Saat Festival Musik Menjadi Komoditas, Joyland Menunjukkan Cara untuk Tetap Punya Identitas
Ulasan untuk Joyland Festival Bali 2023.
Words by Whiteboard Journal
Text: M. Hilmi
Photos: Anggra Fazza Nugraha
Belakangan kita melihat bagaimana acara musik menjadi tren yang semakin masif di masa pasca pandemi. Sejak paruh kedua tahun lalu, kita menjadi saksi bagaimana antusiasme publik berkali lipat untuk merayakan musik di berbagai macam panggung. Festival musik yang comeback diserbu, konser internasional dan lokal bergantian pamer label sold-out untuk acara-acaranya. Rasa-rasanya, sebelum ini, kita belum mengenal terminologi “war-ticket”, tapi kini istilah tersebut tak asing lagi di keseharian. Lalu muncul pula nama-nama baru yang meramaikan industri ini.
Tapi, layaknya semua hal yang menarik perhatian publik, selalu ada dua mata pisau di sana. Sayangnya, di konteks popularitas acara musik ini, kita lebih sering terjebak pada sisi tajam mata pisau yang menyembilu luka: banyak event organizer tak becus dalam mengelola acara, banyak pula yang menjadikan festival/konser musik sebagai metode penipuan demi cuan semata. Itulah yang terjadi ketika sebuah tren kemudian dimaknai semata sebagai komoditas, tanpa adanya perhatian pada
Maka beruntunglah kita punya sosok seperti Ferry Dermawan yang mengingatkan kita pada sisi mata pisau yang lain. Bahwa dengan antusiasme publik yang meningkat pada acara musik, kita punya kesempatan untuk membuat acara musik yang merayakan musik sebagai bentuk kesenian, sembari memberikan pengalaman yang menyenangkan di dalamnya. Joyland Festival Bali 2023 adalah testamen baru atas premis ini.
Sebagai pengunjung rutin di acara Plainsong, kami punya ekspektasi besar pada setiap acara yang mereka gelar. Joyland Festival Bali 2023 sejujurnya sudah menjawab ekspektasi itu sejak mereka mengumumkan penampilnya beberapa bulan yang lalu. Dan memang soal kurasi penampil, Joyland selalu paripurna. Setelah Cornelius dan Thundercat di tahun 2022, tahun ini mereka datang dengan nama yang tak kalah mengagetkan: Black Country, New Road dan black midi. Ini keputusan yang jelas gutsy, karena karakter musik keduanya yang tentu relatif asing di kuping kebanyakan orang. Tapi justru itu yang menjadikan Joyland selalu ditunggu.
Keberanian ini menunjukkan bahwa Ferry Dermawan bersama tim kurator punya subjektivitas dalam pemilihan penampil. Tak melulu melihat kuantitas dan angka play/followers sebagai pertimbangan saat mengundang musisi untuk tampil di acara. Subjektivitas selera seperti ini penting dalam acara berbasis kesenian, karena dengan mengundang penampil yang mereka benar-benar kagumi, penyelenggara pasti akan berusaha secara maksimal dalam memberikan pengalaman terbaik bagi musisi dan penonton yang likeminded. Subjektivitas membuat kita tahu bahwa penyelenggara bekerja dengan hati. Dan inilah yang hilang saat kesenian cuma dimaknai sebagai komoditas industri.
Kurasi yang gutsy ini tak hanya berhenti di BC,NR dan black midi. Mereka juga melibatkan co-curator yang juga nyebrang: The Secret Agents dan Orbitware yang masing-masing diberikan palet untuk memberikan warna berbeda di gelaran tahun ini. Lalu hadirlah nama-nama seperti Ata Ratu, Kirara hingga Paradise Molam Bangkok dari pilihan Indra Ameng dan Keke Tumbuan, sementara melalui Orbitware datanglah Mairakilla hingga Melati ESP. Saat semua dijahit menjadi kesatuan, maka jadilah Joyland menjadi festival di mana eklektik tak hanya jadi jargon, tapi hidup di panggung-panggungnya. Sangat menarik untuk melihat bagaimana Tulus bermain setelah Black Lips, atau saat Chai bermain setelah Kunto Aji di panggung yang bersebelahan. Lalu bagaimana output dari keberanian kurasi ini di pengalaman penonton? Unsurprisingly positive. Dengan canggihnya informasi seperti sekarang ini, harusnya tak ada lagi ketakutan akan musisi yang terlalu aneh tak akan punya penonton. Asal diberikan panggung untuk memberikan penampilan terbaik, semua akan menemukan pendengar yang bisa mengapresiasi.
Dan itulah yang terjadi di Bali kemarin, banyak yang menjadikan black midi hingga Paradise Molam sebagai highlight dari Joyland Bali tahun ini. Tak jarang pula yang kemudian converted menjadi penggemar baru Kirara hingga BC,NR setelah nonton panggungnya. Ini jelas hal yang sangat menarik karena dengan disajikannya penampilan-penampilan yang eye-opening (persis seperti saat Cornelius main di acara tahun lalu), kita bisa berharap banyak musisi lokal terinspirasi untuk memperluas kemungkinan saat berkarya dan menjadi trigger untuk karya baru yang lebih istimewa.
Di luar penampil, Joyland Festival Bali 2023 juga naik kelas secara pengalaman nonton. Venue Peninsula Island yang luas dan punya pemandangan langsung ke pantai memberi keleluasaan bagi Plainsong untuk meningkatkan kenyamanan pengunjung. Layout masing-masing venue dibuat tak terlalu berjarak, tapi masing-masing punya karakteristik yang sesuai dengan penampil adalah contoh bagaimana Plainsong bisa menerjemahkan kemungkinan-kemungkinan yang ada di venue dengan optimal. Hal-hal yang ada di acara sebelumnya seperti air minum gratis yang tak pernah habis, charging area dibuat di area yang teduh, area khusus untuk merokok, presence sponsor yang tak mengganggu, nursing room dan aktivitas menyenangkan untuk anak-anak, terasa lebih maksimal di gelaran kemarin. Kami mendengar secara langsung dari tim panitia bahwa Ferry Dermawan beserta tim Plainsong meminta secara khusus bahwa White Peacock harus punya AC yang dingin karena jadi pusat aktivitas dan keluarga, pula dengan kertas gambar yang harus selalu tersedia supaya anak-anak juga bisa menikmati pengalaman datang ke acara musik.
Beberapa hal di atas mungkin terdengar remeh, dan mungkin juga telah diadaptasi oleh penyelenggara lain, tapi kami melihat sendiri bagaimana Plainsong benar-benar considerate terhadap pengalaman yang inklusif ini sebagai dedikasi bagi penonton. Jadi bukan cuma memberikan sekedarnya demi alasan gimmick, tapi tulus. Dari hati. Dan ketulusan ini jelas terpancar dan dirasakan penonton. Pengalaman menonton konser musik seindah ini akan jadi core memory yang baik untuk semua generasi yang hadir. Siapa tahu, anak-anak yang nonton nantinya akan tumbuh menjadi penyelenggara acara baru dan punya standar yang baik tentang bagaimana sebuah acara kesenian dibuat dan dijalankan. Di antara banyak momen buruk yang hadir belakangan, senang rasanya kita diingatkan bahwa masih ada hal-hal baik yang bisa diperjuangkan.
Yang paling menarik adalah dengan semua hal ini, Joyland menjadi brand festival yang paling laid back secara presence dan pengalaman, tapi paling serius dalam memberikan kenyamanan. Jika banyak festival lain sibuk menciptakan jargon pretensius dan kemudian belepotan sendiri saat harus mempertanggungjawabkan premis mereka sendiri, Joyland tak pernah punya jargon yang ambisius. Alih-alih, mereka fokus pada hal-hal dasar dan berupaya untuk memberikan standar terbaik di sana. Membiarkan publik dan penonton untuk memberikan label atas kerja keras tersebut.
Kami selalu ingat bagaimana setiap acara musik – terutama festival – akan meninggalkan bekas yang mendalam pada pengunjungnya. Untuk itu, kita sekarang punya istilah post-festival blues. Tapi kami selalu melihat ada kedalaman yang berbeda pada gratitude yang diberikan oleh penonton Joyland setiap pasca acara. Ada level emosional yang lebih mendalam pada setiap ucapan terima kasih penonton acara Joyland. Pada umumnya, post-festival blues membuat penonton mengucap terima kasih dan menyampaikan gagal move-on pada musisi yang tampil.
Di Joyland, gratitude ini tak hanya disampaikan pada musisi penampil, tapi banyak yang menyampaikan terima kasih pada penyelenggara acara. Tak jarang, ucapan terima kasih itu ditulis dengan cukup menyentuh tentang bagaimana Plainsong bisa memberikan pengalaman yang nyaman bagi semua. Ini berarti segala macam upaya Plainsong dalam memanjakan penontonnya tak hanya dirasakan, tetapi juga dirayakan. Dan memang seharusnya ini jadi benchmark bagi penyelenggaraan event musik.
Di era di mana semua orang (dengan modal dan kenalan yang cukup) bisa membuat acara musik, hanya mereka yang bisa membangun hubungan dengan penontonnya lah yang akan bertahan lama. Melalui Joyland Festival Bali 2023, Plainsong harus tahu bahwa doa panjang umur untuk mereka akan dimohonkan oleh hati bahagia para pengunjungnya. Dan kami, Whiteboard Journal, adalah salah satu dari puluhan ribu pemohon doa itu.