Sesaat sebelum Senyawa tampil di Konser Tanah Air, Rully Shabara dan Wukir Suryadi tampak sedikit tegang. Meski masih ada senyum saat bertukar sapa dengan teman dan tim produksi di belakang panggung, kecemasan itu sulit disembunyikan dari raut muka mereka. Ini sebuah reaksi yang cukup menarik, band sebesar Senyawa yang telah menjelajahi berbagai panggung besar di Jepang, Amerika hingga Eropa, dan telah tampil bersama musisi terbaik dunia tampak nervous saat akan tampil di kampung halamannya.
Di sisi lain, ini juga merupakan reaksi yang sangat bisa dimaklumi. Adalah wajar untuk merasakan tekanan lebih saat tampil di depan sosok-sosok terdekat. Layaknya seorang anak yang tiba-tiba kesulitan beraksi di panggung saat melihat orang tuanya di barisan penonton.
Mungkin karena hawa dingin Gedung Kesenian Jakarta, mungkin akibat hangat sorot cahaya, cemas yang tadi menghiasi roman Rully dan Wukir lenyap tak berbekas saat keduanya menjadi dua raja di pertunjukan malam itu. Tegang yang tadi menghiasi muka, digantikan dengan tajam sorot mata dan permainan tanpa cela yang memukau semua pengunjungnya.
Memainkan set yang cukup panjang, sekitar dua jam dengan satu kali jeda, Senyawa seakan datang layaknya jejaka terbaik desa yang pulang dari perantauan dengan cerita dan pengalaman yang membanggakan bagi semua. Tampil terakhir di Jakarta sekitar setahun yang lalu, malam itu mereka seolah mengingatkan kembali mengenai kualitas yang mereka miliki, serta kemungkinan-kemungkinan baru yang telah mereka jelajahi.
Merinding datang sejak Wukir memainkan nada pertama dari bambunya. Set dimulai dengan Wukir dan Rully yang tampil dari belakang sebentang layar putih dengan sorotan lampu dari sisi belakang. Gerak-gerik mereka kemudian tampil dalam bayangan serupa wayang yang hidup melalui deru dan denting instrumen utama Senyawa: bambu wukir. Disini pengunjung diajak untuk tenggelam dalam suara dan tarian bayangan penuh disonan. Dan, melalui bayangan yang saling tumpang tindih itu, sosok Wukir dan Rully menyatu dalam satu imaji entitas yang tak bisa lebih akurat lagi daripada kata ini: “Senyawa”.
John Doran dari The Quietus menyebut Senyawa sebagai “A Volcanic Talent”, dan melihat penampilan keduanya malam tadi, pernyataan John Doran tadi nyaris terasa sebagai understatement. Karena nyatanya Senyawa tak hanya bisa tampil gigantik dan meledak-ledak, kadang mereka bisa menjelma menjadi entitas yang liat dan menelusup relung dengan desir suara string dari instrumen Wukir dan merdu suara Rully. Sebelum kemudian mereka merobohkannya dalam sekejap melalui suara perkusif dan racauan bernada rendah – juga teriakan – dari kerongkongan Rully.
Secara teknis, kefasihan Rully untuk menyanyi dalam berbagai tangga nada dan gaya, serta kemampuan Wukir dalam memainkan pelbagai instrumen malam kemarin menjadi kejutan yang menyenangkan. Jika biasanya musisi eksperimental cenderung identik dengan bising melulu dan disonan yang tak jarang mengganggu (dan dengan begitu beberapa akan menganggapnya hanya asal berisik dan lantang), “Konser Tanah Air” adalah sebuah wacana yang bagus mengenai bagaimana musik eksperimental akan menemukan bentuk terbaiknya jika dimainkan oleh mereka yang paham betul dan menguasai instrumennya. Rully yang dulu dikenal merupakan sosok terdepan dalam eksplorasi vokal menunjukkan bagaimana ia tak henti berkembang. Saat berteriak, ia mampu menahan nada dan nafas panjang seolah ia merupakan vokalis band metal kawakan. Saat bernyanyi, ia bisa menembus nada rendah dan tinggi dengan mudahnya, seolah ia merupakan titisan diva pop kenamaan. Wukir pun setali tiga uang, selain takjub yang selalu muncul setiap kali ia menelurkan nada dari instrumen buatannya, ia juga menunjukkan bahwa merdu juga bisa muncul dari permainannya. Salah satu contoh sempurna dari kepiawaian keduanya muncul pada cover lagu folklore dari Semenanjung Balkan yang mereka nyanyikan.
Ada tiga instrumen yang dimainkan oleh Wukir malam itu. Ketiganya menjadi penanda tiga sesi yang Senyawa mainkan. Yang pertama adalah instrumen utama Senyawa, bambuwukir. Yang kedua adalah instrumen baru yang merupakan hasil modifikasi dari “Garu”, alat pembajak sawah yang biasa digunakan di pedesaan. Yang ketiga adalah “Suthil”, spatula dengan tambahan senar. Pada dasarnya prinsip kerja ketiga instrumen ini tak jauh berbeda, tapi suara yang dihasilkan sangat berwarna. Meski kalau disuruh memilih, Senyawa tetap tampil paling paripurna dengan instrumen aslinya, bambu wukir.
Beberapa akan menyandingkan Senyawa dengan band eksperimental asal Jepang, beberapa akan teringat dengan musik raksasa post-rock Godspeed You! Black Emperor, ada pula yang akan membandingkan mereka dengan Swans, tapi yang jelas, Senyawa hari itu menjadi diri mereka sendiri, dan itu sangat-sangat cukup.
Konser Tanah Air berlangsung tepat pada hari yang sama dimana hari ibu dirayakan, dan tiga jam menuju acara, diantara ketegangan di belakang panggung, Rully mengunggah sebuah doa yang mengharukan pada ibunya, “Ibu, malam ini anakmu akan konser tunggal di Ibukota Tanah Air, di venue yang membanggakan. Semoga Engkau merestui. Selamat Hari Ibu, ini kadoku untukmu!”. Dan, melalui standing applause dari seluruh pengunjung yang datang dari seluruh pengunjung, tegang dan doa Rully terbayarkan, jika bukan terlampaui berkali lipat. Karena dari muka puas semua pihak yang menjadi saksi, bangga jelas tak hanya akan datang di hati Ibu Rully Shabara, karena malam itu, Senyawa jelas merupakan salah satu hal terbaik yang pernah lahir dari bumi Indonesia, tanah air Wukir Suryadi dan Rully Shabara.
Terima kasih kepada G Production beserta seluruh tim Konser Tanah Air yang telah mewujudkan sebuah konser penting dalam sejarah musik lokal. Di luar segala kejadian menyesakkan yang terjadi di tahun 2016, konser Sinestesia dari Efek Rumah Kaca yang membuka tahun, dan konser Tanah Air yang menutup tahun sejatinya merupakan bukti bahwa kita harusnya menyambut 2017 dengan harapan dan suka cita.