Sebuah inisiatif akan muncul ketika seseorang merasa terganggu atau terpukau atas apa yang ia rasakan. Itulah yang menjadi latar belakang dibentuknya kompilasi “Dentum Dansa Bawah Tanah”, berisi unit musik di Jakarta yang merepresentasikan warna-warna underground dance music. Kecintaan Aldo Ersan terhadap musik dan keinginan untuk mendokumentasikan skena musik elektronik di Jakarta, telah mendorong dirinya untuk mengumpulkan nama-nama yang telah membuat lantai dansa ramai untuk mengeluarkan sebuah rilisan di bawah naungan labelnya, Pepaya Records.
Dirilis bersama Studiorama, kompilasi kaset dan video clip bersama unit independen lainnya ini mengantarkan 14 unit musik dalam album ke masyarakat. Pepaya Records mencetak kompilasi ini dalam bentuk CD bersama label DeMajors yang akan dirilis tanggal 18 Desember mendatang bersamaan dengan perhelatan bulanan Superbad. Kami mendapat kesempatan untuk berbincang sesaat dengan Aldo dan David Tarigan dari DeMajors untuk membahas mengenai kurasi Dentum Dansa Bawah Tanah dan perspektif yang muncul dari pendengar musik.
Aldo Ersan dari Pepaya Records
W: Apa dasar dari kurasi musisi yang ada di kompilasi Dentum Dansa Bawah Tanah (DDBT)?
A: Dasarnya adalah pengamatan; lebih mudah dilakukan ketika tidak fokus berusaha menjadi yang diperhatikan. Yang jelas, proses mengamatinya tidak dilakukan melalui akses internet saja, saya datang ke pesta dan menyaksikannya secara langsung. Mengidentifikasi kolektif atau komunitas yang cocok, lalu ngobrol dengan teman untuk memperkaya pertimbangan menentukan musisi yang dianggap dapat mewakili. Setelah itu, saya sebisa mungkin memastikan setiap sub-genre yang related terwakili dengan porsi yang pas.
Salah satu yang paling seru adalah menyaksikan Ffonz (Moustapha Spliff) lengkap dengan dua turntable dan deretan piringan hitam memutar musik jazz berisik semalam suntuk di Tree House. Kini tempat itu sudah tutup.
W: Bagaimana mendengar komentar mengenai album ini yang dirasa sangat “selatan”?
A: Banyak musisi dalam album kompilasi DDBT yang bermukim dan cukup sering berkegiatan di luar Jakarta Selatan, misalnya Django dan John van der Mijl bermukim di Jakarta Pusat, Duck Dive tinggal di Rawamangun, Bernardus Fritz dari Sunmantra dari Sunter, serta Sattle yang sering bolak-balik Bandung-Jakarta. Saya bahkan tinggal dan berkegiatan di bilangan Jakarta Pusat. Sampul album dipotret oleh Moses Sihombing dari puncak Monas kemudian disunting sambil makan rawon di Cut Meutia. Terus kenapa jadi “selatan” ya?
Mungkin saja pendapat ini muncul dari perspektif tata ruang wilayah kota. Restoran/lounge/bar/klab malam terpopuler dan hip belakangan ini tumbuh subur di wilayah Jakarta Selatan. Venue-venue tadi adalah tempat dimana musik sidestream bahkan underground biasanya dibiarkan untuk diputar dan dimainkan, itupun tidak semuanya. Yang mungkin terlewat adalah kenyataan bahwa crowd-nya macam-macam, ada pekerja kantoran asal Bekasi atau Bintaro yang menunggu macet, slacker tajir yang tinggal di apartemen Pakubuwono, bahkan anak kolong dari Kelapa Gading.
Kalian pernah dengar istilah funky kota (funkot) kan? Mungkin juga pendapat ini muncul dengan proses yang sama dengan berkembangnya isitilah funkot; sebagai musik yang biasa diputar di klab malam bilangan Kota. Mengejutkan juga melihat musik di era internet masih dieratkan dengan lokasi geografis tertentu. Saya membayangkan banyak hal; dari nuggets, chicago house hingga madchester.
W: Selain audio album ini juga dirilis dalam bentuk video, apa visi dari keputusan ini? Dan bagaimana memasangkan setiap musisi dengan videografer?
A: Saat itu, Edwin (Babibuta Film) dan saya menyetel materi musik DDBT dengan peranti audio Kinosaurus. Saya punya keinginan teaser video album DDBT dibuat oleh Edwin karena dia figur yang esoteric. Selesai mendengar DDBT, Ia justru memilih lagu untuk dibuatkan video musik dan menyarankan untuk mencari sutradara/video maker lain untuk membuat video musik bagi masing-masing lagu. Metode ini berlangsung seterusnya, mendengarkan musik bersama sutradara/video maker pilihan (ada yang bertemu langsung ada yang melalui surel), lalu mereka memilih lagu yang yang mereka mau buatkan video musiknya. Yang saya sayangkan adalah Tumpal Tampubolon menolak ikut membuat video musik untuk proyek DDBT.
Visinya adalah mendokumentasikan secuil masa. Situasi mungkin bisa dikaji lewat musik, tapi lanskap visual membuat semuanya semakin jelas. Dalam video musik DDBT kita bisa menyaksikan perempatan by pass, gambaran party muda-mudi sadar kultur/mode terkini, unjuk rasa kaum religi tertentu dengan jumlah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, kondisi ibu kota negara tetangga, hingga kondisi Sumba yang masih jauh tertinggal dari Jakarta. Semuanya dengan satu latar waktu: pertengahan 2010-an.
W: Bagaimana respon pendengar Dentum Dansa sejauh ini?
A: Dalam beberapa kesempatan, teman menceritakan soal-soal terkait kenalan mereka yang mengetahui, melihat, atau mendengar Dentum Dansa Bawah Tanah. Kadang ditemukan juga di social media. Isi responnya tidak saya hapalkan. Secara kuantitatif, kaset pita sebanyak 200 itu terjual habis dalam waktu 1 bulan.
W: Album Dentum Dansa Bawah Tanah dibilang sebagai proyek yang merekam musik elektronik arus bawah tanah, tapi di dalamnya terasa didominasi dengan musik beraroma house, padahal ada berbagai macam banyak musisi elektronik yang ada di luar genre tersebut, kenapa demikian?
A: Bisa jadi kalian merasa demikian. Individual Distortion, Radioage, Kracoon, dan kawan-kawan sudah punya wadah yang rekat, scene-nya bahkan sudah dibuatkan film dokumenter. Musik sejenis yang dimainkan Animalism, Bottlesmoker, dan kawan-kawan lebih cocok dipresentasikan di panggung-panggung musik hidup. Menurut kalian apakah Space System dan Voyagers of Icarie mau menyahut jika saya sapa?
Sedangkan, mayoritas roster kompilasi DDBT belum pernah menelurkan rilisan apalagi dalam format fisik. Jika tidak dibiasakan, rekaman fisik yang berisi musik sejenis DDBT ini selamanya akan menjadi langka—bukannya tidak ada—di Indonesia karena DDBT bukan yang pertama.
Terlepas dari itu semua, sebuah album musik—bahkan kompilasi sekalipun—sebaiknya tidak didominasi oleh turbulensi. Lagipula judul albumnya kan Dentum Dansa Bawah Tanah. Kalo muda-mudi dewasa ini memang suka berdansa mengikuti irama house, beginilah house ala DDBT. Saya pikir jelas bedanya. Seperti gerombolan sirkus, kaum ini berpindah-pindah tempat mengikuti ke mana party sejenis diadakan untuk menikmati alternatif. Alternatif dari apa?
Tuhan memberkati dance music ala Djakarta Warehouse Party.
W: Apakah akan ada kelanjutan dari proyek ini? Kalau ada musik seperti apa yang dicari?
A: Proyek ini belum sepenuhnya rampung. Format cakram padat punya menambah luas akses dan distribusi proyek DDBT maka berlakulah asas kausalitas. Materi yang sudah ada sekarang—kurasi unit musik, lagu, dan video musik—perlu dipresentasikan lebih lanjut dalam kegiatan, format, jenis, dan/atau wilayah lainnya.
Musik yang memiliki spirit of the age selalu menarik dan membuat penasaran untuk dinikmati.
David Tarigan dari DeMajors
W: Bagi DeMajors, apa kesan yang kalian dapatkan saat pertama kali mendengar kompilasi Dentum Dansa Bawah Tanah dan apa alasan DeMajors ingin merilis kompilasi ini dalam bentuk CD?
D: Kami selalu berusaha membagi apa yang kami suka dan yakini untuk dapat dialami oleh banyak orang, dan sudah pasti, membagi musik yang kami anggap bagus. Dentum Dansa Bawah Tahan tidak hanya menawarkan musik, tapi juga cerita serta ekspresi dari apa yang terjadi saat ini di dunia dance elektronik kota Jakarta dan kompilasi ini sungguh layak dijadikan pengantar bagi sesuatu yang harus diketahui oleh lebih banyak orang.
W: Seperti apa rencana DeMajors dalam kerja sama dengan Pepaya Records, selain merilis Dentum Dansa Bawah Tanah dalam format CD?
D: Kami akan selalu berhubungan dengan Pepaya Records untuk membicarakan segala macam kemungkinan yang bisa dihasilkan.
W: Menurut DeMajors, seperti apa karakter skena dance music di Jakarta/Indonesia dan bagaimana Dentum Dansa Bawah Tanah menampilkan karakter tersebut?
D: Dentum Dansa Bawah Tanah tentu berhasil menggambarkan apa yang terjadi di skena dance music elektronik; Jakarta khususnya, saat ini. Jadi, dari yang abstrak, tekstural, beat hipster Selatan (hahaha) hingga beat pemompa berjejak Jakarta-Kota (hahaha). Semuanya terwakili di sini, jadi, ini mungkin bisa dibilang khas kota besar ya.
–
Superbad! x Dentum Dansa Bawah Tanah
Minggu, 18 Desember 2016
20:00
Jaya Pub
Jl. MH Thamrin No. 12
Jakarta