Clubhouse, Tempat Berbagi atau Adu Gengsi?
Di submisi Open Column-nya, M. Hilmi menuliskan tentang bagaimana platform Clubhouse yang harusnya bisa membuka kuping kita pada obrolan-obrolan penuh inspirasi, justru menjadi tempat penuh pretensi dan pamer prestasi.
Words by Muhammad Hilmi
Entah bagaimana ceritanya, kita selalu punya cara untuk memberi makna baru pada apa yang diberikan pada kita. Seringnya, makna itu jadi peyorasi seperti saat beberapa di antara kita mengubah fungsi “Netflix and Chill” menjadi kode untuk aktivitas seksual, atau “Insya Allah” menjadi kalimat yang hampir sama maknanya dengan meme “gk dulu” yang kini populer.
Canggihnya, pemaknaan baru ini juga kadang membentuk aktivitas kita sebagai user. Clubhouse, aplikasi sosial media berbasis audio-chat menjadi salah satu hal yang kita beri makna baru. Di luar sana, platform ini punya banyak fungsi, mulai dari tempat untuk berbagi insight terkait dunia bisnis, ruang bagi kita untuk mendengar Elon Musk ngobrol dengan Kanye West, hingga media bagi aktivis di China untuk membicarakan isu sensitif seperti tentang jalannya demonstrasi di Hong Kong dan Taiwan.
Lalu, fungsi seperti apa yang kita berikan pada Clubhouse sebagai sebuah app? Sayangnya, beberapa di antara kita lebih memilih untuk memaknai Clubhouse sebagai platform untuk obral pretensi. Dan, itulah kesan yang melekat akan aplikasi ini, setidaknya di kepala saya saat ini. Seolah masih tak cukup dengan instagram, twitter, hingga linkedin sebagai tempat menunjukkan strata sosial, kini ego kita punya kolam baru untuk diselami.
Hasilnya adalah, setidaknya di beberapa waktu terakhir, lebih banyak omongan miring soal Clubhouse. Sentimen negatif ini mulai ramai saat beberapa selebgram memutuskan bahwa bijaksana bagi mereka untuk membuat room di Clubhouse untuk mendiskusikan banjir yang menunda liburan mereka, atau saat beberapa “sosok” membuat room yang membahas soal aktivisme dengan perspektif pembicara tak kredibel yang hanya biasa melihat dari menara gading. Belum lagi cerita tentang bagaimana pembicara cenderung banyak omong soal gelar/prestasi pribadi ketimbang menyentuh topik diskusi.
Memang tak semuanya begitu, ada pula cerita menyenangkan tentang bagaimana Clubhouse bisa jadi tempat berbagi, kabarnya ada obrolan seru dari David Tarigan saat ia bercerita untold stories dari kompilasi musik tahun awal 2000an, ada pula saat Menteri Kesehatan berbincang tentang kebijakan vaksinasi mandiri bersama aktivis pemerhati kebijakan publik (sayangnya, di tengah diskusi, salah satu pemerhati kebijakan publik di-kick oleh staf kementrian karena menyinggung isu sensitif). Artinya, tak semuanya tentang Clubhouse adalah negatif. Persis seperti apapun yang ada di tangan manusia, ia bisa berguna, dan di saat yang sama, ia bisa jadi sia-sia.
Di luar sana, sama saja. Mulai banyak kritik tentang Clubhouse, banyak yang melihat bahwa obrolan di clubhouse sering jadi membosankan karena tak adanya fitur moderasi, tentang fakta bahwa aplikasi ini adalah lubang baru untuk isu privasi, bahkan ada pula yang melihat bahwa Clubhouse punya potensi untuk menggoyang demokrasi – seperti yang Facebook lakukan beberapa tahun belakangan.
Lalu, bagaimana cara untuk membuat Clubhouse ini bisa lebih menyenangkan? Beberapa teman-teman telah menemukan caranya; ada yang membuat Clubhouse sebagai kamar virtual untuk mendiskusikan easter egg dari episode Wandavision terbaru, ada yang membuatnya tempat untuk melatih kemampuan improvisasi karakter, beberapa membawanya ke arah yang lebih absurd lagi (coba pantau akun Fluxcup, selalu ada kejutan di sana). Terdengar remeh dan receh, namun bukankah ini yang lebih kita perlukan di saat seperti sekarang?
Toh tak ada salahnya menjadi remeh dan receh. Case in point, TikTok. Bagi sebagian orang, platform ini adalah tempat untuk “joget-joget gak jelas”, kurang remeh apalagi? Tapi bagi sebagian lainnya TikTok juga adalah tempat untuk belajar, karena tak jarang banyak materi bagus disampaikan dengan cara yang receh di sana, dan itu sering lebih mengena dari webinar-webinar berbayar. Contoh kasus kedua: bagi banyak orang, penggemar K-Pop adalah sekedar remaja-remaja alay, tapi sudah berapa kali kita mendengar bahwa penggemar K-Pop berkontribusi dalam menggembosi Trump? Atau saat mereka berhasil mendonasikan nominal besar untuk membantu social cause.
Saya yakin, para CEO yang jadi pembicara di Clubhouse pun belum bisa menyamai pencapaian anak-anak alay nan receh ini di portfolio mereka yang jauh lebih mentereng itu.