kredit foto: Henry Foundation & Elevation Records
Sejujurnya, Bandempo adalah band yang cukup sulit untuk dipahami. Setelah berulang kali mendengar lagunya, dan menemukan Bandempo menjadi nomor satu di 15 Album Indonesia Terbaik Dekade 2000-2010 versi Jakarta Beat, paham itu tak kunjung datang, bahkan justru bingung yang menyerang. Secara musik jelas mereka bukan tipe yang mudah bersahabat dengan kuping, sound rekaman mereka seperti direkam langsung dari amplifier studio latihan di pinggiran kota yang dihasilkan dari alat murahan dan efek gitar seadanya. Belum lagi mengenai cara menyanyi Anggun Priambodo yang jauh dari kata merdu, bahkan band sekolahan level SMP pun memiliki vokalis yang lebih enak dengar dibanding Anggun yang bernyanyi seolah enggan beranjak menuju akil baligh, meskipun ia telah sunat tiga kali. Dosisi tinggi absurditas pada lirik mereka jelas tak membantu.
Maka, ketika Elevation Records mengumumkan bahwa mereka akan merilis reissue album satu-satunya dari diskografi Bandempo yang dulu dirilis pada tahun 2000, bingung itu kembali melanda. Buat apa merilis ulang sebuah album yang tak jelas jeluntrungannya ketika sekarang ada banyak sekali band baru yang menawarkan musik yang lebih menarik di telinga?
Ternyata, layaknya pertanyaan penting lainnya, jawaban atas kebingungan itu datang pada saat yang tak terduga. Datang tanpa ekspektasi pada pesta rilis album vinyl reissue yang berlangsung pada 2 Oktober 2016, di Ruru Radio, Gudang Sarinah Ekosistem, Bandempo membuktikan diri sebagai band yang memiliki kualitas tersendiri. Kalau boleh menganalogikan, Bandempo memiliki perspektif yang mirip dengan Sutadji Calzoum Bachri, sastrawan nyeleneh yang mengobrak-abrik makna dan struktur puisi yang umum ditemui. Dengan gayanya sendiri, Sutardji membebaskan kata-kata, di tangannya puisi lebih dari sekedar indahnya persajakan dan rima, puisi karya Sutardji adalah karya instalasi yang melihat lebih dalam dari sekedar makna yang ada pada setiap kata (simak puisi karya Sutardji disini). Puisi bikinannya, bebas dari kungkungan makna leksikal, hingga tak jarang terdengar mirip seperti mantra.
Malam itu, Anggun melakukan hal yang sama. Alih-alih bernyanyi, ia nyaris terdengar seperti sedang merapalkan mantra. Bersama rekan setimnya, Anggun mengobrak-abrik kaidah musik yang ada di kepala semua penontonnya. Dalam hal ini, musik Bandempo pun membebaskan diri dari makna leksikal, bahwa lirik tak harus gamblang maknanya, dan tentang terminologi genre yang tak lebih dari omong kosong belaka. Karena, indie-rock jelas tak akan cukup merangkum kombinasi nyanyian “biri-biri terbanglah tinggi”, diantara irama musik yang kadang berisik, kadang berdendang, dan seringkali kekanakan itu. Penampilan Bandempo pada acara tersebut – tanpa atau dengan kostum ala Afrika itu, seolah menjelaskan mana posisi yang mereka ambil (entah sengaja atau tidak) melalui musik yang mereka mainkan.
Jika sekali lagi boleh membandingkan, kalau Efek Rumah Kaca mungkin adalah personifikasi karya Chairil Anwar dalam bentuk musik, maka Bandempo jelas sekali adalah Sutardji Calzoum Bachri. Dua-duanya memiliki sumbangsih yang jelas pada kesusastraan lokal, dan dua-duanya dihargai sebagai sosok yang penting. Dan, dengan begitu, Elevation Records sekali lagi membuktikan tajamnya pengamatan mereka tentang musik baik yang harus diabadikan dalam bentuk rilisan.
Vinyl Bandempo reissue bisa didapatkan di High Fidelity Jakarta, Omuniuum dan Kineruku Bandung atau via mail order ke elevation1977@gmail.com.