Toko Buku Indie Terus Tumbuh dan Berkembang selama Pandemi Covid-19, Mengapa Demikian?
“It’s not just a bookstore, it really is a de facto community space”- Ava Chin, author.
Teks: Septiana Noor Malinda
Foto: Unsplash/Riapuskas
Banyak narasi mengenai dampak pandemi Covid-19 di berbagai bidang yang telah dikaji, diproduksi, dan didistribusikan. Tak ketinggalan, di Amerika Serikat sendiri, US Census Bureau turut menyajikan data bahwa wabah Covid-19 berdampak pada penurunan pendapatan toko buku sebesar 30% pada 2020. Namun, kesuraman ekonomi yang dialami oleh toko buku tidak terus menerus terjadi.
Covid-19 ternyata berangsur-angsur membentuk cara baru bagaimana orang-orang mengonsumsi buku, salah satunya melalui toko buku independen. Pesatnya perkembangan toko buku independen disebabkan pemahaman mereka dalam menyediakan buku sebagai kebutuhan kolektif.
Salah satunya ialah Lucy Yu, seorang pemilik toko buku independen “Yu and Me Books” yang terletak di Mulberry Street, Manhattan. Berlokasi di Chinatown, “Yu and Me Books” memiliki judul-judul buku yang telah dikurasi dengan spesialisasi tentang imigran dan people of color.
“People were hungry for a place focused on Asian American and immigrant stories. That’s what I was always looking for when I went to bookstores, and I wanted people to come here and not search”, ungkap Yu yang sebelumnya bekerja sebagai chemical engineer dan supply-chain manager. Terbukti, toko bukunya telah mendapat keuntungan dalam beberapa bulan.
Selain “Yu and Me Books”, banyak toko buku baru yang buka selama era pandemi dijalankan oleh non-white booksellers, seperti The Salt Eaters Bookshop di Inglewood, California, dengan spesialisasi buku yang sekaligus ditulis oleh black women, perempuan, dan orang-orang non-biner. Kemudian, ada Libros Bookmobile yang dimiliki oleh seorang Latin merupakan toko buku di bus sekolah yang menyediakan buku fiksi dalam bahasa Spanyol dan Inggris.
Berdirinya banyak toko baru juga didasari oleh motivasi pemilik untuk memunculkan judul-judul yang lebih beragam dari para penulis-penulis lainnya. Nichelle Lawrence yang merupakan pemilik toko buku Socialite Society mengaku, “People are really looking for a community where they get real recommendations from real people. We’re not just basing things off algorithms.” Ia menerapkan prinsip tersebut dengan mengkurasi 300 judul buku yang ditulis oleh black authors yang kebanyakan perempuan. Hasilnya, banyak buku-buku tersebut yang menjadi kurasi terbesar di situs webnya.
Di sisi lain, toko buku juga juga melakukan upaya strategis dalam melakukan penjualan. Ketika belanja face-to-face sulit dilakukan, adaptasi segera dilakukan dengan meningkatkan operasi penjualan daring, pop-up, hingga bookmobile.
Di Indonesia sendiri, toko buku indepeden telah ada sejak dulu dan kini semakin ramai bermunculan secara online. Dengan kehadiran mereka pun muncul ruang-ruang baru untuk mencari referensi baru dalam bentuk bacaan dan dialog antar pembaca. Beberapa di antaranya yakni Omuniuum di Bandung, POST Santa di Jakarta, hingga Mojok Store. Selain itu, Whiteboard Journal pun menjadi pendatang baru di lanskap toko buku independen dengan WBJ Bookshop yang menghadirkan beragam buku dari publisher lokal dan internasional secara online dan offline.