Izinkan Saya Berduka dan Mengenang Tragedi Kanjuruhan dengan Lagu Taylor Swift
Dalam submisi open column ini, Brigitta Novia Lumakso berduka dan berbagi keresahan dengan caranya: mendengarkan dan meresapi lirik lagu Taylor Swift sambil memetakan dan mengingatkan kita terkait pihak yang bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan.
Words by Whiteboard Journal
Sebagai seorang Swifties garis lunak, saya selalu menggunakan lagu-lagu Taylor Swift untuk membantu saya secara personal dalam mendefinisikan makna hidup yang sulit dijelaskan. Terutama ketika muncul pertanyaan random seperti; saya sedang berada dalam fase hidup apa, ini jenis perasaan apa, kenapa sikap saya aneh, kenapa saya orangnya sangat place attachment, mengapa seseorang menyebalkan tetapi mendatangkan kebahagiaan, mengapa saya menyukai konsep karma, mengapa pikiran saya sangat kocak, mengapa saya suka ngomong sendiri, dan berbagai pertanyaan freak lainnya.
Entah kenapa, kali ini saya tiba-tiba mengaitkan lagu yang berjudul “Would’ve Could’ve Should’ve” dengan sebuah tragedi besar yang pernah terjadi di Indonesia. Saya rasa sah-sah saja menginterpretasikan lagu pop untuk memaknai realita sosial yang lebih luas. Lantaran menurut saya, lagu tersebut memuat banyak pembelajaran yang bisa dikaitkan dengan tragedi bejat pembantaian manusia di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur yang terjadi pada 1 Oktober 2022 lalu. Sialnya, tragedi ini tidak banyak menyita perhatian publik layaknya tingkah konyol Aldi Taher. Padahal, tragedi ini telah merampas 135 nyawa manusia dan lebih dari 400 orang lainnya mengalami luka-luka.
Gagasan universal dari lagu “Would’ve Could’ve Should’ve” milik Taylor Swift mengekspresikan kekecewaan dan frustasi yang sangat cocok dieksplorasi ke dalam konteks lokal sebagai refleksi saya pribadi, ketika melihat hasil putusan sidang Tragedi Kanjuruhan yang amburadul. Selain itu, lagu ini juga tepat sebagai metafora untuk mengarungi sudut pandang korban dalam peristiwa nyelekit tersebut. Interpretasi lirik lagu ini membuat saya resah dan kalut. Karena saya orang yang dermawan, oleh sebab itu saya tidak ingin menikmati keresahan ini sendiri. Jadi, saya sengaja membuat tulisan ini untuk berbagi keresahan kepada kalian semua.
Izinkan saya mendramatisasi keresahan yang saya miliki terkait Tragedi Kanjuruhan dengan mengajak kalian, para pembaca, untuk ikut berimajinasi. Bayangkan lirik lagu ini adalah monolog yang disuarakan oleh jiwa-jiwa korban Tragedi Kanjuruhan yang sudah dinyatakan mati secara fisik. Mereka mengungkapkan luka terdalam dan meluapkan protes karena dipaksa mati sebelum waktunya, membuat jiwa-jiwa mereka tidak bisa istirahat dengan tenang di alam sana. Jiwa mereka mengalami kegelisahan karena masih tersangkut oleh hak-haknya untuk memperoleh keadilan yang belum terpenuhi, meski lebih dari 200 hari berlalu sejak tragedi tersebut terjadi.
Apa hubungannya Tragedi Kanjuruhan dengan lagu “Would’ve Could’ve Should’ve”?
Lagu ini bercerita tentang relasi yang disfungsional antara dua pihak, melibatkan alur kisah hidup dan mati yang sangat personal, serta membawa pengalaman yang sangat emosional. Taylor Swift mengakui kerapuhannya sebagai korban yang telah dicaplok hak miliknya. Dia juga menegaskan bahwa memberikan maaf kepada pelaku kejahatan adalah perbuatan yang amat sulit dilakukan, terlebih jika tidak dibarengi dengan penegakkan keadilan dan pemulihan trauma. Menurut saya, lirik lagu ini seperti pukulan telak yang penuh intimidasi, gertakan, dan teror untuk pelaku kejahatan. Terasa sangat mengoyak dan menggelisahkan bagi masyarakat luas yang menyimak liriknya. Tetapi, pada saat yang bersamaan juga therapeutic bagi korban karena telah berani menunjukkan emosinya.
Konteks lokal
Sebelum mulai, mari sedikit menoleh ke belakang untuk menziarahi ingatan pilu yang berkabut. Saya mengajak anda semua untuk menolak berkabung atas ketidakbecusan para pemangku kepentingan persepakbolaan Indonesia yang telah lalai mengabaikan keselamatan dan keamanan penonton dalam menangani kerumunan yang terjadi seusai laga pertandingan klub sepak bola antara Arema vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan.
Kerusuhan bermula saat aparat keamanan mencoba mengendalikan situasi kerumunan dengan cara menembakkan gas air mata. Padahal, membawa gas air mata masuk ke area stadion jelas-jelas sudah dilarang keras oleh FIFA, apalagi sampai menggunakannya! Gelombang kerumunan merupakan bentuk luapan natural dari kekecewaan penonton yang membuat mereka turun dari tribun untuk masuk ke area lapangan karena tidak terima harus menelan kekalahan yang menimpa Aremania selaku tuan rumah. Awalnya, kerumunan masih terkendali sesaat sebelum adanya tembakan gas air mata. Lantas apa yang terjadi sesudah gas air mata ditembakkan? Alih-alih bikin penonton tenang dan kembali duduk tertib, seluruh penonton justru panik, saling berdesakan, mendorong, berhimpitan, menginjak, dan berebut jalan keluar dari stadion untuk melindungi diri dari gas air mata. Sesungguhnya, hal ini adalah respon tindakan manusiawi yang super masuk akal, yang sejak awal harusnya sudah dapat diprediksi terkait konsekuensi jika menembakkan gas air mata ke arah penonton, tapi… Ah sudahlah. Gelap.
Interpretasi lirik
Sebelah mana dari lirik lagu “Would’ve Could’ve Should’ve” yang melukiskan Tragedi Kanjuruhan? Yuk langsung kita bedah penggalan liriknya:
Lord, you made me feel important
And then you tried to erase us
Oh, you’re a crisis of my faith
All I used to do was pray
Would’ve, could’ve, should’ve
If I’d only played it safe
Monolog ini bisa kita maknai sebagai ekspresi keterpaksaan mereka, para penonton yang direnggut nyawanya. Kasarnya, penonton hanya dijadikan objek untuk orientasi bisnis yang eksistensinya dianggap “penting” karena memengaruhi penjualan tiket yang dijajakan oleh elit industri sepak bola penggila cuan. Makin banyak tiket terjual—bahkan hingga melebihi kapasitas stadion—maka akan semakin banyak cuan diperoleh. Tetapi, ada kalanya penonton dinilai tidak berharga sama sekali, hingga dianggap layak diberi 45 kali tembakan gas air mata secara membabi buta.
Dan sialnya, saat tragedi itu terjadi, kita hidup di peradaban yang saling lempar tanggung jawab, hobi cuci tangan, termasuk sejumlah pihak pemangku kepentingan persepakbolaan Indonesia yang mewarisi DNA bodo amat. Karakter ini telah berkontribusi merusak kepercayaan. Yhaaa kaliiii, masa polisi yang sudah menyebabkan 135 nyawa meninggal malah dibebaskan oleh hakim?
Polisi manipulatif ini berbelot menyalahkan angin yang disebut telah berperan jahat mengendalikan gas air mata ke arah penonton. Karena tidak ada yang mau bertanggung jawab, akhirnya jiwa-jiwa korban Tragedi Kanjuruhan memilih mengambil tanggung jawab tersebut dengan menyalahkan diri mereka sendiri sambil berandai-andai, jika saja malam itu mereka tidak mengambil risiko untuk ikut pergi nonton bola ke stadion, mungkin saat ini mereka masih hidup.
And now that I’m grown
I’m scared of ghosts
Memories feel like weapons
Lirik ini merepresentasikan trauma psikologis yang tidak bisa luntur dimakan waktu. Bisa dibayangkan, 8 bulan lebih telah berlalu, kebenaran masih dipalsukan, keadilan masih ogah menampakkan diri. Alhasil, kilas balik tragedi penghilangan nyawa secara brutal telah tercatat kekal dalam ingatan dan terus menghantui. Bak pemutaran film, peristiwa tragis tersebut senantiasa tayang berulang-ulang. Sehingga, setiap kali mengingatnya terasa seperti dibantai berkali-kali.
God rest my soul
I miss who I used to be
The tomb won’t close
I can’t let this go
I fight with you in my sleep
The wound won’t close
I keep on waiting for a sign
I regret you all the time
Bagian ini menggambarkan kelelahan dan keputusasaan terhadap wujud keadilan. Jiwa-jiwa korban Tragedi Kanjuruhan sejatinya ingin sekali istirahat abadi dengan syahdu dan menyudahi ini semua. Tetapi tidak bisa, karena kuburannya meminta penangguhan untuk ditutup. Tiap susunan butir tanahnya kompak menunggu keadilan ditegakkan. Lagi pula, mereka juga tidak bisa sepenuhnya istirahat karena masih dibayangi trauma atas bencana yang terjadi di pintu keluar Gate 11-12 dan rasa sesal tiada henti karena telah memutuskan untuk datang ke Stadion Kanjuruhan saat malam minggu 1 Oktober 2022 lalu, yang dikenal oleh kita yang masih hidup sebagai hari paling kelam dalam sejarah sepak bola.
If clarity’s in death, then why won’t this die?
Living for the thrill of hitting you where it hurts
Give me back my girlhood, it was mine first
Menurut saya penggalan bait ini kelewat liar, tajam ekstrem, sangat menyayat hati, pokoknya bikin merinding banget deh! Kalimat ini memberikan isyarat bahwa mereka tidak diizinkan untuk berhenti bertarung mengais-ngais keadilan. Maka dari itu, jiwa-jiwa mereka terlarang untuk mati. Akibatnya, mereka terdorong ingin terus bertahan dengan caranya sendiri.
Melampaui interpretasi lirik di atas, lebih jauh lagi, dan yang paling mengerikan adalah, tragedi ini rentan membangkitan kemarahan kolektif. Ibarat sebuah batu yang dilempar ke dasar kolam air, yang dampaknya menjalar dan mengguncangkan seluruh permukaan air.
By the way, Isyana Sarasvati juga pernah ungkit kengerian ini lewat lirik lagunya yang satu ini “Untuk hati yang terluka, tenanglah kau tak sendiri. Untuk jiwa yang teriris tenang ku kan temani. Jika kau tak dapatkan yang kau inginkan, bukan berarti kau telah usai”
Tak jarang kita melihat narasi tuntutan keadilan terpampang di muka fasilitas publik yang dicurahkan oleh masyarakat luas. Beberapa di antaranya mengandung nuansa kemarahan yang bertuliskan “Tidak ada sepak bola seharga nyawa manusia”, “Remember the dead of Kanjuruhan”, “Usut tuntas Tragedi Kanjuruhan”. Apakah ini bagian dari luapan kengerian massa sebagaimana yang saya khawatirkan?
Sebab, siapa di antara kita yang tidak terusik rasa keadilannya? Bagaimana tidak, jiwa-jiwa korban tragedi Kanjuruhan yang kebanyakan berada di rentang usia anak-anak dan dewasa usia produktif ini telah kehilangan kesempatan untuk meneruskan hidupnya. Barangkali di antara mereka ada yang menjadi tulang punggung keluarga atau sedang dalam fase berjuang menekuni usaha, memenuhi panggilan wawancara kerja, berjumpa dengan klien kerja, mempersiapkan pernikahan, ujian masuk universitas, menunggu wisuda, mengambil rapot anak, menanti kelahiran bayi, dan berbagai lanjutan rencana hidup lainnya.
Akhir kata, maaf jika interpretasi saya berlebihan dan telah mengganggu kenyamanan anda. Tetapi memang itulah tujuan saya. Kita kerap kesulitan untuk memahami suatu isu problematik, sampai isu tersebut diartikulasikan ulang menggunakan bahasa kita. Semoga banyak orang yang berkenan untuk ikut merawat duka dan kemarahan soal tragedi mematikan di Kanjuruhan dan juga termasuk sejumlah dosa-dosa besar pemerintah atas peristiwa pelanggaran HAM lainnya yang masih menunggu untuk ditebus dengan rasa keadilan.
Duka dan kemarahan itulah yang pada akhirnya menggerakkan kita secara organik dan konstruktif, termasuk menggerakkan saya untuk menulis column ini—sebagai selemah-lemahnya bentuk keprihatinan dan keberpihakan yang bisa saya lakukan—untuk korban dan keluarga yang terdampak kerugian tak ternilai dari tragedi ini. Tak lupa, saya juga mendoakan pertobatan pemerintah agar mulai menyembuhkan penyakit nirempatinya dengan mengakui kelalaiannya, menegakkan keadilan dengan menghukum pihak yang lalai, membenahi sistem persepakbolaan Indonesia, mengakomodir hak-hak korban, dan mulai mengagungkan nyawa manusia secara sakral dan setara.