Film Konser Meraih Minat Tinggi di Mata Penggemar, Mungkinkah Akan Lahir Lebih Banyak di Masa Mendatang?
Para penggemar yang tidak memiliki privilege untuk menikmati konser idola secara langsung, bisa termanjakan melalui film konser. Bagaimana respons dan minat terhadap film konser?
Teks: Ahmad Haetami
Foto: Getty Images/Hector Vivas
Tidak semua orang berkesempatan untuk menonton idolanya secara langsung dalam konser tunggal. Hambatannya beragam. Faktor lokasi yang cenderung hanya terpusat di kota-kota besar, harga tiket yang belum terjangkau bagi semua kalangan penggemar, hingga pertimbangan kenyamanan dan keamanan. Belum lagi soal merajalelanya calo tiket. Namun, belakangan ini, para penggemar bisa menikmati konser idola kesukaannya tanpa ada batasan hambatan berkat sebuah film konser.
Film konser sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam industri hiburan. Adventure in Music yang dirilis pada tahun 1944 diyakini sebagai film konser pertama yang pernah diproduksi. Sederet musisi ternama dunia seperti Talking Heads, The Rolling Stone, hingga Beyoncé, terbukti sukses menarik banyak penggemar untuk bisa menikmati konser yang difilmkan. Terbaru, ada bintang pop Taylor Swift dengan The Eras Tour yang memanjakan para penggemarnya.
Film konser The Eras Tour berdurasi tiga jam dengan penampilan 44 lagu itu berhasil meraup US$2,2 miliar hanya dari penjualan di Amerika Utara. Selepas perilisannya di berbagai dunia, termasuk Indonesia pada 3 November lalu, film ini memecahkan rekor sebagai film konser terlaris sepanjang masa.
Kesuksesan film konser Taylor Swift tak lepas dari faktor banyaknya Swifties yang tidak berkesempatan menikmati konser The Eras Tour secara langsung. Apalagi Swifties Indonesia, kesempatan yang paling mungkin untuk diraih adalah dengan terbang ke negara tetangga Singapura. Dengan adanya konser film, para penggemar yang kurang beruntung setidaknya bisa menyampaikan cinta besar kepada idolanya di dalam studio bioskop, bersama-sama dengan penggemar lainnya.
Pengalaman menonton film konser sendiri dinilai mampu mengisi gap antara idola dan penggemar yang tidak bisa menonton konser secara langsung. The Eras Tour misalnya, banyak yang menilai film konser tersebut seakan memberikan penonton tempat duduk di barisan depan dengan pendekatan sinematik yang memukau tentang bagaimana rasanya berada di tengah-tengah euforia konser Taylor Swift.
Pengalaman menonton film konser pun hampir mirip dengan datang langsung ke konser. Bagaimana tidak, Taylor Swift sendiri mengizinkan para penonton film konsernya untuk bisa seru-seruan bernyanyi dan menikmati penampilan selayaknya konser sungguhan.
Selain The Eras Tour, ada film konser lainnya yang secara mengejutkan mendapatkan respons menarik. Perilisan ulang Stop Making Sense, sebuah film konser band legendaris Talking Heads contohnya. Menurut pengamatan The Hollywood Reporter, hampir 60 persen penonton Stop Making Sense bahkan berusia di bawah 35 tahun, rentang usia yang sebagian besar bahkan belum lahir saat grup ini bubar di awal tahun 90-an. Para penggemar baru tersebut dipercaya dapat mendorong sebuah tren baru untuk melahirkan lebih banyak konser film.
Jika merujuk pada permintaan pasar pun, film konser diduga akan mendapatkan banyak penonton di masa mendatang. Survei NATO’s Cinema Foundation terhadap 6.000 penonton bioskop dari berbagai usia dan ras, membuktikan hal tersebut. 72 persen mengatakan bahwa mereka ingin melihat lebih banyak film konser di layar lebar. Namun, keinginan tersebut belum bisa diakomodasi secara konsisten, berkaca dari belum banyaknya peluncuran film konser.
Kesuksesan fenomenal film konser The Eras Tour memantik banyak diskursus soal masa depan film konser dan budaya baru bagi para penggemar. Sejumlah film konser siap diluncurkan pada penghujung tahun 2023, seperti Renaissance: A Film by Beyoncé dan NCT NATION : To The World in Cinemas. Musisi seperti Harry Styles juga dirumorkan akan merilis film konsernya. Menurutmu, apakah musisi Indonesia berminat untuk memproduksi film konser dan ikut meraih sukses seperti para musisi dunia lainnya?