
Kelompok Penerbang Roket: “Kondisi hancur jadi bahan bakar kami buat bikin lagu-lagu yang lebih galak.”
Oktober lalu, kami berkesempatan ngobrol dengan John Paul Patton dan I Gusti Viki Vikranta dari Kelompok Penerbang Roket. Dalam perbincangan ini, keduanya membahas latar emosi di balik ‘TIGOR,’ tantangan mereka dalam berkarya di era rentan akan pembungkaman, serta pandangan mereka tentang musik sebagai medium untuk melawan dan bersuara di tengah situasi sosial dan politik yang kian mengganggu.
Words by Whiteboard Journal
Belum lama berselang sejak rilisan terakhirnya, Kelompok Penerbang Roket kembali melepas satu pernyataan baru lewat single ‘TIGOR’ yang berangkat dari kegelisahan kolektif mengenai keseharian hidup kita, tentang kerakusan, kuasa, dan figur-figur yang bergerak diam-diam dari balik gelap namun menguasai sampai ke permukaan.
Dirilis pada 19 September lalu, ‘TIGOR’ yang merupakan singkatan dari ‘Tikus Gorong-Gorong,’ menjadi kelanjutan perjalanan musikal trio I Gusti Viki Vikranta, John Paul Patton, dan Rey Marshall. Lagu ini digarap dalam waktu sekitar tiga bulan sejak Juni, direkam di Dexter Studios, dengan mixing ditangani oleh Viki, sementara mastering dikerjakan di Abbey Road Studio. Rilis ini juga menandai langkah terbaru Kelompok Penerbang Roket bersama PLP Records.
Oktober lalu, kami berkesempatan ngobrol dengan John Paul Patton dan I Gusti Viki Vikranta dari Kelompok Penerbang Roket. Dalam perbincangan ini, keduanya membahas latar emosi di balik ‘TIGOR,’ tantangan mereka dalam berkarya di era rentan akan pembungkaman, serta pandangan mereka tentang musik sebagai medium untuk melawan dan bersuara di tengah situasi sosial dan politik yang kian mengganggu.
Words by Jemima Panjahtian
Kalian baru saja mengeluarkan single ‘TIGOR’, dan layaknya di banyak lagu-lagu kalian, lagi-lagi pendengar bisa merasakan amarah dari lagu tersebut. Apakah rasa ‘marah’ adalah image yang emang KPR selalu mau bawa dalam tiap rilisan?
JP Patton: Nggak selalu sih, dari gue pribadi nggak selalu. Emang pas aja, kebetulan emang vibe dan moodnya lagi begitu. Mungkin, karena di negara kita juga banyak banget yang bikin resah kali ya? Jadi reaksinya senatural itu aja sih. gimana Dik?
Viki: Kita di KPR sih, yang pasti dari awal selalu bikin lagu tentang isu-isu keseharian aja. Kadang juga ada yang liriknya agak konyol, kayak ‘Anjing Jalanan,’ tentang orang-orang di jalanan yang kayak tai, terus ‘Mati Muda’ juga udah jelas banget waktu itu kita bikin [lagu] itu pas orang lagi tawuran dan ada yang mati. Terus, pas ‘TIGOR’ juga kan kondisi [negara] lagi hancur banget.
JP Patton: Jadi, memang uniknya lagi pas aja sama isu beberapa waktu kemarin. Kebetulan juga emang lagunya bisa dibawa ke arah sana juga, tapi memang itu jadi membuktikan kalau emang isu ini udah normal banget, ironisnya gitu.
Tapi, sebenarnya dalam single ‘TIGOR,’ ada dua sisi yang bisa dilihat. Marah iya, tapi juga terdengar lelah dengan semua yang terjadi di tahun ini. Menurut kalian, apakah musik KPR masih berbicara dari sisi perlawanan atau kelelahan?
JP Patton: Bukan lelah sih, tapi mungkin pembawaannya lebih kadang-kadang ada sisi pasrah gitu. Mau gimana ya sekarang?
Kita mau melawan, tapi masalah-masalah negara di tahun jadi hal yang ‘biasa’ kita lihat. Akhirnya, kita jadi helpless. Walau sebenernya, kalau dibilang perlawanan, kami juga ingin menyuarakan.

Photo by Yoel Petuel
Nah, ‘TIGOR’ atau ‘Tikus Gorong-Gorong’ kan membicarakan tentang kerakusan. Selain kerakusan oleh pemerintah yang secara kolektif kami sadar selalu terjadi, apakah kerakusan ini juga terjadi lebih luas, seperti di musik misalkan?
JP Patton: Artinya bisa general juga sih menurut gue.
Viki: Iya, kayaknya kalo kami bikin lagu juga emang selalu serba general artinya. Kami gak terlalu yang kerucut ke sini, ke situ, karena kami bertiga tuh juga bukan orang yang ngikutin politik banget sebenernya. Jadi daripada kami salah ngomong, kami selalu ngomongin apa yang dirasain aja sih. Point of view kami lah gitu. Tapi kalau masalah kerakusan di musik…
JP Patton: Ya musik sih… mungkin bisa masuk-masuk aja karena ini ngomongin siapapun yang menjadi ketua, atau pemimpin, atau yang punya kuasa gitu kan. Jadi, bisa nyambung ke banyak hal lah, banyak skenario atau cerita gitu.
Kalian punya karakter tikus favorit dari film atau tv series nggak?
JP Patton: Pasti [Remy dari] Ratatouille (2007) kalo gue.
Viki: Haha, kalo gue Jerry sih.
‘TIGOR’ ditulis karena ada rasa ‘muak’ dan semakin lama rasa muak itu kita simpan, bisa-bisa kita jadi mati rasa. Apa yang membuat rasa muak itu tetap hidup buat kalian?
Viki: Follow your guts aja kalau gue. Menurut gue sih, itu kan hitungan udah jahat ya, kalau seharusnya yang yang bertanggung jawab untuk menanggulangi kejadian kriminal, malah menjadi biang kejahatannya.
Menurut gue untuk melawan, ya harus dengan banyak cara. Misalnya, kalau gue pribadi sebagai seniman, dan menurut gue yang lain juga sama mikirnya, kita melawan dengan bikin karya-karya yang kayak gini sih.
JP Patton: Menurut gue, emang kembali ke orangnya juga. Kadang-kadang ada orang yang ‘terima’ aja gitu kan. Mungkin balik lagi ke pengalaman dia dan lingkungannya yang membuat dia kayak gitu, yaudah terima aja, gue jadi orang Indonesia yang ‘bersyukur’ aja. Biasanya gitu kan.
Itu sudah lumayan jadi stereotype menurut gue. Memang semuanya tergantung lingkungannya dan apa yang dia serap. Ada juga orang yang sadar dengan kondisi dan tahu mana yang benar harusnya seperti apa dan yang pantas untuk rakyat kayak gimana.
Bagaimana perubahan Jakarta di album Teriakan Bocah (2015) dan di rilisan baru ini? Apakah perubahan ini berdampak pada songwriting kalian?
Viki: Kalau gue lihat sih, dari tahun ke tahun beberapa hal tambah hancur, tapi ada beberapa hal tambah benar. Yang tambah benar itu akhirnya orang-orang punya pendidikan yang benar gitu, akhirnya jadi stand out semua orang-orang.
JP Patton: Gue pribadi sih, gue nggak begitu pengen coba nyari sesuatu yang lagi “hot.” Emang sejauh ini KPR secara songwriting, ya sesuai sama suasana hati aja lagi gimana. Jadi, nggak terlalu mempengaruhi songwriting. Mungkin lebih ke marketing aja, karena kan sekarang dunia sudah socmed banget, dan semua orang harus bisa banget stand out.
Belakangan ini kita banyak dengar diskursus mengenai dunia musik: dari sisi sponsorship acara musik yang tidak berpihak pada rakyat, atau asosiasi musisi dan band dengan pihak yang tidak mempedulikan kemanusiaan. Bagaimana kalian memposisikan diri di industri ini?
JP Patton: Jelas itu gak benar banget ya, udah nyimpang gitu. Uang udah jadi masalah klasik sih sekarang, gimana caranya dapetin uang dengan cara apapun, dan jadinya pada berlomba-lomba bikin festival. Kalau KPR sih, kami lebih fokus ke hubungan kami dengan audience aja sih. Gue lebih mikir ke arah sana. Kalau tiba-tiba ada acara yang bermasalah, sebisa mungkin kami memikirkan audience-nya ini. Jadinya di panggung berikutnya, mungkin kami akan bikin acara sendiri kalau hal kayak gitu terjadi.
Viki: Gue sih lebih fokus dan dengerin fansnya KPR aja. Misalnya ada kejadian kayak gitu, itu sudah bertentangan sama prinsip yang gue jalanin. Gue sih pasti gak mau support hal kayak gitu.
Karya kalian terkenal dengan konfrontasi—dan di era penuh dengan batasan ekspresi, apakah ada tantangan tersendiri bagi kalian dalam bermusik dan menyebarkan pesan-pesan tertentu?
JP Patton: Kalau gue pribadi sebisa mungkin mengkurasi apa yang kami mau sampaikan, bukannya berarti takut atau apa ya, tapi kami punya tanggung jawab disitu dan apapun itu harus berdasarkan benar apa nggaknya.
Secara bahasa, secara lirik, atau secara kata-kata yang disampaikan di lagu-lagunya, menurut gue banyak kok kata yang bisa dipakai buat mengekspresikan kebencian, atau kemarahan, atau kesalahan, tanpa menggunakan hal yang menurut gue gak etis, provokatif, atau bentuk kata yang udah jelas nih kayaknya gak boleh anak kecil denger gitu.
Kalau misalkan iklim sosial-politik kita baik-baik saja, kira-kira KPR bakalan buat lagu tentang apa?
JP Patton: Apa ya?
Viki: Nggak tau ya? Mungkin tentang balon, hahaha.
JP Patton: Hahaha, balon, pelangi, tentang cinta kali ya?
Viki: Cuaca yang cerah.
JP Patton: Iya juga ya, kayak musik negara-negara Skandinavia gitu.
Viki: Soalnya kan banyak ya kayaknya bikin lagunya tentang cuaca cerah, soalnya mereka jarang ada matahari.
JP Patton: Iya bener juga ya, mungkin topik-topiknya seperti mereka di negara-negara yang sudah maju, negara Skandinavia atau Jepang gitu ya, banyak lagu cinta atau atau mungkin hal-hal receh malah kayak, ya gue punya mobil baru.

Photo by Yoel Petuel
Musik juga salah satu bentuk aktivisme, dan di tengah-tengah banyaknya penggunaan kata ‘performative,’ menurut kalian aktivisme yang ‘performative’ itu membuat perlawanan jadi nggak produktif, atau hal yang sah karena at least mereka masih bersuara?
JP Patton: Menurut gue itu bukan masalah sih. Lagi-lagi balik ke apa yang disampaikan. Semuanya kan punya hak buat bicara, tapi semua tergantung narasinya apa. Kualitas orangnya juga penting, dia kompeten atau nggak, paham atau nggak. Karena banyak juga pasti kan band-band besar tapi ternyata ngomongnya ini itu, dan jadi keliatan gitu secara kualitasnya.
Dengan semua hal yang sekarang terasa absurd, gimana dengan masa depan KPR?
Viki: Ya, as long as, kami bertiga bermusik terus sih, gue yakin selalu ada jalan. Kadang karena kondisinya hancur gini, kami jadi ada bahan bakar buat bikin lagu-lagu yang lebih galak sih jadinya. Mau kayak apa jalannya kami akan berusaha untuk menyuarakan yang nggak bener.
JP Patton: Dasar kami main musik kan memang karena kesenangan ya. Gue pribadi masih memegang prinsip itu, dan gue yakin Viki dan Rey juga memegang hal yang sama, makanya kami masih ada sampai hari ini. Kayaknya itu sih menurut gue bahan bakarnya, karena kami senang jalani ini. kami senang untuk nongkrong, tuker ide, atau workshop untuk bikin sesuatu yang baru. Excited dengan rekaman, dan senang banget berada di panggung.



