Sejarah dan Renungan Akan Kehidupan Pasca Pandemi di Pembukaan Kembali Museum MACAN
Pameran seni rupa kontemporer Asia Tenggara Stories Across the Rising Lands dan pameran koleksi museum Semesta dan Angan merupakan dua dari lima pameran yang diselenggarakan Museum MACAN.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Ibrahim Soetomo
Foto: Moses Sihombing
Museum MACAN kembali buka untuk publik sejak tutup pada Maret 2020. Museum membuka kembali dua pameran yang sempat terselenggara tahun lalu, yaitu pameran tunggal Melati Suryodarmo Why Let the Chicken Run? dan Ruang Seni Anak Warna dalam Gua oleh Mit Jai Inn. Kemudian ada tiga pameran anyar: Ruang Seni Anak Kisah dari Antah Berantah oleh Citra Sasmita, pameran seni rupa kontemporer Asia Tenggara Stories Across the Rising Lands, dan pameran koleksi museum Semesta dan Angan.
Stories Across The Rising Lands merupakan sebuah pameran ‘survei’ yang menyorot geliat seni rupa kontemporer kawasan Asia Tenggara terkini. Kurator Museum MACAN, Asep Topan, bekerja sama dengan kurator independen Jeong-ok Jeon untuk menampilkan delapan seniman kelahiran sekitar 1980-an ke atas: Cian Dayrit (Filipina), Ho Rui An (Singapura), Kawita Vatanajyankur (Thailand), Saleh Husein (Indonesia), Lim Kok Yoong (Malaysia), Souliya Phoumivong (Laos), Maharani Mancanagara (Indonesia), Nge Lay (Myanmar), dan sebuah kolaborasi antara Tan Vatey dan Sinta Wibowo (Kamboja/Belgia).
Stories Across the Rising Lands berfokus pada ragam isu mulai dari sejarah, sosial-politik, hingga identitas. Narasi besar tersebut berpadu dengan narasi sehari-hari dan pribadi dari para seniman, yang kemudian diwujudkan melalui medium fotografi, video, performans, hingga instalasi. Pertimbangan memilih seniman yang relatif muda dan aktif menjadi penting karena dengan demikian kita dapat melihat isu-isu besar tersebut dengan kacamata terkini.
Pada karya Cian Dayrit yang berjudul ‘Ain’t no other way out of this shitshow’ (2020), isu sejarah dan politik jahit menjahit menjadi satu. Cian membordir sebuah foto hitam putih yang dicetak di atas kain. Foto tersebut memperlihatkan suasana tarian Aeta, sebuah masyarakat adat di tengah pulau Luzon, Filipina, yang dipotret pada awal 1900-an. Cian kemudian membordir foto tersebut dengan simbol-simbol yang mengilustrasikan perjuangan masyarakat Aeta saat ini, misalnya: tunggul-tunggul pohon yang melambangkan kerusakan ekologi, serta sosok siluman boneka yang dikendalikan oleh kaki elang untuk mengindikasikan cengkeraman negara adikuasa terhadap Filipina. Di area bawah kain Cian membordir secara tegas: EDUCATE – AGITATE – ORGANIZE – MOBILISE, yang bisa jadi merupakan gagasan sang seniman untuk menyudahi shitshow yang diilustrasikannya.
Sejalan dengan Cian, beberapa seniman lain juga menyandingkan sejarah dengan kekinian, seperti seri fotografi ‘Endless Story’ dan ‘Urban Story’ (2013) oleh Nge Lay, bahkan sejarah dengan sesama sejarah, seperti ‘Arabien Controlled Territory’ (2018/2021) oleh Saleh Husein yang merekonstruksi kisah seorang Kapitan Arab, atau kepala desa Arab di masa pendudukan Belanda, yang disandingkan dengan lukisan koleksi museum Javanese Mail Station (1879) oleh Raden Saleh sebagai seorang pelukis Jawa keturunan Arab untuk mengandaikan sebuah peristiwa zaman yang lebih luas lagi.
Sedangkan Kawita Vatanajyankur mengkritik kondisi pekerja perempuan melalui video performans Knit yang merupakan bagian dari seri Performing Textiles (2018). Kawita menirukan kerja mesin rajut manual dengan mengikat benang merah ke tiang-tiang yang mengitarinya dengan kakinya. Ia berputar-putar, terus menerus. Menontonnya, kita seakan ikut pusing dan pengap. Barangkali, Kawita memang harus menempuh performans macam ini untuk menaikkan kesadaran akan eksploitasi pekerja perempuan di Thailand.
Sehubung pameran yang bersifat ‘survei’, Stories Across The Rising Lands tentu tidak dapat komprehensif, baik dari segi narasi maupun pemilihan medium, tapi bisa jadi cukup representatif. Sifat survei ini juga yang menghindarkan satu karya/seniman lebih menonjol ketimbang delapan yang lain; Semua mendapat porsi sebagaimana mestinya. Namun rasanya akan lebih memuaskan jika kita dapat meninjau lebih: Entah dengan menampilkan satu-dua karya lain dari masing-masing seniman, atau menampilkan satu-dua seniman lain selayaknya yang dilakukan untuk cabang Indonesia. “When you have seen one ant, one bird, one tree, you have not seen them all,’ kata biolog E.O. Wilson. Kiranya, kita bisa merespons hal yang sama pada pameran ini.
Kita melaju ke pameran koleksi Semesta dan Angan atau Multiverses and Dreams. Pameran ini merupakan pameran koleksi Museum MACAN berskala besar sejak Seni Berubah. Dunia Berubah / Art Turns. World Turns (2017). Pameran ini sedikit banyak terinspirasi oleh situasi isolasi dan jaga jarak akibat pandemi Covid-19 yang menyebabkan kita hidup di dunia atau semesta masing-masing. Semesta dan Angan adalah himpunan semesta kecil berisikan koleksi karya seniman dari Indonesia, Asia Tenggara, Amerika Utara, Eropa, dan Tiongkok, dengan isu seputar teknologi, sosial dan lingkungan, seksualitas, hingga keragaman ras.
Semesta dan Angan tidak memiliki pembagian atau tema ketat, namun salah satu corak yang kentara adalah karya-karya Pop Art. Kita melihat karya para pelakunya, macam James Rosenquist dan Barbara Kruger, yang kerap mengkritik sekaligus mencomot citra-citra budaya massa dan populer di 1960-an. Ada pula karya seniman-seniman Tiongkok seperti Wang Guangyi yang tergabung dalam gerakan Political Pop, sebuah fenomena unik yang muncul pada 1990-an di Tiongkok ketika corak Pop Art dari Amerika bertemu dengan langgam seni propaganda Revolusi Kebudayaan di Tiongkok, untuk menggambarkan pertabrakan antara nasionalisme dan internasionalisme serta tradisi dan kemodernan.
Ada satu koleksi yang beresonansi pada saya saat pertama jumpa, yaitu The Young Acrobat (2000) oleh Sigmar Polke. Di karya ini Sigmar memfotokopi sebuah ilustrasi buku permainan anak, kemudian memanipulasinya saat proses fotokopi sehingga menghasilkan varian-varian baru, dan pada akhirnya variasi tersebut kembali pada bentuk ilustrasi aslinya, seperti sebuah loop. Terlepas dari konteksnya, kiranya karya ini dapat mencerminkan kebiasaan baru kita sejak banyak tinggal di rumah. Kini rasanya hidup melaju dengan variasi-variasi kecil di setiap harinya, layaknya varian gambar di The Young Acrobat, dan pada akhirnya kembali pada kebiasaan semula, seperti sebuah loop.
—
Para tamu yang ingin mengunjungi museum diwajibkan merencanakan kunjungan sebelumnya. Tiket akan dibatasi hingga 100 tiket per sesi dan hanya akan tersedia secara daring. Kunjungi www.museummacan.org.