What I Talk About When I Talk About Bakmie
Pada submisi open column kali ini, Jovan Christopher menulis tentang hal-hal kompleks di balik semangkuk bakmi dan bagaimana preferensi bakmi pilihan adalah urusan yang bersifat personal.
Words by Whiteboard Journal
Haruki Murakami pernah menulis, sebuah aktivitas yang biasa kita lakukan, jika dikerjakan berulang-ulang dalam jangka waktu yang panjang dapat menjadi sesuatu yang kontemplatif dan meditatif. Seolah-olah kita jadi bisa menemukan arti dan makna lain dari suatu aktivitas jika kita benar-benar merenungkannya. Saya kira dalam menyantap semangkok bakmi juga demikian.
Seperti guratan kuas Van Gogh di lukisan Wheatfield with Crows, strategi tiki-taka Pep Guardiola di final liga champions, atau petikan gitar Paul McCartney di lagu Yesterday, para peracik bakmi hidup melahirkan mahakaryanya masing-masing. Pada setiap mangkok mie dan setiap resep yang diciptakan dan diajarkan turun-temurun itu, akan selalu mengundang pengemar dan pengkut setia yang banyak jumlahnya. Namun di sisi lain, juga akan melahirkan perselisihan yang panjang dan melelahkan.
Di kampung halaman saya misalnya, kedai-kedai bakmi sering kali dinamakan dengan nama si peraciknya. Sosok si empunya kedai sangat lekat sekali dengan mie ciptaannya. Beberapa di antaranya: Oukie, Yau Tek, Ju Hui, Atie. Dalam memilih kedai bakmi langganan, setiap orang punya alirannya masing-masing. Keluarga saya contohnya, kami terbagi menjadi dua aliran antara Oukie dan Ju Hui. Alasannya tidak jelas. Kata Ibu, rasa bakmi si Oukie terlalu keras dan ‘berisik’ di mulut. Kata ayah, bakmi si Ju Hui resepnya kuno, rasanya tawar dan kaku. Ibu percaya betul kepada tangan ajaib si Ju Hui, sedangkan ayah sangat fanatik dengan racikan si Oukie. Setiap hari minggu pagi, kami memakan waktu cukup lama untuk berdebat dan memutuskan pergi ke kedai yang mana. Bahkan tanpa sepengetahuan ibu, ayah sering kali diam-diam merayu saya untuk membela kedai bakmi pilihannya. Sedangkan bagi ibu, saya sudah cukup dewasa untuk memilih kedai bakmi pilihan saya sendiri.
Tapi saya rasa, ayah, ibu, dan mungkin setiap kita pada dasarnya dalam menyantap semangkok bakmi pasti punya tujuan yang sama. Kita ingin mencapai puncak kenikmatan, mencapai kenyang yang sempurna, mencapai climax. Sebuah kelegaan dengan sendawa panjang yang rasanya luar biasa membahagiakan dan menenangkan. Kenikmatan itu sering kali jadi kisah-kisah yang dibicarakan dan dijanjikan orang-orang ketika mempromosikan kedai pilihannya. Beberapa bahkan punya versi atau konsepsi tentang climax yang berbeda-beda. Maka saya kira perselisihan dan perbedaan kepercayaan semacam itu semata bermuara pada selera dan iman masing-masing lidah.
Perseteruan tidak hanya terjadi dari sisi para pelanggan, namun juga antar kedai bakmi. Salah satu perseteruan yang terkenal dan tidak pernah selesai sampai saat tulisan ini ditulis adalah perseteruan antar dua kedai mie di kota tempat tinggal saya. Kedua kedai ini dapat dikatakan berasal dari ‘pencipta’ yang sama, hanya saja dalam berjalannya waktu terjadi selisih paham dan perbedaan. Kedua kedai ini letaknya bersebelahan. Kedai yang satu memasang plang yang bertuliskan “Pindahan dari sebelah”, sedangkan kedai satunya lagi memasang plang “tidak pernah pindah”. Perseteruan itu konon berasal dari salah satu karyawan dari kedai yang hengkang dan memutuskan untuk membuka kedai sendiri. Asumsi saya, si karyawan itu selisih kepercayaan dengan keputusan- keputusan yang di ambil oleh si pemilik kedai, kemudian ia protes dan memutuskan untuk membuka kedai yang sesuai dengan kepercayaannya sendiri. Sungguh perselisihan yang amat melelahkan, pikir saya. Kedua kedai itu sampai saat ini terus berselisih dan tetap bersaing ketat dalam mendapatkan pelanggan.
Saya sendiri benci ketika diserang dengan pertanyaan “Apa bakmi pilihan mu?”. Saya sering kali menemukan diri terjebak di tengah perdebatan sengit soal bakmi pilihan masing-masing orang. Bagi saya bakmi pilihan saya adalah urusan yang sifatnya pribadi dan personal. Tidak ada yang berhak memutuskan itu buat saya, ataupun buat orang lain. Biarlah semua orang bebas memilih bakmi pilihannya sendiri-sendiri, bakmi saya ya bakmi saya, bakmi anda ya bakmi anda.
Fanatisme kepada suatu kedai bakmi hanya membawa kita lebih dalam kepada pertengkaaran yang tidak perlu. Sebetulnya saya paham betul keterikatan atau fanatisme semacam itu, sebab saya pernah berada disana. Dulu, saya amat suka sekali makan bakmi di salah satu kedai yang lumayan laris. Lama kelamaan saya semakin ‘terikat’ dengan kedai pilihan saya itu. Saya mulai memandang bahwa kedai lain menyajikan bakmi yang kotor dan tidak layak makan. Tiba-tiba pada suatu pagi yang teramat sial, saya dapat kabar bahwa kedai kesukaan saya itu terbakar dan habis dilalap api. Saya geram dan pikiran saya mulai liar. Saya diam-diam menyalahkan oknum dari kedai lain yang saya tuduh menyimpan dendam kepada kedai kesukaan saya. Untungnya sebelum pikiran saya semakin tak terkendali, penyebab kebakaran telah ditemukan dan rupanya bermula dari arus pendek listrik. Saya kira itu juga yang jadi penyebab kebakaran di dalam kepala saya (dan mungkin juga Anda), arus pendek yang selalu dan terlalu cepat tersulut.
Dalam sebuah perdebatan, salah seorang teman menentang pernyataan saya soal kebebasan memilih bakmi dengan keras. Ia mengatakan bahwa ia bahkan tidak akan mau menerima perempuan yang pilihan kedai bakminya berbeda dengan dirinya. Jika memang si perempuan itu mau mengubah selera bakminya, barulah ia akan menerima perempuan itu untuk jadi pasangannya. “Hubungan harus dibangun dengan pondasi, pilihan dan selera yang sama,” kata teman saya itu. Tiba-tiba saya jadi terserang sebuah pertanyaan yang menghantui pikiran saya bahkan sampai saat ini. Bagaimana jika kelak, saya bertemu dan berhubungan dengan perempuan yang memutuskan bahwa ia tidak akan makan bakmi seumur hidupnya, apa saya bisa benar-benar menerimanya?
Ah, sudalah. Ini hari Minggu dan sudah saatnya pergi ke kedai bakmi, saya lapar.