian, mereka lantas memutuskan untuk membahas tentang scene seni underground di kota San Fransisco.
Sebuah hal yang kemudian menjadi sebuah isu utama yang sering muncul di edisi-edisi Erect Magazine, telah muncul edisi-edisi spesial yang membahas scene seni dari berbagai kota besar di penjuru dunia, termasuk edisi Berlin, Marseille, maupun Jepang. Dan, sekali lagi, tak ada kriteria khusus untuk pemilihan kota-kota yang akan mengisi edisi dari Erect Magazine. Bila memang ada kota yang menarik perhatian mereka, mereka akan mengunjungi sekaligus melakukan peliputan atas apa saja hal menarik yang terjadi di scene underground kota tersebut. Hal ini pulalah yang lalu mengantarkan mereka ke Jakarta, berdasar pada korespondensi dengan seorang teman bernama Shunsuke Izumimoto yang juga merupakan salah satu penggerak dunia seni kontemporer di Jakarta melalui kafe mondo dan irama nusantara, Erect cukup penasaran dengan apa yang terjadi di ibukota negara Indonesia ini. Setelah menonton penampilan dari band punk legendaris lokal, Marjinal di beberapa kota di Jepang, tim Erect lalu memutuskan untuk berkunjung. Disini mereka melakukan peliputan ke beberapa institusi sekaligus kolektif yang cukup aktif dalam kegiatan-kegiatan seni underground.
Dengan kesibukan masing-masing personel Erect yang cukup aktif, baik sebagai pelaku di industri video dewasa maupun juga sebagai seniman-seniman yang cukup terkemuka di bidangnya, cukup sulit untuk mendapatkan tiap edisi dari Erect Magazine secara rutin. Meski demikian, mereka selalu berusaha untuk terus mengisi agenda Erect tiap tahunnya. Hal ini bisa dilihat pada bagaimana mereka juga memiliki divisi di penerbitan art-book, sampai cetakan-cetakan zine fotokopi. Bagi mereka, meski kini kita hidup di era digital dimana semua berbasis internet, dan biaya cetak selalu mahal, tetap penting untuk terus memiliki karya dalam bentuk fisik. “Pada saat awal kami memulai majalah ini, banyak majalah besar di Jepang yang beralih ke edisi digital, alih-alih ikut berpaling ke edisi digital, kami justru melihatnya sebagai kesempatan untuk menjadi selangkah lebih maju dari para pendahulu kami. Dengan mencetaknya dalam bentuk buku fisik, kami meninggalkan sesuatu yang bisa dipegang. Nyata. Kami juga yakin, bahwa suatu saat khalayak akan menyadari pentingnya sebuah arsip fisik.” Kosuke Kawamura, art director dari Erect Magazine mengungkapkan idenya.
Satu hal yang menjaga eksistensi Erect Magazine hingga kini adalah, meski mereka menjalankan majalah ini tanpa adanya sponsor, semangat DIY terus dijunjung tinggi. “Sampai sekarang, kamipun masih sering kesulitan dalam masalah penerbitan majalah ini, tapi kuncinya bagi kami adalah terus berkarya. Ketika kami mengalami kesulitan dalam hal dana, kami kembali lagi ke budaya DIY, pakai mesin fotokopi. Intinya adalah terus konsisten.” Tutup Kosuke Kawamura.